Kamis, 29 Oktober 2009

ANNOUNCEMENT

Blog ini pindah ke www.alfiansyafril.co.cc Read More......

Minggu, 24 Mei 2009

Lane Bicara Pram

Saya menggunakan lift untuk sampai ke lantai lima sebuah gedung. Tangganya unik, melingkar menyerupai bangunannya. Gedung ini bernama Gedung Lengkung Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Ada yang istimewa siang itu. Di sini akan diselenggarakan seminar dengan judul “Pramoedya Ananta Toer di Asia Tenggara”. Acara ini diselengarakan oleh Human Rigths and Democracy in Southeast Asia Studies (HARD-SEAS) bekerja sama dengan Sekolah Pasca Sarjana UGM. HARD-SEAS merupakan program S2 Ilmu Politik dengan konsentrasi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Asia Tenggara, kerja sama dengan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara-Universitas Gadjah Mada.

Program ini menarik karena berdiri dan berkembang secara kolaboratif dengan institusi terkait dalam Universitas Gadjah Mada, dan juga dengan institusi Internasional. Misalnya, Universitas Oslo (Norwegia), Universitas Colombo (Srilanka), Universitas Walailak (Thailand), Universitas Sidney (Australia), dan Universitas Nasional Singapura (Singapura).


Seperti lazimnya permulaan kuliah di awal semester, diadakan kuliah umum. Pengajar tamu kaliber internasional, seperti Dr. Oliver Pye dari Universitas Bonn didatangkan. Untuk tim pengajar dari UGM sendiri antara lain ada Prof. Dr. Mohtar Masoed, Cornelis Lay M.A., Dr. Nicolaas Warouw, Heribertus Jaka Triyana, SH., LL.M dan lainnya. Prof. OlleTornquist dari Universitas Oslo dan Budi Santoso, SH., LL.M dari Independent Legal Aid Institute (ILAI) didatangkan sebagai pengajar tamu.

Debbie Prabawati, peneliti DEMOS Jakarta dan mahasiswa HARD-SEAS mengatakan, ”Program ini mampu menggabungkan dunia akademis dan dunia aktivis yang bergerak di ranah sosial dan politik. Para pengajar kebanyakan terlibat dan mempunyai pengalaman langsung dengan dunia gerakan sosial politik sehingga topik-topik yang disampaikan dalam kuliah selalu aktual.”

Lewat prakarsa HARD-SEAS, pertengahan Mei ini datanglah Max Lane untuk berbicara mengenai Pram dan Asia Tenggara. Ia dikenal sebagai penerjemah karya Pram ke dalam bahasa Inggris. Dan juga mencurahkan pikirannya untuk meneliti sosok salah seorang sastrawan di negeri ini.

Saya masuk ke dalam ruangan seminar. Kursi-kursi merah sebagian besar telah terisi. Kebanyakan mahasiswa, dari buku tamu saya lihat hampir seimbang antara mahasiswa S1 dan S2 UGM. Jurusannya macam-macam. Juga ada beberapa dari berbagai institusi lain.

Orang-orang yang baru datang mondar-mandir mencari tempat yang pas untuk duduk. Lewat beberapa menit dari pukul 13.00, moderator memulai acara. Mulanya sedikit penghantar, tak lama langsung mengundang Max Lane maju ke depan untuk presentasinya.

Badan tinggi itu berjalan ke depan, rambutnya putih. Tubuh tambunnya langsung mengambil posisi di mimbar coklat muda. Sedikit mengangkat mikrofon lalu mulai bicara. Bahasa Indonesianya lancar.

Pandangan saya lurus ke depan, ke arah mimbar. Sempat tergoda untuk memperhatikan ruangan yang sejuk dan rapi ini. Yang membikin unik, lengkungannya itu. Saya teringat dengan kelas saya di fakultas. Beda jauh memang, saya pikir kalau kuliah di sini, enak!

Burung garuda, lambang Negara Indonesia tergantung gagah di dinding. Agak ke bawah, terpampang foto Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, foto pasangan ini tak akan bersanding lagi. Sudah pecah kongsi. Sekolah, kantor-kantor pemerintah dari kelurahan hingga departemen-departemen akan meluangkan sedikit waktu untuk melakukan pergantian foto presiden dan wakilnya yang baru. Salah satu dari mereka masih berkesempatan nampang lagi, bisa juga tidak dua-duanya jika pasangan Megawati-Prabowo menang pilpres.

Dinding kiri kanannya berlubang-lubang. Kalau mata memandang agak lama bisa membuat pusing. Lima orang yang pernah menjabat direktur program Pasca Sarjana, fotonya dipajang di bagian atas. Ichsanul Amal yang sekarang menjadi Ketua Dewan Pers adalah salah satunya.

Max Lane memulai presentasinya dengan mengutip pernyataan Pram saat berpidato dalam pelantikannya sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD). ”Satu kekeliruan pendiri bangsa menamakan bangsa ini dengan nama Indonesia,” kata Pram. Alasannya, kata “Indonesia” merupakan nama warisan dari penjajah kolonial.

Nama India untuk Indonesia sekarang ini, berasal dari perburuan rempah-rempah Maluku mulai akhir abad 15 oleh bangsa-bangsa Barat, yang menyebabkan seluruh dunia non Barat dijajah oleh Barat. Rempah-rempah yang ditemukan di India hampir sama dengan yang ditemukan di Indonesia. Dalam kekuasaan Belanda, Indonesia dinamai India Belanda. Dan untuk mengakali agar pribumi tidak mengasosiasikan dengan India, nama ini ditulis: Hindia. Politik permainan kata. Nama “nusantara” atau “dipantara” yang dilahirkan melalui sejarah panjang bangsa ini (masa Majapahit dan Singosari) yang seharusnya dipakai oleh para pendiri bangsa.

Perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan tidak didapatkan dalam masa yang singkat. Butuh waktu panjang dan melelahkan, hingga kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Pram setuju dengan konsep kebangkitan nasional yang disampaikan oleh Soekarno. Ada tiga hal, yang pertama adalah manifesto komunis, yang bisa menghilangkan perbedaan kelas dalam masyarakat. Lalu deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat. Dan yang terakhir, tulisan-tulisan dan gerakan yang dipelopori oleh Sun Yat Sen. Pemikiran-pemikiran Sun Yat Sen mampu memberikan pencerahan tentang nilai-nilai nasionalisme dan kebebasan.

Sun Yat Sen merupakan anak orang kebanyakan, kebetulan seorang dokter, naik panggung menjadi presiden dan pemimpin negeri langit Tiongkok. Begitu tulis Pram dalam Rumah Kaca. Berdirinya Republik Tiongkok pada 1911 akibat proses revolusi dan bersatunya Tiongkok, menimbulkan arus nasionalisme yang kuat. Di belahan bumi Asia lainnya, di STOVIA, sekolah dokter Jawa, salah seorang terpelajar Pribumi sangat dipengaruhi bahkan menjadi pengagumnya. Ia berkhayal mempersatukan bangsa-bangsa di Hindia dan perantauan, sebagaimana yang telah dilakukan Sun Yat Sen dengan bangsanya.

Pramoedya Ananta Toer merupakan sejarahwan yang paling radikal sekaligus pelopor pembaharuan dalam menganalisis ke-Indonesiaan. Ia memulai penelitian tentang Indonesia dengan mempelajari Kartini. Hasilnya, dia menelorkan novel “Panggil Aku Kartini Saja”. Ini seharusnya ada dua jilid, tapi yang ke dua tidak diterbitkan. Pram menemukan Kartini pernah menulis, bahwa ada mahasiswa STOVIA yang menulis dalam bahasa Melayu. Tapi Kartini tidak menyebut nama. Lalu, Pram akhirnya mencari sendiri siapa nama itu . Ia menemukan orangnya adalah Tirto Adhi Soerjo, yang kemudian diasosiasikannya dalam tetralogi Buru sebagai tokoh Minke.

Lane, masih semangat menjelaskan hal ini. Lalu sedikit masuk menyinggung masalah pendidikan sastra di Indonesia. Dia kelihatan jengkel.

“Mengapa Kartini dan Tirto Adhi Soerjo hilang dalam sejarah Indonesia, hilang dalam buku pelajaran sejarah sekolah?” Lane bertanya.

Dia heran, bagaimana bisa orang yang mendirikan surat kabar yang bisa dikatakan sebagai permulaan di Nusantara tidak masuk dalam buku sejarah yang diajarkan pada anak sekolah? Atau jika itu tidak cukup, bagaimana dengan berdirinya Sjarikat Priayi lalu Sjarikat Dagang Islam? Bukankah ini cukup fundamental untuk sebuah nama patut dicatat dalam sejarah bangsa?

Menurut Lane, Pram sendiri telah menemukan jawabannya. Penulis sejarah banyak menyelewengkan dan melakukan kebohongan dalam menulis sejarah! Terkadang berbagai macam kepentingan bermain di belakang.

Lane menangkap ada yang aneh dari bangsa ini terhadap sosok Pramoedya Ananta Toer. Hingga sekarang belum ada pencabutan terhadap pelarangan buku Pram. Tetapi anehnya di toko buku buku Pram banyak beredar. Oleh penerbitnya masih dicetak ulang. Terlihat memang, orang Indonesia belum sadar dan taat hukum. Hadirin tertawa geli.

Lalu, kenapa larangan terhadap buku-buku Pram belum dicabut? Max Lane menilai masih terdapat ancaman terhadap status quo dan stabilitas nasional.

“Saya takut dengan kata-kata status quo ini,” ungkap Lane, sambil menghela nafas. Disambut tawa peserta seminar lagi.

Menurut Pram salah satu sifat dalam membentuk nation adalah “bahasa bersama” yang dikembangkan dan hidup dalam sastra. Lalu menjadi “sastra bersama”. Ini menjadi salah satu kesimpulan yang dapat ditangkap Max Lane dari pemikiran Pram dalam karyanya. Kebudayaan Indonesia ditulis dalam bahasa bersama yaitu bahasa Melayu. Lane kemudian memberikan penjelasan dengan mengajukan analogi.

Jika di Malaysia ada penulis seperti Pram, maksudnya jika ada penulis yang mampu menangkap esensi kebangkitan Malaysia, dalam bahasa apa ia akan menulis? Di Malaysia, Lane pernah tanya ke orang Cina. Dia menjawab tulisannya akan ditulis dalam bahasa Cina. Hal yang sama jika ditanyakan kepada etnis Melayu atau India. Maka mereka akan menjawab dalam bahasa yang sesuai dengan etnisnya. Bahasa nasional Malaysia adalah bahasa Inggris. Tapi di Malaysia bahasa Inggris bukan konsensus atau “bahasa bersama”. Jadi tidak ada keseragaman jawaban bahasa, sehingga di Malaysia sastra bersama tidak kuat.

Dengan sedikit bercanda, Lane bercerita. Dia naik pesawat Air Asia dari Singapura ke Jogja. Diundang untuk berbicara oleh program akademis yang khusus membahas Asia Tenggara. Dengan sedikit berat, dia harus memasukkan unsur itu dalam tema besarnya.

Dia menggambarkan sosok Pram, bahwa Pram merasa bahwa dia sepenuh-penuhnya adalah orang Indonesia. Bukan orang Jawa. Pada umumnya sikap Pram bisa dikatakan “kejam” terhadap Jawa. Bahkan Pram bisa disebut sangat terobsesi dengan Nusantara atau Indonesia. Konsep kebudayaan yang berakar dan berkembang melalui bahasa tadi, menjadikan novel-novel Pram sebagai proses dari revolusi anti kolonial. Dan ini menjadi lebih luas melalui perspektifnya. Negara-negara di Asia Tenggara adalah hasil dari revolusi dari anti kolonial.

Perspektif-perspektif ini yang akhirnya menjadi satu pertanyaan, sejauh mana novel Pram dibaca di kawasan Asia Tenggara?

Apresiasi yang paling terang, melihat peran karya Pram dalam lingkup Asia Tenggara adalah saat Pram mendapat penghargaan dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina. Penghargaan dalam “for Journalism, Literature, and Creative Art, in recognitation of his illuminating with brilliant stories the historical awakening, and modern experience of the Indonesian people”. Walaupun penghargaan ini menimbulkan sedikit kontroversi. Saat itu, Mochtar Loebis yang lebih dulu menerima penghargaan serupa mengancam akan mengembalikannya.

Orang-orang Filipina banyak membeli buku-buku Pram dalam edisi bahasa Inggris.

“Sayangnya kebanyakan orang membeli dalam bentuk.. Apa ya bahasa Indonesia piracy?” Lane tersendat memberi penjelasannya.

“Bajakan!” jawab peserta, seraya melepas tawa dan senyum.

Pram banyak menuliskan tentang Filipina dalam novel-novelnya. Tema yang diangkat masih berkisar tentang nasionalisme. Lebih tua dari Tiongkok, Pribumi Filipina memilih presidennya yang pertama, Emilio Aguinaldo. Tahun 1897! Republik Pertama di Asia.

Sama dengan kaum terpelajar Hindia yang menggantungkan harapan kepada kaum liberal “murni” Belanda di negeri Belanda. Kaum terpelajar pribumi Filipina pun menggantungkan harapannya kepada kaum liberal Spanyol. Yang suatu saat para penjajah bermurah hati mengangkat mereka menjadi anggota parlemen, menikmati hak-hak sipil di bawah kekuasaan penjajah, dan boleh melakukan sesuatu untuk bangsa sendiri di tanah air sendiri. Itu adalah mimpi!

Seperti halnya Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Priaji di Hindia, kelompok kecil dengan impian besar, di Filipina, kaum terpelajar juga ikut bermimpi dengan menerbitkan surat kabar. Pribumi Filipina menerbitkan surat kabar sendiri, La Solidaridad dengan Dr. Jose Rizal sebagai pemukanya. Bahkan La Liga Filipina, sebuah organisasi pergerakan, juga didirikan olehnya.

Demikian juga di Singapura, penerbit Penguin Grup Australia yang mencetak novel-novel Pram dalam bahasa Inggris banyak diminati masyarakat ini. Orang Singapura suka dengan nilai-nilai dalam buku Pram. Nilai humanisme yang mendalam dan terlebih nilai bebas sendiri (independent) tidak bergantung pada penguasa (pemerintah).

“Beberapa waktu belakangan ini saya sering menetap di Singapura. Saya agak senang sekarang, sebentar lagi saya akan meninggalkan negara ini,” ungkapnya.

Secara konstitusi, Singapura adalah negara yang menggunakan sistem politik demokrasi parlementer. Tapi kuatnya pengaruh Lee Kuan Yew menyebabkan Singapura bukanlah sebuah negara yang ideal bila dilihat dari sisi demokratisasi. Sebab praktik politik otoriter dan pembatasan kebebasan pers bukan hal yang rahasia lagi di Singapura. Walaupun Lee Kuan Yew sudah mengundurkan diri dari kancah politik, tapi pengaruhnya masih sangat besar dalam budaya politik. Siapa yang menjadi Perdana Menteri dan Presiden Singapura, harus mendapat “restu” dari pimpinan seangkatan mantan Presiden Soeharto ini.

Tampilnya PM Gooh Tjoh Tong dan PM BG Lee yang dilantik 12 Agustus 2004 ini adalah “karya” Lee Kuan Yew. Lee dianggap sebagai seorang otoriter yang condong kepada kaum elit. Lee sendiri pernah dikutip mengatakan bahwa ia lebih suka ditakuti daripada disayangi rakyatnya. Dengan mengawinkan kapitalisme dengan sistem politik otoriter yang memberangus kebebasan sipil, membatasi partisipasi politik, termasuk mengendalikan kemerdekaan pers ia begitu dominan.

Lee melaksanakan beberapa peraturan keras guna menekan kaum oposisi dan kebebasan berpendapat, misalnya penuntutan perkara pemfitnahan hingga membangkrutkan musuh-musuh politiknya. Pada suatu perkara misalnya, setelah putusan pengadilan yang condong kepada Lee digulingkan oleh Dewan Penasihat, pemerintah menghapuskan hak untuk naik banding kepada Dewan. Selama Lee menjabat sebagai Perdana Menteri (1965–1990), ia memenjarakan Chia Thye Poh, mantan anggota Parlemen partai oposisi Barisan Sosialis, selama 22 tahun berdasarkan UU Keamanan Dalam Negeri. Chia bebas pada tahun 1989. Untuk memberikan wewenang penuh kepada para hakim dalam keputusan mereka, Lee menghapuskan sistem juri dalam pengadilan Singapura.

Ini satu hal yang aneh, di negara yang dilarang memfilmkan atau memfotografikan kegiatan politik. Buku-buku Pram sangat diminati. Pendambaan masyarakat sana terhadap nilai-nilai kebebasan adalah jawabannya.

“Saya takut jangan-jangan capres-cawapres Indonesia sekarang, akan meniru cara pemerintahan Lee Kuan Yew. Tanda-tanda ke arah itu telah terlihat,” sambung Max Lane. Candaan yang serius ini mengenai peserta lagi.

Seperti yang ditangkap Lane dari Pram, ada elemen demokrasi yang perlu diperhatikan. Proses pergerakan itu dari bawah, bukan dari atas, dan perubahan sebagai hasilnya harus menyapu bersih. Ini relevan dengan kesimpulan yang dilihat Max Lane dari sosok dan karya Pram. Bahwa Indonesia adalah makhluk baru yang merupakan hasil dari kreativitas pergerakan rakyat Indonesia sendiri. Bukan kemerdekaan dan kebebasan yang didapatkan sebagai hadiah dari penjajah. Tetapi proses kreatif itu belum tuntas. Kreasi Indonesia baru ini harus diselesaikan dengan revolusi demokratis yang tuntas dan sepenuh-penuhnya.

Karena kebudayaan Indonesia bukan datang dari wayang, tari-tarian Bali, atau ukiran-ukiran Dayak dan sebagainya. Tapi mempunyai keunikan yang lebih besar. Indonesia merupakan hasil dari Revolusi Prancis, kemerdekaan Amerika Serikat, kebangkitan Jepang, perjuangan Cina lewat Sun Yat Sen, Pergerakan Filipina dengan Dr. Jose Rizal. Indonesia merupakan “Anak Semua Bangsa”.

Tantangan ke depan pun tak kalah sulit. Menentukan pemimpin bangsa. Karena di tangan-tangan mereka nasib masyarakat sebagai bagian bangsa dipertaruhkan. Kelas borjuis tidak mampu memimpin Indonesia. Tirto Adhi Soerjo tidak mampu bertahan dan lenyap dengan menyedihkan. Nyai Ontosoroh juga tidak, hanya bisa survive dengan hidup di Prancis. Orang dari kalangan bawah seperti Hadji Misbach, Siti Soendari atau Mas Marco Kartodikromo, yang bisa memimpin Indonesia.

Max Lane turun dari panggung disambut tepuk tangan meriah dari peserta. Lebih kurang satu jam dia bicara. Beragam tanggapan dan pertanyaan dilontarkan oleh peserta seminar.

Ainur salah satunya, dia tidak yakin dengan Lane. Hanya 1% dari penduduk Indonesia yang membaca Pram. Di toko buku, novel-novelnya Pram display-nya selalu dalam jumlah banyak. Dan selalu dicetak ulang, terutama tetralogi Buru yang termasyhur itu. Keyakinan semu ini membuat dia jadi berpikir. Sebenarnya persoalannya adalah, waktu membaca orang Indonesia yang memang kurang. ***
Read More......

Rabu, 15 April 2009

Ingin Jadi Wartawan

Dilahirkan jauh di Sumatera, selesai SMA merantau ke Jogja. Belum pernah keluar jauh dari Padang. Sembari memikirkan seperti apa daerah yang akan saya tinggali, saya bergairah. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menerima saya untuk menjadi mahasiswa. Satu hal yang paling menarik adalah ketakjuban melihat kereta. Saya naik kereta dari Jakarta ke Jogja, kereta eksekutif malam, pertama kali. Saat SD guru-guru mengajarkan bahwa di Indonesia ada alat transportasi berupa kereta. Tapi saya tak melihat kereta di daerah saya. Mungkin sama dengan guru-guru di Papua, Aceh, Maluku dan lainnya mengajarkan ”ini Budi, ini Ani”. Mereka belajar kereta, becak, Budi, Ani dan lainnya yang tidak ada di sekitar mereka. Saya merasa ada pendidikan yang anti realitas saat itu.

Saya menikmati sekali perjalanan, dan sekarang tersadar. Saya menikmati realitas yang tidak nyata. Di balik kaca kereta disuguhi pemandangan, sawah-sawah terbentang, jika siang hari mungkin ada petani yang sedang mencangkul sawahnya. Lalu jalan-jalan luas yang kelihatan samar-samar. Lampu-lampu rumah yang temaram.

Beberapa saat yang lalu, sebelum menuliskan ini. Saya dan pacar saya mengantarkan teman ke stasiun, dia akan berangkat ke Jakarta. Pacarnya juga ikut mengantar. Kita duduk-duduk di pelataran stasiun Lempuyangan selama satu setengah jam. Bercerita banyak, salah satunya teman itu bercerita tentang kereta.

”Banggalah naik kereta ekonomi, karena saat pemberontakan buruh-buruh di Jawa dari Cirebon hingga Solo, Sragen, orang-orang pada naik kereta ekonomi,” katanya.


Kita bertiga mendengarkan ceritanya tentang Ben Anderson, Kahin, tentang sejarah pergerakan dan nasionalisme. Seorang penulis Ceko, Rudolf Mrazek menuliskan dengan bagus tentang ironi kereta di Indonesia. Dia mengenalkan istilah ”Mooi Indies”. Saat naik kereta kita disuguhkan pemandangan yang indah. Pegunungan, manusia dan segala tingkah polahnya, rumah-rumah dan sebagainya. Dari kaca jendela kereta, hanya dari kaca jendela. Tapi realitasnya, keringat petani yang bercucuran belum tentu dapat dirasakan pahitnya. Begitulah ”Hindia yang Molek”.

Membaca Pram, membuat saya tertarik menjadi manusia. Yang berguna, yang berpikir dan yang menulis.

Perjalanan kuliah saya biasa-biasa saja. Ujian, ke kampus, sesekali berdiskusi dengan teman-teman. Suatu ketika kost saya didatangi seseorang. Dia menumpang di kamar teman kost saya. Karena satu kost, kita lama-lama kenal. Lalu mulai ngobrol, banyak hal. Kebetulan kita sama-sama suka baca buku, jadinya nyambung. Lama dia tinggal di kost, hingga malah menjadi warga kost.

Saya suka karena bukunya banyak. Sering pinjam, kadang juga untuk mengerjakan tugas. Waktu yang pendek itu perlahan membuat saya semakin kenal dirinya. Dia wartawan, dan saya pernah menemani dia liputan. Pagi-pagi jam tiga kita pernah ke Kali Gendol, menunggu para penambang pasir. Saat dia wawancara, saya tertidur di batu besar. Lalu pertama kali kita jalan bareng ke luar, masih sangat lekang dalam pikiran. Saya diajak ke sebuah rumah di Patehan. Saya mengenal Muhidin M. Dahlan di sana, akhirnya saya mengenal bukunya juga. Sekarang kita berteman di Facebook. Marjinal, grup punk di Jakarta juga dikenalkan malam itu.

Sepanjang hari saya sering melihat kartu pers-nya yang tergantung di depan kaca. Mungkinkah saya menjadi wartawan? Itu pikir saya saat itu. Caranya bagaimana, saat saya tanyakan ke dia.

”Kamu selesaiin kuliahmu, dapatkan ijazah dan coba lamar ke media-media. Jangan sepertiku yang ga punya ijazah. Selamanya menjadi wartawan kurcaci,” jawabnya.

Butuh waktu lama kalau menunggu selesai kuliah. Intensitas menulis saya tingkatkan lagi. Biasanya saya menulis di blog. Macam-macam, cerita keseharian, masa lalu, puisi. Tapi jarang menulis tentang hal yang agak serius. Ya, mungkin semacam menulis dalam konteks wawancara atau liputan tentang sesuatu.

Pernah teman saya itu kedatangan temannya lagi, perempuan. Saya dikenalkan, namanya Syafa’atun. Umurnya 32 tahun. Atun menginap di rumah pacar saya. Di luar mengikuti acara pokoknya di UGM, semacam seminar atau pelatihan, kami menyempatkan hangout. Makan-makan dan karaoke. Saya mengantar Atun ke bandara, dia balik ke Jakarta.

Bulan berikutnya Atun sering ke Jogja, dan pasti bertemu kita lagi. Ini membuat kita makin dekat. Teman saya dan Atun ini kenal saat kursus penulisan di Jakarta sekitar tahun 2006.

Saya mengingatkan Atun jika ada informasi tentang kursus penulisan kirim e-mail ke saya. Akhir tahun 2008 saya dapat e-mail. Isinya tentang kursus menulis. Saya jajaki informasi di e-mail dan menghubungi contact person di sana. Negosiasi tentang biaya kursus jadi hal penting. Saya dapat potongan 50 % untuk pembayaran biaya kursus.

Medio Januari 2009 saya berangkat ke Jakarta. Akhirnya belajar jurnalistik juga secara resmi, pikir saya. Kurang lebih dua minggu di sana. Minggu pertama saya diajar Janet Stelle, Profesor dari George Washington University, spesialis sejarah media. Lalu minggu ke dua dengan Andreas Harsono.

Pembahasannya macam-macam. Yang paling pokok kursus ini mengacu kepada Literary Journalism, tetapi tak lepas dari unsur-unsur jurnalisme secara umum. Dasar-dasar dan etika jurnalisme, teknik intervieu dan sebagainya. Saya rasa ini sangat kompleks. Suasana belajar cair. Ada juga penugasan yang diberikan, bahan diskusinya banyak dari tugas yang kami bikin. Pesertanya ada 13 orang, latar belakang yang berbeda, dan saya termuda.

Pulang dari Jakarta, rasanya penuh dan banyak ide-ide untuk menuliskan berbagai hal. Tapi selalu gagal karena tidak ada jalur yang jelas, maksud saya di sini, saya tidak ada institusi. Jadi pertanggungjawaban kerja tidak jelas. Saya coba reportase sendiri, yang jadi penghalang dana untuk liputan. Apalagi jika akan membahas hal-hal yang sensitif, membutuhkan dana yang tidak sedikit.

”Aku Fahri Salam,” begitu teman saya itu mengenalkan dirinya, dulu. Saya menjabat tangannya.

Di Jakarta saya sempat bertemu dengan Fahri sewaktu kursus. Dia mendorong saya untuk mencoba menjadi orang yang praktis. Dia menyarankan agar saya banyak belajar dulu di lapangan. Banyak menulis, mencari kantong diskusi, banyak membaca dan mencoba memulai menulis di koran, untuk rubrik opini mungkin. Tapi saya tidak mau, saya mau masuk ke dalam industri media ini. Saya membulatkan tekad untuk menjadi wartawan. Wartawan yang independen dan tidak menerima amplop.
Read More......

Sabtu, 28 Maret 2009

Ada Sesuatu Yang Terjadi


“Kepercayaan adalah suatu keadaan dimana orang berhenti berpikir (untuk sementara atau untuk seterusnya) dan kepercayaan adalah suatu keadaan dimana orang tak boleh berfikir lagi”
(Pramoedya Ananta Toer dalam Mereka Yang Dilumpuhkan)

Dalam kehidupan kecenderungan merasa salah dan benar selalu menyertai. Akibatnya ada suatu pegangan yang harus digunakan. Agama, dan sebagainya. Unsur-unsur kepercayaan menusuk halus dalam setiap gerak pikiran.

Pernyataan-pernyataan seseorang yang dimulai dengan pembelaan biasanya selalu menyebabkan rasa percaya. Saat terjadi sesuatu, orang cenderung lemah dan mengalah kepada akal sehat. Segala kemungkinan-kemungkinan yang belum bisa diterjemahkan dapat dijadikan pegangan. Berkemungkinan boleh saja, tapi ada batasan yang menyertainya.

Apakah kemungkinan itu sudah adil sejak dalam pikiran? Apakah pikiran-pikiran itu telah dipertimbangkan dengan menyertakan analisis yang dapat meruntuhkan hipotesis yang dibangun? Jika hanya merasa sedikit ada celah untuk menekan lalu memperbesar yang sedikit itu sebaiknya jangan. Bisa-bisa itu menjadi bumerang yang akan menekan balik.

Jika merasa bersalah dengan tuduhan yang dilancarkan ternyata tak jelas ujungnya. Dan benar ternyata itu salah. Apakah ada rasa malu? Atau masih tetap berkepala batu. Mempertahankan pendapat agar tetap bisa digunakan sebagai alasan pembenaran?

Orang cenderung bersikap defensif saat dirinya merasa terancam. Saat dituduh melakukan kejahatan yang memang tidak dilakukannya dia akan mencari cara untuk bertahan. Ketika sudah jengah dengan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan ada pikiran untuk menyerang balik. Orang tak akan senang jika terus dijadikan objek tekanan, terus menerus.

Merasa ada yang melindungi dan di posisi paling dekat dengan kekuasaan, orang tak segan-segan untuk bertindak. Segala kemungkinan masih bisa dijadikan pegangan tanpa pikir panjang terus dipelihara. Dicari alasan yang paling dekat dan relevan dengan tindakan.

Sekarang saat semuanya mentah, orang yang menekan tidak bergerak lagi. Beranjak seakan tak pernah terjadi. Lalu mencari penyelamatan dengan membesarkan kekeluargaan.

Begini yang terjadi, lalu apa yang bisa dilakukan? Kenyataannya sekarang semua berubah seperti sedia kala dan boleh dikatakan semakin memburuk. Ya memburuk, tanpa interaksi, tanpa tegur sapa. Yang ada hanya kecurigaan, kecurigaan yang terus menerus. Beruntunglah mereka-mereka yang antipati dan tak ingin tahu sama sekali, mereka bisa melanjutkan hidup tanpa ambil pusing.

Udara masih bisa dihirup, masuk melalui rongga dadanya. Dia masih mandi dan berangkat dan pulang. Dari luar tak ada ketakutan yang memayunginya. Hanya dia tahu ancaman-ancaman ada di sekelilingnya. Lebih baik menghilang, lebih baik tak pulang.

Read More......

Rabu, 11 Maret 2009

Hari-Hari Belakangan

Tekanan mengajarkan kedewasaan. Kira-kira begitu yang dapat ditangkap memperhatikan kisah seorang teman. Dalam hidup, dia dikelilingi banyak pejilat. Yang benar-benar kelihatan hanya satu. Satu orang saja. Dia berkeluh kesah. Membayangkan orang di seberang sana ada di dekatnya. Setidaknya dia bisa bercerita. Berharap ada persepsi yang sama. Tapi orang yang dikatakan teman itu jauh, tidak bisa ditempuh 1 atau 2 jam saja. Butuh waktu 9-10 jam dan ruang untuk rasa lelah, jika ingin bertemu. Informasi terakhir teman ini tak lama lagi akan datang.

Mengenai si penjilat tadi, dia heran. Dulu dia tak begitu. Dicari-carilah penyebab kenapa si penjilat jadi suka menjilat-jilat. Kenapa dia berubah?

Dalam kisah seorang teman ini, membuat si teman berpikir dan berkata. Jangan-jangan, si penjilat merasa kalah. Cara berpikir, relasi dan kedewasaan. Si penjilat yang suka menjilat-jilat kalah telak oleh dia, teman tadi.


Merambat ke banyak hal jadinya. Si penjilat itu sering merasa yang paling tahu. Dia masuk dalam klasifikasi “orang yang tak tahu, tapi berlagak banyak tahu”. Yang paling tidak disukai si teman terhadap si penjilat adalah jika berbicara selalu men-judge, menghakimi bahasa Indonesianya. Karena itu pula si penjilat sangat-sangat sok tahu.

Malas berdebat dengan si penjilat. Jijik untuk berdiskusi.

Kasihan melihat nasib teman ini. Walaupun melihat nasibku sendiri juga banyak yang menyedihkan, tapi buat teman ini…ah kasihan.

Ada pula teman yang dicap oleh temannya sendiri dengan gelar “manusia pesimistis”. Karena terlalu banyak membaca Nietzsche. Hahaha apa pula itu. Ingin juga aku membaca Nietzsche jadinya. Seperti apa itu konsepnya? Superman kah? Ada-ada saja aku pikir. Kurang dalam memahami, tapi tak apalah. Mengemukakan pendapat sudah berani. Zaman sekarang orang bebas bercerita, bebas menilai. Tapi si teman yang di cap “pesimistis” tadi tersinggungnya minta ampun.

Kadang tak ada yang lebih enak bertemu teman lama. Saat itu bisalah bercerita tentang berbagai hal. Pengalaman-pengalaman, sejarah, nostalgia dan sebagainya apa yang terlintas di benak. Banyak berpuluh-puluh lembar jika nak dicatat.

Orang kalau lah kemana-kemana, banyak pengetahuannya. Untuk bercerita banyak bahan yang akan disampaikan. Sampai parak subuh tak habis.
Read More......

Rabu, 25 Februari 2009

Membaca atau Tidak

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Program Kreativitas Mahasiswa atau PKM. Dibedakan atas dua macam yaitu Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah yang disingkat PKM-AI. Yang kedua Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis atau PKM-GT. Ini merupakan ajang kompetisi penulisan ilmiah bagi mahasiswa Program Sarjana dan Diploma. Hasilnya adalah artikel dari hasil karya mahasiswa atau kelompok.

Rabu, 18 Februari 2008 saya dan beberapa mahasiswa dikumpulkan oleh pihak dekanat di ruang sidang 1 lantai 2 fakultas Filsafat. Najib Yuliantoro, Muhammmad Rifqi, Suluh P.W, Ahmad Baiqunni dan lainnya. Ada sekitar 23 mahasiswa dalam daftar hadir.

Wakil Dekan III, Dra. Sartini, M.Hum memprakarsai pertemuan ini. Hadir juga Syamsul Ma’arif S.Fil, dosen Metode Penelitian Sosial Humaniora dan Kosmologi. Beliau akan menjadi salah satu viewer atau dosen pembimbing. Dalam ketentuan surat yang dikirimkan oleh Direktur Kemahasiswaan, Universitas Gadjah Mada bernomor 154/Dir.MAWA/APK/2009 berisi undangan yang ditujukan kepada tiga pihak. Wakil Dekan yang membidangi Kemahasiswaan, Ketua GAMA Cendekia dan Ketua Unit Penalaran Indisipliner UGM.

Dilampirkan juga penjelasan tentang format dan struktur usulan PKM-karya tulis. Artikel Ilmiah ataupun Gagasan Tertulis. Banyak lingkup persyaratan, persyaratan administratif, penulisan, pengetikan. Di samping itu juga telah ditentukan format kulit muka, halaman pengesahan, stuktur tulisan beserta komponennya seperti judul, nama, abstrak dan sebagainya. Bagaimana menuliskan daftar pustaka juga ditentukan. Ternyata ada dua system, memakai sistem Harvard atau sistem Vancouver. Batas pengetikan juga telah ditetapkan aturannya, 4 cm samping kiri, 4 cm batas atas dan seterusnya. Jarak spasi antar Bab dab sub-bab, kalimat di bawahnya, kutipan, spasi antar alinea, penomoran halaman tak luput dari aturan.

Dalam lampiran sebanyak 18 halaman ini, dosen pembimbing mesti harus disertakan. Selain pak Arif di atas, kampus meminta kesediaan Drs. Achmad Charris Zubair. Di filsafat mengajar Etika, Teori Etika dan Bahasa Inggris Filsafat.

Selama lebih kurang satu setengah jam, wakil dekan III dan dua dosen pembimbing memberikan pengarahan. Kampus telat diberi tahu oleh pihak Universitas tentang surat ini. Jadi waktunya sangat mepet. Tanggal 18 Februari pihak dekanat mensosialisasikan dengan harapan mahasiswa mengerjakan semaksimal mungkin. Dan ditetapkan juga rencana 5 hari setelah itu, tepatnya Senin tanggal 23 Februari, telah dikumpulkan. Akan dikembalikan lagi setelah dibaca oleh dua dosen viewer, keesokan harinya. Mahasiswa mendapat cacatan dan memperbaiki menambah atau mengurangi hal yang dirasa perlu.

Setelah itu akan diberikan lagi kepada dosen viewer, dibaca dan dievaluasi dan dikembalikan lagi kepada mahasiswa. Jadi ada 2 kali proses pengeditan, sebelum hasil final diserahkan tanggal 2 Maret 2009. Pihak fakultas akan mengirimkan ke universitas hasil seleksi final. Semuanya harus terkumpul di universitas sebelum tanggal 10 Maret 2009.

Lima hari saya habiskan dengan mengumpulkan referensi. Saya menggunakan buku Imagined Community karangan Benedict Anderson sebagai litelatur utama. Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budihardjo juga saya pelajari. Tema besar penulisan saya untuk PKM-GT adalah tentang nasionalisme. Penjabarannya saya akan berfokus kepada konflik etnik dan kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. Aceh, Papua, Maluku dan sebagainya. Nasionalisme seperti apa yang dipakai Indonesia? Saya akan mencoba menarik garis merahnya.

Sampai malam sebelum tanggal 23 Februari, saya hanya mampu menyelesaikan bagian perumusan masalah di bab pendahuluan. 5 halaman! Terlalu lama di buku saya jadi keteteran di penulisan. Saya mengeluh dengan sempitnya waktu. Tapi ini bukan alasan yang bias diterima, pikir saya.

Tak apa, selesaikan seberapa bisa, lalu dikumpulkan guna dievaluasi.

Akhirnya senin, tanggal 23 itu saya kumpulkan ke ruangan dosen. Saya bertemu langsung dengan bapak Syamsul Ma’arif. Beliau menyuruh saya mengkopi 1 lagi untuk bapak Achmad Charris Zubair.

Dua jilid pendahuluan itu saya serahkan ke resepsionis di ruang dosen.

Tanggal 24 Februari, saya mendapat sms dari ibu Sartini. Beliau mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan saya, dan mempersilahkan mengambil berkas yang telah dievaluasi dosen pembimbing ke kantor dekanat.

Siang itu sehabis kuliah jam 14.40 saya langsung ke dekanat. Dan diserahkan oleh personalia di sana.

Saya tak habis pikir, saat saya melihat kertas 5 halaman ditambah selembar permohonan maaf atas belum lengkapnya tulisan saya. Saya tak menemukan bagian mana yang dievaluasi. Bagian yang diterima bapak Syamsul Ma’arif jelas ada catatan di bagian belakang. Beberapa kalimat tentang masukan dan permintaan untuk segera diselesaikan. Serta pembetulan tanda baca dan penambahan kalimat di dalam tulisan. Saya harus objektif tentang hal ini. Bapak Arif membacanya, benar-benar mengevaluasi dan memberikan masukan.

Tapi berkas yang saya rasa untuk bapak Achmad Charris Zubair, hanya ada catatan di bagian depan “belum lengkap jadi belum bisa dievaluasi”. Saya kira beliau belum membacanya. Saya jadi subjektif melihatnya. Mungkin karena kesibukan beliau, ditambah bukan hanya berkas saya tapi juga yang lainnya menumpuk. Beliau belum sempat benar-benar “membacanya”.

Kalaupun pernyataan dan anggapan saya ini tidak benar, saya mohon maaf. Tapi subjektifitas tidak bisa saya hilangkan. Saya terlalu skeptis terhadap hal yang saya rasa mungkin benar-benar tidak beres. Saya mencermati lagi kalimat Pram yang sering diucapkan Fahri Salam kepada saya “adil sejak dalam pikiran”.
Read More......

Jumat, 06 Februari 2009

Nonton Bareng Madagascar 2


Dua motor keluar dari sebuah rumah di blok C nomor 2, perumahan Muslim Darussalam Condong Catur, Sleman. Saya mengendarai motor lama Astrea Grand hitam keluaran tahun 1994. Membonceng perempuan kelas 3 SMP, namanya Adelia. Adik kembarnya, Aldo dan Aldi duduk di jok belakang Mio. Di depan yang memegang kendali Arleta. Dia anak pertama dari pasangan Suradji dan Katini.


Jumat pagi, tanggal 2 Januari 2009. Dari malam sebelumnya saya dan Arleta smsan membahas akan diajak main kemana adik-adiknya. Adelia, Aldo dan Aldi.

Mereka sempat bete ketika malam pergantian tahun baru. Kali ini mereka diajak bapak ibunya liburan ke rumah di Jogja, tidak seperti perayaan tahun baru sebelumnya. Biasanya mereka sekeluarga berkumpul di rumah Sukoharjo. Mereka berharap akan keluar pas pergantian tahun baru. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak di Sukoharjo tidak di Jogja sama saja. Mereka tetap di rumah. Play Station yang dibawa dari Sukaharjo menemani Aldo dan Aldi. Adelia sibuk dengan HP-nya, lalu menonton TV bersama bapak dan ibu, atau ngobrol dengan mbak Yati, pembantu rumah tangga mereka yang juga diboyong ke Jogja.

Arleta terhindar dari kemuraman dalam rumah. Ia senang saat diizinkan orang tuanya untuk merayakan tahun baru di luar. Pukul 9 malam 31 Desember saya menjemput Eta ke rumah. Dia menggunakan kemeja bergaya Korea, yang tempo hari dibeli di Miami Beach. Rambutnya di keriting, cantik sekali. Kita keliling jalanan Jogja, beli terompet dan akhirnya terjebak di Alun-alun Utara Keraton.

Dari arah malioboro, orang-orang tumpah ruah menumpuk ke arah Monumen Serangan Umum 1 Maret. Kawasan ini menjadi titik keramaian, dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di timur dan Bank Indonesia di barat, semakin malam semakin mendesak ke arah alun-alun. Hingga sampai akhirnya kuota penuh, tak ada lagi tempat untuk bergerak ke luar. Di Alun-alun dimeriahkan oleh penampilan band, sedangkan di Monumen Serangan Umum 1 Maret menampilkan wayang dengan musik kontemporer. Posisi Arleta dan saya di jalan samping Bank BNI 46. Tak bisa menuju alun-alun, tak bisa mendekat ke monumen. Sampai teng pukul 12, kami duduk di atas motor, meniup terompet bergabung dengan ratusan manusia lainnya. Kembang api berterbangan di udara dari dua arah.

Arleta mendokumentasikan suasana di sana dengan handycam. Butuh sejam untuk jalan keluar. Jam 2 kurang baru sampai di rumah. Ibu Arleta membukakan pintu dengan mengantuk-ngantuk.

Keesokan harinya, Adelia, Aldo, Aldi minus Arleta dibawa bapak dan ibu mengisi waktu liburan. Ke candi Borobudur dan taman wisata di daerah Magelang. Mbak Yati ikut. Xenia putih meninggalkan rumah sekitar jam 9 pagi.

Sore hari mereka sekeluarga kembali. Bapak dan Ibu malamnya balik ke Sukoharjo. Arleta dititipi adik-adiknya, ditemani mbak Yati.

Karena menimbang kebosanan adik-adik, Arleta dan saya sepakat membawa mereka jalan-jalan besoknya.

“Mereka terserah mau kemana, ngikut aja” kata Arleta.

Lampu merah di pertigaan gejayan dan Universitas Negeri Yogyakarta memberi kesempatan saya bertanya tujuan ke Arleta.

Malioboro sudah ramai walaupun hari masih pagi. Kami parkir di depan mal Malioboro. Masuk ke dalam menuju arena bermain anak-anak. Aldi dan Aldo ke tempat penukaran koin. Sekitar sejam di sana, membawa pulang 2 buah pensil hadiah dari tiket-tiket yang keluar dari mesin-mesin game.

“Kemana lagi ta?” tanya saya mendekat ke arahnya saat menuruni eskalator.

“Ga tau, kamu ada ide ga?”

“Tanya adek-adek?”

“Mereka ga tau, mereka ikut aja kemana”.

“Taman Pintar mau ga?”

“Ya, bolehlah”.

Arleta menggandeng Aldi, mengekor di belakang Aldo dengan Lia. Saya paling belakang. Menuju Ice Cream McD di selatan mal. Untuk adik-adiknya es krim yang menggunakan mangkok, biar tidak tumpah.

Aldo dan Aldi dibujuk Arleta untuk boncengan dengan saya. Gantian dengan Lia yang dari rumah dengan saya. Sebelum berangkat dari rumah, sudah ada perjanjian gantian boncengan. Waktu berangkat tadi Aldo Aldi langsung naik motor Eta, sekarang gilirannya dengan saya.

Aldo Aldi asyik-asyik saja, ketika sudah di jalan menuju Taman Pintar. Mereka nangkring di belakang, saya sesekali menanyakan keadaan mereka. Apakah mereka baik-baik saja, mau main kemana dan semacamnya. Mereka hanya menjawab seperlunya. Masih belum cair komunikasi antara saya dengan mereka.

Taman Pintar ramai sekali. Kita masuk ke dalam, suasananya hiruk pikuk. Tak nyaman di situ, kita langsung pergi tak jadi main-main di sana. Memang suasananya tidak terlalu cocok dengan Aldo Aldi, apalagi Lia. Aldo Aldi sekarang sudah kelas 4 SD. Dan kebanyakan anak-anak di taman pintar lebih kecil dari mereka. Mungkin lebih pas untuk anak SD kelas 1 atau 2 dan TK ke bawahnya.

Kembali ke parkiran motor setelah hanya mengitari bagian depan taman pintar.

Ambarukmo Plaza megah berdiri di jalan solo. Gedungnya bercat kuning. Sepanjang 2004 pembangunan mal ini menjadi perbincangan publik karena merusak situs bangunan bersejarah keraton Pesanggrahan Ambarukmo.

Para aktivis menentang dengan alasan merusak bangunan bersejarah. Tata ruang kota, budaya dan ekonomi yang mengacu kepada rakyat kecil juga menjadi persoalan. Fahri Salam, seorang wartawan lepas memaparkan secara panjang tentang hal ini dalam tulisannya “Jagad Mal Jogja”.

Kami berlima di Studio bioskop 21 Amplas. Satu-satunya di Jogja. Senin sampai jumat tiket seharga dua puluh ribu. Weekend atau hari libur dua puluh lima ribu. Ukurannya mahal jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain. Ada 2 pilihan film yang cocok untuk ditonton di masa liburan ini, dengan adik-adik Arleta tentunya. Madagascar 2 dan Felix & Obelix. Saya dan Arleta memutuskan membeli 5 tiket untuk film Madagascar 2. Studio … pukul …

Tumpangan saya berganti lagi. Sekarang saya bersama Lia lagi. Hujan rintik-rintik turun saat kita kembali ke rumah. Sebentar lagi shalat Jumat. Saya menawarkan Aldo dan Aldi jumatan bersama. Arleta menanyakan mereka mau jumatan dengan saya, tapi mereka tidak mau. Walaupun ditakuti akan dimarahi ibu kalau tidak shalat mereka berdua tetap tidak tergoyahkan. Saya pulang dulu ke kos, nanti sore ke sana lagi. Jemput untuk nonton film.

Dari siang sampai sore hujan terus turun. Sempat berhenti tapi tak lama langsung deras lagi. Sayang sudah beli tiket. Mengenakan mantel saya ke rumah Arleta lagi, hujan semakin deras. Walaupun sudah pakai mantel jaket saya basah. Untung saya telah antisipasi dengan membawa jaket satu lagi.

Mereka sudah menunggu, sepertinya sudah siap berangkat. Tapi tak mungkin berangkat jika hujan masih sangat deras. Mantel tak akan membantu. Lain cerita kalau hanya saya dan Arleta berangkat berdua, kita akan lanjut saja. Tapi dengan membawa adik-adiknya, saya khawatir mereka terkena flu. Apalagi jika ketahuan ibu bapak. Tentu Arleta yang dimarahi jika mereka sampai sakit.

Saya menyuruh Arleta telfon taksi. Tapi si sopir taksi bilang sedang tidak kerja. Akhirnya saya mencari taksi ke luar. Sampai ke pasar Condong Catur, jaraknya dari rumah Arleta hampir satu kilometer.

Tak menunggu lama, langsung dapat. Saya diiringi taksi di belakang kembali ke rumah. Motor saya parkir di garasi. Semua langsung bergerak saat taksi menunggu di depan pagar. Satu-persatu masuk ke dalam taksi setelah pamit ke mbak Yati.

“Amplas pak”, kata saya.

Lia di depan. Arleta, Aldo, Aldi dan saya di belakang. Taksi jalan pelan, saat melewati jalan di STIE YKPN malah terjebak macet. Jalannya sempit dan banyak dilalui kendaraan saban waktu. Sebentar lagi filmnya akan diputar. Sepertinya kami akan terlambat.

Kami tergesa-gesa ketika sampai di pintu samping Amplas, lantai 1. Studio 21 di lantai 3.

Pintu studio 4 telah dibuka. Kenyataannya memang terlambat sekitar beberapa menit. Filmnya diputar 17:50 . Saya bertanya kepada orang di samping, dia jawab belum terlalu lama. Arleta di pojok bangku F.1, lalu Aldo, Aldi, Lia dan saya di F.5.

Filmya lucu, banyak adegan yang bikin ketawa. Sesekali saya curi pandang ke Aldo dan Aldi. Mereka tampak menikmati. Bercakap dengan Lia dan Eta terkadang. Bahkan Aldo beberapa kali saya lihat melirik ke kanan kiri, mengamati keadaan sekeliling agaknya.

Madagascar 2 durasinya tak terlalu lama. Overall kami semua senang. Sampai filmnya selesai kami masih tertawa-tawa sendiri. Sepertinya ingin menonton lagi. Arleta senang dengan si “moto-moto”, kuda nil yang menggoda, hingga “gloria” jatuh hati.

Saat jalan ke Carrefour saya tanya ke Aldo Aldi bagaimana menurut mereka filmya. Mereka menjawab lucu. Dan tak banyak bicara. Antara saya dan Aldo Aldi suasananya belum cair. Baru sekali ini kami jalan bersama.

Lia antri di kasir carrefour. Sambil membawa sekantong belanjaan, isinya minuman dan beberapa cemilan.

Sampai balik ke rumah lagi, saya belum juga bisa mendekatkan diri dengan Lia, Aldo dan Aldi. Arlete bilang mereka memang pemalu. Wajar di peristiwa jalang bareng pertama ini kata Arleta.

Kami semua masih sempat makan sate ketika sudah di rumah. Jam setengah sembilan saya pamit pulang.

Arleta cerita. Besoknya ibu bapak ke Jogja lagi. Aldo Aldi cerita tentang nonton film. Mereka kelihatan semangat dan banyak detail yang mereka ingat. Kapan ya kita bisa nonton film bareng lagi? Pikir saya.

Read More......

Minggu, 25 Januari 2009

Dua Jam Yang Tak Terasa

Kursus berlangsung dari tanggal 7-16 Januari 2009 di kantor Pantau, Jl. Raya Kebayoran Lama No 18 CD Jakarta Selatan. Ada 6 hari pertemuan di kelas, yang masing-masing terdiri dari 2 sesi, jam 10 pagi sampai jam 12. Jeda satu jam, lalu dilanjutkan sesi ke dua jam 1 hingga jam 3 sore. Di setiap akhir pertemuan diberikan tugas yang akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya.

Janet Stelle, adalah instruktur yang akan memberikan materi tentang Jurnalisme Sastrawi (Litterary Journalism) di minggu pertama. Profesor dari George Washington University, spesialisasi sejarah media ini dijadwalkan Rabu hingga Jumat (7-9 Januari 2009). Untuk minggu kedua, diampu oleh Andreas Harsono. Dia wartawan Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalist dan mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Bukunya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism tak lama lagi akan terbit. Pertemuan dengan Andreas berlangsung pada hari senin (12 januari), Rabu (14) dan berakhir Jumat ( 16).

Ada libur satu hari setiap pertemuan, tak sepadat Janet, yang tidak bisa terlalu lama di Indonesia. Karena harus segera balik ke Washington, Amerika. Saat kelas terakhir Janet hari jumat dia bergegas. Dengan menggunakan taksi, Janet ke bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Singapore. Menginap semalam di sana dan besoknya terbang selama 24 jam ke Amerika. Hari senin dia akan mengajar di kampus. Mobilitas yang tinggi!

Beberapa orang berkumpul di dalam sebuah ruangan. Kursi-kursi tersusun, membentuk huruf U. Ada satu meja dengan mawar merah di atasnya. Plakat yang bertuliskan Pantau, kajian media dan jurnalisme serta jam dinding segi empat tergantung di dinding. Nyaman sekali, suasana santai tercipta di antara percakapan.


Ini hari pertama, Andreas membuka perkenalan. Lalu Janet dan dilanjutkan masing-masing peserta. Nama lengkap dan panggilan serta motivasi mengikuti kursus. Peserta kursus Jurnalis Sastrawi angkatan ke 16 ini sebanyak 14 orang. Satu peserta dari Papua, Hans Gebze, lebih sering tidak hadir dalam rangkaian kursus. Adriani Salam Jaques Kusni (Studio Arsitektur A&A), jauh-jauh datang dari Makasar. Angga Haksoro Ardhi dari Voice of Human Rights News Centre. Ada beberapa orang yang berprofesi sebagai pengajar di universitas, Badrus Sholeh dosen Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah, Putri Suryandari dari Universitas Budi Luhur, berencana menulis buku tentang arsitektur, sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Yang ketiga Riris W.Widati dari UAI Jakarta, pernah bekerja sebagai wartawan antara lain di Sarina dan Jurnal Perempuan.

Lalu, ada yang bekerja di lembaga, komunitas atau institusi. Seperti Supriatna dari Arus Pelangi. Arus Pelangi adalah organisasi yang memberi perhatian kepada masalah LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseksual). Selanjutnya Titi Moektijasih (UN OCHA), Irma Dana (Klub Indonesia Hijau, Bogor), Ken Ken (Yayasan CDT 31), Syarifah Amelia ( Government Institution/Technical Cooperation) dan Fauzi Aunul (ICRAF, sebuah lembaga Agroforesty). Dua orang terakhir adalah Mukhti, wartawan majalah Otonomi dan saya, Alfian Syafril, mahasiswa.

Setelah perkenalan Andreas undur diri. Janet memulai kelas dengan penjelasan dan gambaran tentang jurnalisme sastrawi. Inti yang ingin disampaikan oleh apa yang disebut dengan jurnalisme adalah fakta. Tanpa fakta tidak bisa disebut jurnalisme. Secara umum jurnalisme sastrawi adalah fakta yang ditekankan dengan gaya bercerita yang berbeda. Ada hal yang lebih mendalam dan memikat yang ingin disampaikan oleh jurnalisme sastrawi ini. Perkawinan antara jurnalisme (fakta) dan sastra (fiksi). Ini menjadi kontradiktif, tapi pada dasarnya tetap fakta. Banyak hal yang disampaikan dan dibagi oleh Janet dalam 3 kali pertemuan. Mengenai sejarah narrative journalism, unsur-unsur jurnalisme, struktur dalam sebuah tulisan narasi hingga pemakaian kata “saya” dalam sebuah tulisan. Bahan-bahan berupa bacaan dari berbagai macam tulisan yang disiapkan panitia dalam sebuah paket juga memperkaya materi-materi di kelas.

Penugasan juga menjadi hal yang menarik. Tugas dibacakan oleh masing-masing peserta untuk kemudian dikomentari dan didiskusikan bersama. Dua tugas dengan Janet adalah “menulis tentang sebuah peristiwa yang disaksikan. Mulai dengan adegan tanpa penjelasan dengan topik apa saja yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi” dan “menulis narasi dengan gaya orang pertama (saya, aku, gua dan lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan”. Saya baru menyadari kalau dua tugas yang saya kerjakan belum memuaskan, terkadang tidak nyambung dengan perintah yang diminta. Begitu juga dengan tugas bersama Andreas minggu berikutnya.

Beberapa hal yang saya catat dari koreksi tugas ini adalah tentang detail, penambahan detail dan pengaturan yang lebih baik lagi, kalimat atau alineanya. Lalu menghilangkan dialog-dialog yang tidak perlu, pemakaian kata-kata yang berlebihan dan terkadang klise. Pemilihan kata yang akan digunakan dalam tulisan juga perlu diperhatikan, jika tidak akan ada bayak pemborosan kata. Tentang masalah fokus, menentukan struktur yang jelas dan benar sehingga tidak meloncat-loncat (cerita/alur). Tema yang menarik sehingga cerita tidak datar dan makna (meaning) yang ingin disampaikan dapat dimengerti oleh pembaca. Lalu untuk memperkuat makna, menurut Janet setiap penulis memerlukan sebuah engine (mesin).

Persoalan pemakaian kata “saya” atau menggunakan sudut pandang orang pertama dalam tulisan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Jika penulis (wartawan) tidak punya peran penting dalam liputan, tidak penting memasukkan kata “saya”. Lebih baik menggunakan sudut pandang orang ketiga. Bahwa diperlukan karakter yang kuat dalam sebuah tulisan. Ada tokoh utama yang menjadi karakter cerita, dan kalau bisa si tokoh adalah seorang yang aktraktif, terbuka dan komunikatif. Ungkapkan konflik dan di bagian akhir selesaikan dengan berbagai macam pilihan. Narrative Journalism seperti sebuah film, video yang bergerak, bukan picture yang hanya diam.

Hari terakhir Janet benar-benar telah kehabisan kata-kata bahasa Indonesianya. “Uff, bahasa Indonesia saya sudah habis”, ucapan Janet saat mengakhiri kelas.

Mengenai hal ini, saya pernah baca sebuah blog yang menceritakan kebiasaan Janet ini. Ini cara Janet menyelesaikan kelas kesimpulannya. Hari Jumat itu berbeda, di saat kelas akan berakhir mbak Fiqoh staf Pantau masuk membawa kue tar sambil menyanyikan lagu Happy Birhday. Sontak peserta kelas ikut bernyanyi, riuh!

Janet surprise dan terkaget-kaget, ”Is it June?”

Hohoho, terjadi kesalahan informasi tanggal kelahiran Janet. Juni bukan Januari. Nyanyian mulai melemah, perlahan hilang. Salah satu yang paling semangat adalah mas Fauzi (Aunul Fauzi). Dia menyanyikan lagu selamat ulang tahun lantang sekali. But party must go on, jika tidak ulang tahun, mumpung awal tahun sekalian pesta tahun baru. Atau pesta kecil perpisahan dengan Janet. Janet begitu terburu-buru, setelah foto bersama di lantai atas gedung Pantau dia langsung mengundurkan diri. Semua orang bersalaman dengan Janet.

Tiga hari pertama kursus telah lewat. Sabtu masih ada kelas tambahan dengan Endi M.Bayuni Chief Editor, The Jakarta Post. Sayang saya terlambat, sampai di kantor Pantau saat-saat akhir. Tidak banyak yang saya tangkap dari kelas ini.

Andreas menggunakan batik biru senin tanggal 12 Januari 2009. Kelas dimulai jam 10 tepat. Power point melalui proyektor telah siap. Dimulai dengan slide dengan pertanyaan “apa jawabannya?”, dari 7 pernyataan. Salah satunya adalah “benarkah di Indonesia makin Islamis dan suara-suara minoritas makin diabaikan”. Pagi itu kita membahas tentang “bias” dan dilanjutkan dengan pembahasan secara padat dan jelas tentang sembilan elemen jurnalisme. Materi ini disarikan dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

“Sekarang jadi 10 elemen, karena ada komentar dan masukan melalui internet dan lainnya”, kata Andreas

Elemen tambahan itu adalah Warga Punya Hak dan Kewajiban terhadap Berita. Satu hal yang selalu saya ingat dan jadi kata yang sangat penting bagi saya, Andreas bilang “Jika ingin menulis harus masuk ke hal yang paling fundamental, jangan terlena oleh perspektif.

Tidak cukup sekali Andreas mengingatkan tentang ini. Bahkan tugas yang saya buat, setelah koreksi masih banyak perspektif. Andreas lagi-lagi rewel tentang ini.

Dua jam pertama terasa cepat oleh Andreas. Saya pribadi menampung banyak informasi dan banyak kata-kata yang menginspirasi.

“Aan saja terkesima dengan Andreas”, kata Fahri kepada seorang teman ketika saya sudah di Jogja lagi.

Selesai makan siang dan istirahat kelas dilanjutkan dengan materi tentang tujuh pertimbangan narasi dan diskusi soal jurnalisme sastrawi. Lagi-lagi terasa cepat. Hingga diakhiri dengan tugas untuk pertemuan selanjutnya. Ada jeda sehari sebelum bertemu Andreas lagi.

Hari ke lima kursus atau pertemuan ke dua dengan Andreas Harsono di isi dengan membacakan tugas masing-masing. Beda-beda tema yang coba diungkapkan. Tugasnya membuat deskripsi. Jam ke dua Andreas membahas panjang lebar tentang “Hiroshima” karya John Hersey.

Kita berlatih wawancara secara langsung untuk menutup rangkaian Kursus Jurnalisme Sastrawi angkatan XVI ini. Membahas tentang sumber anonim dan mendiskusikan teknik interview. Sebelumnya diskusi tentang tulisan yang bertema sama tapi dengan gaya dan strktur berbeda. Temanya tentang Aceh, yang diambil dari tulisannya Chik Rini “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”, Andreas Harsono “Republik Indonesia Kilometer Nol” dan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah.

Suara Andreas berat, pelan bahkan tanpa tekanan. Mengalir lancar dan saya yakin ini akhir dari kursus kali ini. Andreas mengakhiri dengan indah. Saya dan yang lain bersemangat, Andreas begitu menginspirasi.
Read More......

Senin, 19 Januari 2009

Sore, Potongan Sudut Jakarta

Tembok panjang yang tak ter-plester dengan selesai membatasi sepanjang aliran kali kecil, penuh sampah. Plastik-plastik bekas belanja di swalayan atau layangan yang hanya tinggal kerangkanya saja menjadi penghias aliran air kehitaman. Di balik tembok ada beberapa rumah yang berbatasan langsung, bahkan air terjun mini dari pipa banyak muncul ke dalam kali. Air pembuangan rumah tangga. Campur baur bau yang dihembus-hembuskan angin.
Di sisi kali yang lain ada ruas jalan masih bebas, terkadang diapit oleh bangunan yang kebanyakan rumah penduduk, atau kalau tidak warung kebutuhan sehari-hari yang dipaksakan berdiri. Sore hari, seorang bapak menggendong anaknya yang baru beberapa tahun, sesaat meninggalkan lelahnya pekerjaan yang menghinggapi dari pagi. Beberapa pemuda duduk-duduk di bale-bale dan kursi yang disediakan seadanya oleh pemilik warung. Salah seorang membaca tabloid Top Skor sekedar mengetahui jadwal pertandingan bola liga eropa minggu ini, dan sedikit berharap dengan analisis pertandingan di tabloid agar bisa menang taruhan nanti. Dua lainnya dengan pakaian yang masih rapi dan sepatu terpasang bercakap-cakap ngalor-ngidul tentang sesuatu. Bapak tua dengan topi koboi menemani dan nimbrung sekali-sekali. Abu rokok berjatuhan melalui pegangan sela-sela jari ke kali yang masih mengalir pelan.
“Mmmamam….mmmm”si bayi dalam gendongan bapaknya berteriak ingin mengungkapkan sesuatu.
Si bapak menimang-nimang ke kiri dan ke kanan sambil bolak balik di depan dua pemuda dan orang tua tadi.
“Ada apa e si kecil, kecil…?”ujar orang tua, bermaksud menggoda si bayi sambil meminta bapaknya mengalihkan gendongan kepadanya.
Tapi tak jadi, karena ibu si bayi keburu datang sambil membawa bubur dalam kotak kecil. Pelan-pelan bayi itu dipindahkan bapaknya ke dalam kereta. Sambil mendorong-dorong kereta si ibu menyisipkan sendok kecil ke mulut mungil anaknya.
Si kecil menangis dan membuat si ibu membawa bayinya ke dalam rumah. Kusen jendela yang dicat hijau pekat serasi dengan permukaan rumah yang warna hijaunya lebih terlihat lembut. Dari luar jendela dilapisi terali besi hitam. Tak ada halaman di sini, hanya beranda yang ditemani sepasang kursi beserta mejanya. Di sebelah kiri ada bangunan dua lantai memanjang ke samping, kira-kira 8 meter. Ada bagian menjorok ke belakang jika dilihat dari depan. Lantai bawah ada tiga kamar yang berfungsi dan selebihnya sedang direnovasi. Di ujung bangunan ada tangga untuk naik ke lantai dua. Di atas ini, hanya dua pintu yang terbuka, selebihnya dikunci dengan gembok, keseluruhan ada enam kamar yang disediakan untuk kost-kosan.
Si ibu dengan bayi kecil tadi yang menjadi pengelola rumah kos-kosan yang sebagian besar di isi oleh mahasiswa Teknik Elektomedik dan Radiografi, Universitas Politeknik Kesehatan Jakarta.
Bedak tipis di pipi, sambil masih sempat sesaat menyemprotkan pewangi ke t-shirt yang dikenakan. Sementara seorang lagi sibuk mengikatkan tali sepatu sportnya. Dari salah satu kamar sayup-sayup terdengar perintah ke arah kamar mandi agar yang di dalam lebih cepat. Kawasan Senayan menjadi tujuan mereka sore ini, hari rabu adalah jadwal untuk joging. Handuk kecil dan tas tersandang di lengan gadis yang tadi mengikat tali sepatu dan sekarang telah berdiri, menunggu 3 orang temannya.
“Kaus kakiku, dimana?” yang baru keluar kamar mandi mengajukan pertanyaan entah kepada siapa sambil terus berlalu ke dalam kamar. Semuanya serba cepat setelah itu, ketika salah seorang menyuruh yang lain segera, karena teman yang lain telah menunggu. Read More......

Termehek-Mehek Mewujudkan Keinginan?

Juwita duduk di depan meja lipat yang dipenuhi tumpukan kertas, isinya angka-angka dan coretan-coretan kecil. Tugas rangkaian listrik dari kuliahnya di Politeknik Kesehatan Jakarta II. Sesekali tangannya menari-nari dengan pulpen di atas kertas. Badan dicondongkan ke depan dengan mata yang terkadang dipejamkan. Dia bergerak dengan mengangkat meja lipat bergambar barbie, lalu meraih kertas kosong yang digunakan untuk menghitung bilangan jawaban soal tugasnya.

Baru beberapa bulan di Jakarta, belum genap setahun. Sebentar lagi ujian semester pertamanya di bangku kuliah. Dulu, sekolah di daerah, berkilo-kilometer dari Jakarta. Lulus SMAN 1 Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Hijrah ke Jakarta meninggalkan nenek dan kakeknya. Dari kecil dibesarkan oleh mereka membuat dia sedih dan berat untuk pergi. Tapi tawaran dari kakak Ibunya yang bekerja di Pusdiklat Depkes Jakarta, membuat dia berangkat.

Lahir di Banjarmasin delapan belas tahun yang lalu, tapi tak mengerti kenapa di akta kelahiran-nya ditulis Wonogiri, 4 Juni 1990.

“Saya anak tunggal, kira-kira umur 1 tahun bapak ibu saya cerai mas, saya juga ga tau gimananya, taunya dari cerita saudara atau tetangga aja,” ucapnya kepada saya. Ia tampaknya mulai malas melayani soal-soal di hadapannya. Sambil berdiri ia masih menyambung “itupun saya udah gede baru ngerti bapak-ibu cerai, terus umur 2 atau 3 tahun mungkin, ibu saya ke Jakarta”. Semenjak itu dia dibesarkan dan disekolahkan atas usaha kakek dan nenek, sesekali kiriman datang dari ibunya.

Terakhir ketemu ibunya lebaran kemaren, disusul ke kampus. Sekitar setengah jam di dekat warung pedagang kaki lima, ngobrol kabar satu sama lain dan berbagi cerita tentang apa saja yang menjadi pengobat kerinduan ibu dan anak. Dia bercerita lepas saja. Langsung saya tanya, “kapan terakhir kali ketemu bapak?”.

Air mukanya tidak berubah ketika jawabannya cukup mengejutkan saya. Selama hidupnya dia belum pernah ketemu sekalipun dengan bapaknya. Hanya foto-foto pernikahan orang tuanya ketika di Kalimantan yang mengenalkan dia dengan wajah bapaknya.

“Ada sih mas, keinginan untuk ketemu ayah saya. Ga tau kapan,” senyum mengembang dari bibir merahnya.
“Pernah ungkapin ke siapa tentang keinginan itu?”saya memandangnya dalam-dalam.
“Just only one Allah, mas. Saat shalat ya, adalah minta buat bisa diketemuin sama bapak..”, ujarnya dengan penuh pengharapan.

Saya terdiam dan mencoba merasakan kerinduan yang hadir dalam suasana ini. Tiba-tiba”Kenapa ga ikut Termehek-mehek aja kamu?, saya mengusulkan.
“Ga penting, acara ga penting. Acara yang isinya nangis-nangis doang. Membuka aib orang aja, ga mendidik. Ga baik, ya kadang baik kalo ga bikin ribut, tapi tetap aja ribut ujung-ujungnya,” rentetan kata emosi dari dirinya membuat saya permisi sesaat.


Read More......

Sekelumit Kisah STAN

Pertengahan Januari ini, seorang teman menempuh waktu 30 menit dari Bintaro ke Kebayoran Baru. Acara pertemuan, mumpung saya lagi di Jakarta. Dia teman sekelas waktu SMA. Sekarang kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) jurusan Administrasi Perpajakan. Selain itu, ada juga jurusan Akuntansi Pemerintahan, Bea dan Cukai, Piutang Lelang Negara, Pajak Bumi Bangunan Penilaian dan Pembendaharaan Negara. Saya menunggunya di depan Rumah Sakit Pertamina Pusat.

Dari sana kami ke kantor Pantau di Kebayoran Lama. Ada janji wawancara dengan Siti Nurrofiqoh, staf Pantau. Saya masih harus menunggu mbak Fiqoh datang. Sambil menunggu, saya dan teman duduk di atas gedung kantor Pantau sembari menikmati secangkir kopi. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya kuliah di STAN. Untuk masuk kampus ini standar tesnya tinggi sekali, kemampuan matematika harus kuat. Matematika bagi sebagian anak sekolah adalah momok.

Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Malah saya iri sama anak UI, ITB. UI mungkin lebih bagus dibanding STAN, analoginya jika output UI 200, STAN 110. Itu dengan input yang sama.”
Yang dimaksud output disini adalah dunia kerja, yang mengacu kepada kemampuan analisis. Di UI dan Trisakti juga ada jurusan pajak. Mereka lebih ke teori, STAN lebih unggul untuk pemahaman aplikasi keilmuan. Komposisi mahasiswa laki-laki dan perempuan berbanding 1:3. Memang ada prioritas untuk kaum “adam”.
“Kenapa begitu?”tanya saya.
“Mutasi pekerjaan. Laki-laki lebih gampang untuk berpindah-pindah dibanding perempuan.”

Secara garis besar ada dua macam pelajaran di sana, hitungan dan hafalan. Akuntasi dan Pajak, termasuk jurusan yang paling susah dalam pelajaran hitungan. Sama seperti mahasiswa fakultas hukum yang menghafal begitu panjang barisan undang-undang, mahasiswa STAN tak kalah banyak menghafal tentang pajak. Berkutat dengan angka-angka menjadi makanan sehari-hari. Sangat jarang membahas “dunia luar”, kalaupun ada biasanya mereka berdiskusi tentang dinamika Departemen Keuangan. Mengenai kebijakan yang dikeluarkan terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Karena muaranya setelah mereka lulus akan ditempatkan di Departemen Keuangan, misalnya di Departemen Pajak, Bea Cukai, KPPN atau BKF. Tapi bisa juga di instansi non-Depkeu, seperti BPKP, BPK atau Bapeppam. Sistem kuliahnya bisa dibilang santai tapi ujiannya sangat sulit.
“Pernah awak kuliah hitungannya 3 SKS, seharusnya 4 kali pertemuan, tapi cuma dijadikan 2 jam. Pas ujian, beuhh …,” Renrefli tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah.
“Ya karena tuntutan IPK harus di atas 2.75 bia indak di DO, terpaksa belajar keras setiap sebelum ujian”, sambungnya.

Kebanyakan mahasiswanya adalah orang jawa, hampir sebagian besar. STAN itu untuk orang jawa. Ini isu yang kebanyakan berkembang di kalangan mahasiswa non-jawa. Karena stereotipe sudah terlalu lama dikuasai orang jawa. Renrefli pernah bertanya kepada salah seorang temannya yang baru lulus saat test ketiga kalinya. Orang tuanya lebih senang dia jadi birokrat dengan kuliah yang setelah lulus langsung dapat kerja. Dia menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah budaya jawa, yang menganggap kerja di kantor pemerintahan itu lebih baik.
Kalau benar begitu saya berfiir mungkin ada hubungannya dengan sejarah kolonial Belanda. Penetrasi terhadap budaya jawa. Saya teringat cerita Pram, khususnya beberapa bagian di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.


Read More......

Persepsi Mas Raka

Pagi minggu, dekat kawasan Graha Saba Pramana konsentrasi kerumunan massa dan kendaraan tumpah ruah. Orang-orang joging diantara berbagai macam kuliner dijajakan. 500 meter ke arah utara, ada perempatan lampu merah. Orang-orang lebih mengenal dengan nama perempatan MM UGM. Utara perempatan menuju Kaliurang atas. Timur ke arah kehutanan UGM. Di sebelah barat ke jalan Sardjito, Rumah Sakit Umum Dr.Sardjito dan kampus Fakultas Teknik UGM melalui jalan ini. Di sisi timur kanan perempatan ada pos polisi, di depan pos sebuah plang terpancang “Polisi Sektor Bulaksumur”.

Rambutnya panjang hingga ke bahu, keseluruhannya hitam walau beberapa helai telah berubah menjadi putih. Pandangan matanya tajam, sesekali lidahnya membasahi bibir. Kumis tebal dan janggut yang dibiarkan panjang menambah kesan sangar. Tubuhnya tidak terlalu besar, malah cenderung kurus tapi kekar dan hitam legam terbakar matahari. Hem biru yang kancingnya dibiarkan terbuka melapisi badannya. Ditambah rompi hijau hitam bersaku di bagian bawah, dipungung rompi tertulis Harjo.

“Maaf mas agak telat dari janji kita kemaren, biasalah hari minggu jadi agak nyantai”, katanya ketika saya langsung mendekatinya. Perempuan di sampingnya menyunggingkan senyum. Tak berbeda jauh penampilannya. Kaos putih hitam dilapisi rompi yang sama bertulis Harjo di punggungnya. Tak ketinggalan manset hitam terpasang dari lengan hingga pergelangan tangannya.

“Jadi gimana mas, mau langsung coba jualan? Udah agak siang sebaiknya langsung aja”, ujarnya sambil menyerahkan beberapa eksemplar koran hari itu. “Koran Tempo 1000 rupiah, Harjo 2000, Kompas dan KR masing-masing 3500 dan 2500 rupiah”,sambungnya.
“Nanti kita pisah, saya dan istri saya di sini mas di utara, sekarang udah setengah sembilan jam sebelas kita kumpul lagi sekalian istirahat”, tangannya sibuk memisahkan koran-koran sambil memberi instruksi dengan cepat.

Tak punya pilihan saya langsung memisahkan diri dari mereka, menuju ke utara perempatan. Dua setengah jam ke depan saya akan mencoba menjadi seorang penjaja koran di jalanan. Sekitar 60 detik saya menawarkan dagangan ke orang-orang yang berhenti, sebelum berjalan lagi. Dan menunggu tiga sisi lainnya sebelum traffic light di posisi saya lampu merahnya menyala kembali. Sesekali saya melempar pandang kepada mas Raka, begitu namanya ketika mengenalkan diri kemaren. Tubuhnya timbul tenggelam diantara mobil dan sepeda motor. Istrinya lebih banyak mengambil tempat di sisi trotoar.

Matahari sebentar lagi akan di atas kepala, saya semakin sering menoleh ke arah seberang. Hingga koran di tangan seorang di seberang bergerak-gerak ke kiri dan kanan. Saya berdiri tegak dan lambaian tangan mas Raka menyuruh saya menuju ke tempatnya. Setengah berlari dengan koran yang masih tersisa di tangan dalam hitungan 10 detik saya sudah berada di dekatnya.

“Gimana mas?capek ya?”,tanyanya sambil mengambil posisi duduk di pagar trotoar.
“Lumayan, maaf ga kejual semua mas”, dengan menyerahkan sisa koran dan lembaran duit dari koran yang terjual saya menjawab.
“Yo ra opo-opo to mas, lagian kan mas hanya ingin merasakan gimana jualan koran to? Ga enak to mas?”, ujarnya sambil melirik istrinya. Si istri tersenyum-senyum saja.
“Ga apa-apa kok mas, sekalian bisa langsung masuk ke inti tentang tujuan saya”, saya menjelaskan panjang sekali lagi kepada mas Raka, bahwa saya ingin mewancarainya. Karena ingin menulis cerita tentang kehidupan penjual koran, suka duka di jalanan, keluarga dan sebagainya. “Owalah mas, saya kira mas ingin ikutan jual koran dari pagi sampai pulang, ra ngerti kalo cuma mau wawancara wae”, dia bicara dengan mimik menyesal.
Read More......

Senin, 05 Januari 2009

Kepercayaan Lokal Menjawab Persoalan Global Warming

Sejauh mana filsafat dalam aspek-aspek kosmologi memaknai global warming

Filsafat pada umumnya membahas dan mengkaji hal-hal yang mendasar. Dalam menyikapinya terkadang perlu ada sinkronisasi dalam memaknai antara yang umum dan khusus. Dalam pemahaman filsafat juga mengacu kepada being and non-being. Lalu tercabang kepada permasalahan yang melingkupi objek-objek filosofis. Kosmologi yang secara paling umum disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang alam atau dunia. Kosmologi tidak kerap membicarakan tentang benda material yang mati saja seperti batu, udara dan sebagainya. Tetapi kemudian juga melangkah jauh kepada makhluk-makhluk yang hidup di atasnya, manusia dan sebagainya. Kosmologi berangkat dari keseluruhan aktivitas duniawi, yang membahas segala macam tentang dunia dan materi-materinya. Seperti permasalahan ruang dan waktu yang mendasari perbedaan antara kuantitas dan kualitas. Maka dapat dikatakan bahwa sifat kosmologi adalah lebih luas dan mendasar tentang segala keuniversalan alam (nature). Kosmologi dalam diskursus filsafat mempelajari manusia dan kosmos sebagai “objek”, yaitu suatu kenyataan objektif dengan struktur dan arahnya sendiri. Setiap topik yang berkembang dalam pembicaraan kosmologi dapat dan sepertinya harus disertai dengan analisis konsekuensi-konsekuensi bagi pengetahuan.
Substansi dalam kosmos secara khusus dapat diambil kesimpulan bahwa manusia memiliki keunggulan di dalam kosmos. Jadi peran penting manusia sebagai sasaran dan puncak seluruh evolusi kosmis terlihat disini. Dalam tulisan ini saya menjadikan manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan aktivitas alam. Gejala-gejala alam tidak pernah lepas dari andil manusia dalam mencapai tempat tertinggi kepadatan dan kekayaan yang menentukan kosmos. Manusia adalah pengkosmos. Dengan begitu muncul keinginan dan kemutlakan bagi manusia, dengan sendirinya manusia dibebani tanggung jawab dan kebebasan yang mutlak, dalam hal ini terhadap alam.

Filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche dengan radikal mengatakan bahwa kehendak berkuasa adalah “dunia”. Gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa ini merupakan saripati dari seluruh petualangan pemikiran Nietzsce, kesimpulan ini merupakan hasil-hasil percobaan (Versuch) lewat kontemplasi yang panjang, bukan ditarik begitu saja dari premis-premis silogisme yang dituangkan dalam suatu tulisan yang sistematis.

Melalui metode filsafatnya yang menghasilkan tulisan-tulisan yang tidak terikat pada suatu sistem, Nietzsche menemukan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip dari seluruh kehidupan manusia dan alam (St. Sunardi, 1996).
Kelanjutan dalam berbagai aspek dari gagasan Nietzsche tersebut, politik, negara moralitas dan sebagainya. Tentang kedudukan manusia dalam dunia (die Sonder Stellung des Menschen im Cosmos). Nietzsche menolak gagasan bahwa manusia hanyalah merupakan anugerah yang diberikan alam sebagaimana yang dikemukan Charles Darwin. Nietzsche juga tidak menyetujui pandangan religius yang mengakui bahwa manusia adalah rahmat ilahi. Menurut Nietzsche kedudukan manusia terletak diantara binatang dan apa yang disebut Ubermansch. Yang membedakannya adalah bahwa manusia mempunyai tujuan yang hanya dapat dicapai oleh manusia itu sendiri dengan menggunakan kemampuan (potensia) dan kemungkinan untuk mengatasi dirinya. Manusia yang tidak merealisasikan kemungkinan dan potensi-potensinya akan tetap sebagai status binatang. Ubermansch adalah semacam manusia “ideal” yang dapat merealisasikan semua kemungkinannya “aussereste Moglichkeit des Menschen” (Curt Freidlein,1984).
Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di bumi selalu berubah. Pada abad 19, studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut “gas rumah kaca”, yang bisa mempengaruhi iklim di bumi. Gas rumah kaca adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, jika tidak, tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Secara umum karbondioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Sumber utama peningkatan konsentrasi karbondioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es). Dalam arti lain aktivitas manusia dari agrikultural.
Salah satu perspektif yang berkembang mengatakan bahwa manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi matahari dan keseluruhan permukaan bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim.
Manusia adalah makhluk yang bereksistensi terus menerus, memerlukan alam sebagai wadah untuk kegiatan survivalnya tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi kemampuan manusia melaksanakan “kehendak untuk berkuasa”. Lalu, apa yang menyebabkan alam menjadi salah satu ancaman terbesar manusia dan lingkungannya pada semester? Yang berkembang sekarang adalah pemanasan global, yang membuat ilmuawan ataupun yang berkepentingan terhadap hal ini menekankan pada masyarakat (manusia-manusia) bahwa ini ancaman terhadap kelangsungan manusia yang berangkat dari “kehendak untuk berkuasa” tadi.
Dalam kepercayaan masyarakat tradisional bahkan modern sekalipun, takhayul menjadi satu bagian penting dalam berhubungan dengan alam. Ada yang merasa salah dengan takhayul karena kesadaran modern membebaskan manusia dari takhayul, dari batas dan ketakutan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dibuktikan atau diterangkan dengan akal sehat. Takhayul mewarnai kepercayaan lokal. Salah satu kontribusi yang dapat diterapkan terhadap permasalahan pemanasan global ini adalah menghidupkan kepercayaan lokal yang di dalamnya terkandung cerita dan ajaran-ajaran yang filosofis. Pada masa silam manusia takut bukan kepada Tuhan (sebelum agama monoteisme ada), melainkan kepada alam. Alam dipercaya keramat, dengan demikian tak boleh disewenangi. Pemanfaatannya harus dengan permisi dan dalam batas-batas yang tahu diri. Pada hari-hari tertentu pepohonan tua diberi sesajen. Kepada gunung dan kawah purba diupacarakan persembahan. Pada musim-musim tertentu (terutama musim birahi binatang) manusia pamali berburu. Manusia tidak punya mesin pendingin untuk menyimpan daging sehingga membunuh secukupnya yang bisa dimakan. Seperti singa, mereka tidak membunuh rusa beberapa ekor sekaligus lalu menyimpannya dalam “kulkas”. Maka tak ada hewan atau pepohonan yang dibantai (dibantai dalam arti dihabiskan dalam jumlah berlebihan). Semua makhluk hidup dalam keadaan seimbang. Seperti Yin Yang, dalam filsafat Cina.
Keseimbangan dan rasa takut sekaligus menghormati alam membuat struktur alam seimbang. Setidaknya dari segi ini dapat mengerem produktivitas dan keinginan manusia untuk berkuasa termasuk alam dan dunia seperti yang dikatakan Nietzsche. Bahwa ada nilai-nilai tradisional yang harus diperhatikan.

Read More......

Menyuruh = Membunuh

Aku tak suka disuruh-suruh…
Kenapa orang masih suka menyuruh-nyuruh
Bahkan Tuhan pun menyuruh
Banyak pilihan untuk menjadi islam statistik
Begitu agama aku
Tak sembahyang, tak puasa dan seterusnya
Jadi hanya untuk memenuhin statistik saja

Kenapa ada kebenaran yang fungsional dan yang
Filosofis, tidak dapat diukur Read More......

Sahabat Adalah Bumi

Pernahkah kita menemukan seorang sahabat?

Lalu kita berfikir apa sahabat, seperti apa sahabat itu. Kemudian kita memunculkan banyak pendapat tentang apa yang kita fikirkan.
Sahabat menjadi kehidupan kita, menelusuri setiap jalan yang pernah dan akan kita lalui. Sosok seperti apa saja yang telah kita kenal?

Sahabat yang mengkhianati kita, pernahkah kita bagi hidup kita ke dia, baik materi ataupun immateri. Kita percayakan semua kepadanya. Kirimkan cerita detail hari-hari kita, masalah rumah tangga hingga hal-hal remeh temeh. Terkadang masaih menyimpan semua yang patut dirahasiakan atau seperti yang dibilang di awal tadi, sahabat itu berubah menjadi monster, sebelumnya menjelma menjadi parasit lalu menghisap darah kita sampai habis. Bisa dibilang itu pengkhianatan. Seperti dunia mafia “dibalik pengkhianatan ada pengkhianatan”. Megerikan memang!! Sebaiknya kita mengenal dan belajar dunia mafia dari sekarang.

Sahabat yang merasakan hidup susah dari kecil dengan kita, dikemurnian desa yang terkadang munafik atau di kesumpekan kota yang terkadang berlebihan. Kita dan sahabat sama-sama mati rasa. Tak kenal hujan, panas semuanya pernah terlewati melalui jalanan kota dan pematang sawah. Dingin malam hadir dalam memori menusuk. Kejamnya segala hal yang kejam telah terlewatkan. Perpisahan mengakhiri segalanya, lalu berbilang waktu dalam tahun kita bertemu lagi. Mencolok perbedaan yang nasib tentukan, berbeda wajah baik dan buruk, entah siapa yang akan memiliki. Disindir dan ditamparlah kita yang kalau beruntung bisa membuat kita bangkit. Lubang-lubang kehidupan yang membuat terjerumus, terbujuk bayangan mimpi yang indah. Lalu terpisah dendam. Sendiri-sendiri menepi, tanpa seseorang yang sanggup mengerti (dari sebuah lagu yang akan menjadi tinjauan dalam rencana skripsi). Seorang sahabat yang telah berjanji akan membantu prosesnya nanti. Semoga tidak hanya membatu. Sahabat membuat kita punya tanggung jawab.


Sahabat yang hanya ada dalam khayalan, besar kecil kemungkinan bisa bertemu. Tapi memberi arti besar, seakan di dalam darah mengalir darahnya, dalam detak jantung berdenyut dia. Hanya bisa melihat dari jauh dan membersitkan rasa kebanggaan lebih dari kebangsaan. Karena dengan tangannya lewat kreativitasnya semua seragam dalam kebersamaan yang fanatik, tak habis-habis.

Sahabat yang mati dalam pelukan dia. Cerita ketika menumpang kereta batu bara. Tergencet antara gerbong dan gerbong. Panas beruap, peluh meluap sepanjang jalan. Sahabat sama-sama melompat dan sayangnya lompatan sahabat disambut batu pada kepalanya. Mati berdarah mengenai tangan kita. Masih bergerak dan meringis ketika ia meregang nyawa. Mati, hingga ke kuburannya. Sekarang kita memiliki putra dan putri seumuran sahabat yang dulu mati, masa sekolah. Masih terkenang darah yang masih tergenang di tangan.

Sahabat yang kita jejakkan setiap hari, yang kita buangkan kotoran-kekotoran padanya. Madu dan airnya kita manfaatkan. Semuanya kita ambil. Tapi dia tidak bisa menolak, suatu saat dia akan menolak dengan bencana. Karena sahabat itu adalah bumi.
Read More......