Selasa, 09 September 2008

Rak dan Gerobak (Hidup)

Kamis siang di awal Juli, saya menginjakkan kaki di Toga Mas Galeria, tak seperti bayangan awal saya tentang toko buku. Toga Mas ternyata hadir di mall, pertama kali saya ketahui ini. Tempat ini berbeda.
Dari parkir di basement 2, lift membawa ke lantai 2. Ini benar-benar baru dalam database penglihatan saya. Pintu lift terbuka, saya mengambil langkah ke kiri luar, berjalan beberapa langkah. Pagar-pagar panjang dan etalase toko mengapit. Tak jauh mata saya tertumbuk pada dekorasi toko yang penuh dengan warna merah. Kaca-kaca besar, kira-kira mengisi empat sudut. Hampir keseluruhan bagian luar toko dilapisi kaca. Buku di rak telanjang tampak dari luar.
Kaki saya terhenti di tempat minum, dalam pandangan di depan sebuah gerobak bervernis coklat. Dari yang saya baca di depan, tempat ini bernama Djendelo Cafe. Pelengkap toko buku yang menghadirkan unsur artistik. Djendelo Cafe, dengan nama minuman yang disajikan membuat kita mengumbar senyum setidaknya mampu menggelitik saraf pendengaran, menjadi akses keluar masuk hampir setiap orang di Toga Mas. Aktivas migrasi ini membuat kesan sibuk tergambar disitu. Kadang sangat sering keriuhannya ditambah tumpukan buku dan kardus-kardus. Kemeriahan yang semakin terpancar dengan kesibukan yang sempat jinak oleh kumpulan meja dan kursi, coklat kehitaman.

Di kursi yang berhadapan dengan meja bundar itu, awal dari perkenalan saya terhadap tempat ini. Sedikit menoleh ke belakang beberapa waktu yang lalu. Saat itu saya duduk mengobrol dalam konteks wawancara, konsekuensi lamaran pekerjaan yang saya masukkan ke Toga Mas Gejayan (sekarang Affandi) akhir Juni. Berhadapan dengan seorang wanita yang bernama Shenny, saya kemudian memanggilnya mbak. Cecaran kata-kata, pengalaman waktu lalu, orientasi dan tanggung jawab ke depan menghiasi ‘obrolan’ kami. Lalu mencapai kata sepakat, melalui mbak Shenny saya diterima kerja di toko buku, Toga Mas D’Gale.

Kamis di hari ketiga bulan Juli, permulaan saya terlibat dalam. Sehari sebelumnya, saat saya terkantuk-kantuk lalu disadarkan dengan dering ponsel, secepatnya mengalir informasi saya bisa memulai bekerja besok. Dapat saya tangkap, saya disuruh datang jam 2 dan mencari seseorang, yang untuk selanjutnya saya panggil mas Singgih. Akhirnya dengan keinginan untuk berdedikasi tinggi saya lewati pemandangan yang ada di atas.

Mas Singgih ini ternyata supervisor saya, jadi apa yang harus saya lakukan dan yang lainnya lakukan berada dalam koordinasinya. Dalam perkembangannya setiap akan memulai pekerjaan yang dibagi dalam 2 shift, pukul 9-4 sore dan pukul 2-pukul 9 malam bagi yang full time, serta pukul 9-pukul 2 siang dan pukul 4-pukul 9 malam bagi yang freelance, saya termasuk yang kedua. Selalu dilaksanakan briefing, persiapan, pembagian tugas kerja dan doa bersama. Jika tak ada mas Singgih, seorang wanita berjilbab bernama mbak Ii akan memberikan pengarahan awal. Sepertinya selalu berganti-ganti. Lalu jika tak ada dua-duanya, ataupun ada dua-duanya, terkadang mbak Shenny yang akan mengisi briefing. Tak selalu memang, saya rasa ada proporsinya. Jadi setelah beberapa hari saya sudah mengenal hirearki, posisi, dan tugas masing-masing awak Toga Mas.
Saya dikenalkan dan menghafalkan rak-rak. Dari rak komik, buku anak-anak, sosial politik, novel, religi, majalah tabloid sampai rak tersendiri dari beberapa penerbit yang hadir. “Tak lama nanti juga akan hapal sendiri”, kata mbak Tawuk yang membawa saya ke dunia baru yang membuat saya agak berdebar-debar di hari pertama. Saya sudah mencoba men-display buku yang datang. Lalu meng-input-kan datanya di komputer. Selain mbak Tawuk, saya berkenalan dengan teman yang lain, Aswan yang menjabat erat tangan saya. Andhi yang sedikit mengurangi kebekuan di telapak tangan. Hoho..tak ketinggalan juga wanita cantik di depan komputer kasir, mbak Rindha. Beberapa hari berikutnya saya sudah kenal dan bertatap muka dengan Vika, Hanes waktu itu, Agung, Mas Jaja. Saya merasa agak takut ketika salah seorang yang sebenarnya telah sempat saya berkenalan tapi saya lupa namanya, memanggil saya. Beliau berdiri di dekat tumpukan buku tulis yang menjulang tinggi. Menanyakan asal saya dari mana, lalu mentitahkan kata-kata yang bakal saya ingat seumur hidup, “bekerja itu yang penting jujur!”. Mas Boy, panggilan dari nama Buyung, awalnya saya kira beliau dengan saya sama-sama dari Padang. Tapi tidak, dari Palembang ternyata.

Bersamaan dengan terbitnya matahari yang itu-itu juga di ufuk timur, sejarah manusia di atas bumi mendapat kegiatan baru. Setelah memasuki hari-hari yang beribu-ribu jumlahnya, Idul fitri tak tahu lagi di mana pentingnya embun yang bergantungan di dedaunan atau rerumputan pagi hari. Juga tak tahu lagi ia di mana manisnya awan merah yang melembayang di atas kepala. Dan ia pun tidak mengerti lagi apa kehebatan yang tersimpul dalam taluan beduk-beduk langgar masjid dan kelening gereja-geraja. Itu pun bukan salahnya sendiri. Mungin ia tahu juga keindahan itu, tetapi di masa ini pikiran dan perasaanya sangat giat dengan hal-hal lain sehingga tak sempat ia mempergunakannya untuk hal-hal yang tak mendatangkan keuntungan. (Pramoedya Ananta Toer, dalam Cerita Dari Jakarta)

Penggalan analogi waktu oleh Pram di atas tak bermakna jika tak mampu memberi warna. Begitu juga telah dua bulan lebih saya bergaul, berinteraksi, terlibat intim dengan mbak Shenny, mas Boy, mas Singgih, mbak Ii, mas Jaja, mbak Rinda, mbak Vika, Agung, Tawuk, Aswan, Andhi, lalu Dhani, bahkan juga dengan Vivi, mas Ihsan, Tria, Gala dan Imel para punggawa Djendelo.

Kedatangan kakak sepupu saya beberapa hari yang lewat membuat saya, dalam minggu depan harus telah berada di Jakarta Selasa, 9 September. Dalam rekomendasi dan informasinya saya akan.... Untuk itu saya harus menyiapkan data-data awal dan menghadirkannya dalam tulisan yang runtut. Membuat saya kelimpungan dalam minggu ini, membarengi waktu kuliah, tanggung jawab saya di Toga Mas, dan deadline yang harus saya kejar sebelum hari Minggu besok. Saya sangat berjuang keras dalam menghadirkan tulisan pengantar yang cukup bagus.
Saya sempat berfikir dan ada keinginan untuk meminta izin non-job, intensitas waktu yang saya butuhkan adalah satu minggu. Tapi keinginan itu tersingkap lalu luntur karena dasar apa yang saya inginkan ini dan jika diberi izin akan menggangu ritme kerja secara keseluruhan. Tambah tak sanggup saya mengutarakan karena melihat kuantitas waktu kerja saya yang tak seberapa (baru 2 bulan lebih sedikit) dan kontribusi yang tak terlalu banyak saya hadirkan bagi eksistensi Toga Mas, betapa belum sebandingnya dengan apa yang saya kehendaki.
Membayangkan kemungkinan ke depan, dimana akan ada kesempatan yang sangat besar atau malah sangat kecil sekali, yang mana juga tak dapat saya prediksikan. Tapi sebagai gambaran awal, jika saya mendapatkan beasiswa… (non beasiswa, kontribusi sebesar 3 juta rupiah), saya akan stay di Jakarta atau bolak-balik Yogyakarta-Jakarta selama 2 bulan.
Alasan di atas membuat saya tak mempunyai pilihan lain dan dengan hati berat saya mengajukan permohonan pengunduran diri kerja di Toga Mas Galeria. Seperti saat saya mulai bekerja dulu, semua berlangsung dengan sangat baik-baik, saat ini pun saya ingin mengakhirinya dengan baik-baik juga. Dulu saya mulai dengan berkas kertas dan interaksi verbal, sekarangpun akan demikian sama.

Tak ada yang tersisa selain permohonan maaf karena terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Dengan kerendahan hati, kepongahan pengetahuan dan kekerdilan pemikiran, hanya permohonan maaf yang tersisa dari saya. Terlebih untuk mas Singgih, yang telah dengan susah payah mengatur jadwal kerja, dan tiba-tiba sekarang saya mengacaukannya.
Melalui media ini secara langsung kepada mbak Shenny, mas Boy, mas Singgih, mbak Ii, mas Jaja, mbak Rinda, Agung, Vika, Tawuk, Aswan, Andhi, Dhani, Vivi, mas Ihsan, Tria, Gala dan Imel saya minta maaf jika kata-kata saya pernah tidak berkenan di hati, ataupun tingkah polah saya yang kadang sedikit aneh.

Dua bulan bukan waktu yang bisa lewat begitu saja tanpa pelajaran dan makna yang berhasil kita lewati. Banyak atau sedikit hinggap di kepala, menstimulasi otak dan pikiran kita.
Kebersamaan melalui kenangan yang secara personal pernah saya dan kita semua alami, lembur untuk pameran, olahraga bareng, serta terakhir outbond bersama. Terasa hangat dan masih akan tetap melekat. Secara pribadi saya mengucapkan terima kasih kepada:
Mbak Shenny, atas kepercayaan yang diberikan. Tanggung jawab yang pernah dilimpahkan menambah satu mozaik kehidupan hidup dalam pengalaman, membuat saya merasakan pembelajaran yang berbeda.
Mas Boy, dengan kedewasaannya, lalu menyimak cerita-cerita saya. Membuat saya berefleksi lagi. Dan menyadarkan bahwa kedewasaan tak didapat jika tak ada kontemplasi sempurna dalam kesalahan. Mungkin saya termasuk orang yang bebal.
Mas Singgih, awalnya saya sangat bersemangat ingin belajar dari mas. Sebegitu kuat saya ingin meniru bagaimana caranya sopan dan ramah tamah terhadap orang lain (costumer). Proses dua bulan ini belum membawa saya sampai ke tatanan itu, masih sangat jauh. Saya ternyata menyadari saya orang yang sombong.
Mbak Ii, mbak Rinda, Vika, Agung, Tawuk, Aswan, Andhi untuk canda tawa setiap hari, di sela-sela beban pekerjaan kita.
Untuk mas Jaja, hidup ternyata memang berat mas! Tapi kita mesti harus tetap menghadapinya kan? Kau menambah rekonstruksi pemikiran ku mas. Thanks ya!
Untuk Dhany, hari yang indah walaupun hanya sesaat.

Pekerjaan mulia karena ikut andil mencerdaskan kehidupan bangsa. Menghadirkan media tulisan dan informasi yang berguna melalui buku. Demikianlah dan saya berharap masih ada terjalin kelanjutan hubungan di antara kita semua. Walaupun tidak akan sedemikian intensif, setidaknya dalam konsep kebudayaan kita telah saling mengenal, nama hingga ke pendalaman karakter.


Yogyakarta, 4 September 2008
Alfian Syafril

Read More......