Minggu, 25 Januari 2009

Dua Jam Yang Tak Terasa

Kursus berlangsung dari tanggal 7-16 Januari 2009 di kantor Pantau, Jl. Raya Kebayoran Lama No 18 CD Jakarta Selatan. Ada 6 hari pertemuan di kelas, yang masing-masing terdiri dari 2 sesi, jam 10 pagi sampai jam 12. Jeda satu jam, lalu dilanjutkan sesi ke dua jam 1 hingga jam 3 sore. Di setiap akhir pertemuan diberikan tugas yang akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya.

Janet Stelle, adalah instruktur yang akan memberikan materi tentang Jurnalisme Sastrawi (Litterary Journalism) di minggu pertama. Profesor dari George Washington University, spesialisasi sejarah media ini dijadwalkan Rabu hingga Jumat (7-9 Januari 2009). Untuk minggu kedua, diampu oleh Andreas Harsono. Dia wartawan Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalist dan mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Bukunya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism tak lama lagi akan terbit. Pertemuan dengan Andreas berlangsung pada hari senin (12 januari), Rabu (14) dan berakhir Jumat ( 16).

Ada libur satu hari setiap pertemuan, tak sepadat Janet, yang tidak bisa terlalu lama di Indonesia. Karena harus segera balik ke Washington, Amerika. Saat kelas terakhir Janet hari jumat dia bergegas. Dengan menggunakan taksi, Janet ke bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Singapore. Menginap semalam di sana dan besoknya terbang selama 24 jam ke Amerika. Hari senin dia akan mengajar di kampus. Mobilitas yang tinggi!

Beberapa orang berkumpul di dalam sebuah ruangan. Kursi-kursi tersusun, membentuk huruf U. Ada satu meja dengan mawar merah di atasnya. Plakat yang bertuliskan Pantau, kajian media dan jurnalisme serta jam dinding segi empat tergantung di dinding. Nyaman sekali, suasana santai tercipta di antara percakapan.


Ini hari pertama, Andreas membuka perkenalan. Lalu Janet dan dilanjutkan masing-masing peserta. Nama lengkap dan panggilan serta motivasi mengikuti kursus. Peserta kursus Jurnalis Sastrawi angkatan ke 16 ini sebanyak 14 orang. Satu peserta dari Papua, Hans Gebze, lebih sering tidak hadir dalam rangkaian kursus. Adriani Salam Jaques Kusni (Studio Arsitektur A&A), jauh-jauh datang dari Makasar. Angga Haksoro Ardhi dari Voice of Human Rights News Centre. Ada beberapa orang yang berprofesi sebagai pengajar di universitas, Badrus Sholeh dosen Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah, Putri Suryandari dari Universitas Budi Luhur, berencana menulis buku tentang arsitektur, sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Yang ketiga Riris W.Widati dari UAI Jakarta, pernah bekerja sebagai wartawan antara lain di Sarina dan Jurnal Perempuan.

Lalu, ada yang bekerja di lembaga, komunitas atau institusi. Seperti Supriatna dari Arus Pelangi. Arus Pelangi adalah organisasi yang memberi perhatian kepada masalah LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseksual). Selanjutnya Titi Moektijasih (UN OCHA), Irma Dana (Klub Indonesia Hijau, Bogor), Ken Ken (Yayasan CDT 31), Syarifah Amelia ( Government Institution/Technical Cooperation) dan Fauzi Aunul (ICRAF, sebuah lembaga Agroforesty). Dua orang terakhir adalah Mukhti, wartawan majalah Otonomi dan saya, Alfian Syafril, mahasiswa.

Setelah perkenalan Andreas undur diri. Janet memulai kelas dengan penjelasan dan gambaran tentang jurnalisme sastrawi. Inti yang ingin disampaikan oleh apa yang disebut dengan jurnalisme adalah fakta. Tanpa fakta tidak bisa disebut jurnalisme. Secara umum jurnalisme sastrawi adalah fakta yang ditekankan dengan gaya bercerita yang berbeda. Ada hal yang lebih mendalam dan memikat yang ingin disampaikan oleh jurnalisme sastrawi ini. Perkawinan antara jurnalisme (fakta) dan sastra (fiksi). Ini menjadi kontradiktif, tapi pada dasarnya tetap fakta. Banyak hal yang disampaikan dan dibagi oleh Janet dalam 3 kali pertemuan. Mengenai sejarah narrative journalism, unsur-unsur jurnalisme, struktur dalam sebuah tulisan narasi hingga pemakaian kata “saya” dalam sebuah tulisan. Bahan-bahan berupa bacaan dari berbagai macam tulisan yang disiapkan panitia dalam sebuah paket juga memperkaya materi-materi di kelas.

Penugasan juga menjadi hal yang menarik. Tugas dibacakan oleh masing-masing peserta untuk kemudian dikomentari dan didiskusikan bersama. Dua tugas dengan Janet adalah “menulis tentang sebuah peristiwa yang disaksikan. Mulai dengan adegan tanpa penjelasan dengan topik apa saja yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi” dan “menulis narasi dengan gaya orang pertama (saya, aku, gua dan lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan”. Saya baru menyadari kalau dua tugas yang saya kerjakan belum memuaskan, terkadang tidak nyambung dengan perintah yang diminta. Begitu juga dengan tugas bersama Andreas minggu berikutnya.

Beberapa hal yang saya catat dari koreksi tugas ini adalah tentang detail, penambahan detail dan pengaturan yang lebih baik lagi, kalimat atau alineanya. Lalu menghilangkan dialog-dialog yang tidak perlu, pemakaian kata-kata yang berlebihan dan terkadang klise. Pemilihan kata yang akan digunakan dalam tulisan juga perlu diperhatikan, jika tidak akan ada bayak pemborosan kata. Tentang masalah fokus, menentukan struktur yang jelas dan benar sehingga tidak meloncat-loncat (cerita/alur). Tema yang menarik sehingga cerita tidak datar dan makna (meaning) yang ingin disampaikan dapat dimengerti oleh pembaca. Lalu untuk memperkuat makna, menurut Janet setiap penulis memerlukan sebuah engine (mesin).

Persoalan pemakaian kata “saya” atau menggunakan sudut pandang orang pertama dalam tulisan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Jika penulis (wartawan) tidak punya peran penting dalam liputan, tidak penting memasukkan kata “saya”. Lebih baik menggunakan sudut pandang orang ketiga. Bahwa diperlukan karakter yang kuat dalam sebuah tulisan. Ada tokoh utama yang menjadi karakter cerita, dan kalau bisa si tokoh adalah seorang yang aktraktif, terbuka dan komunikatif. Ungkapkan konflik dan di bagian akhir selesaikan dengan berbagai macam pilihan. Narrative Journalism seperti sebuah film, video yang bergerak, bukan picture yang hanya diam.

Hari terakhir Janet benar-benar telah kehabisan kata-kata bahasa Indonesianya. “Uff, bahasa Indonesia saya sudah habis”, ucapan Janet saat mengakhiri kelas.

Mengenai hal ini, saya pernah baca sebuah blog yang menceritakan kebiasaan Janet ini. Ini cara Janet menyelesaikan kelas kesimpulannya. Hari Jumat itu berbeda, di saat kelas akan berakhir mbak Fiqoh staf Pantau masuk membawa kue tar sambil menyanyikan lagu Happy Birhday. Sontak peserta kelas ikut bernyanyi, riuh!

Janet surprise dan terkaget-kaget, ”Is it June?”

Hohoho, terjadi kesalahan informasi tanggal kelahiran Janet. Juni bukan Januari. Nyanyian mulai melemah, perlahan hilang. Salah satu yang paling semangat adalah mas Fauzi (Aunul Fauzi). Dia menyanyikan lagu selamat ulang tahun lantang sekali. But party must go on, jika tidak ulang tahun, mumpung awal tahun sekalian pesta tahun baru. Atau pesta kecil perpisahan dengan Janet. Janet begitu terburu-buru, setelah foto bersama di lantai atas gedung Pantau dia langsung mengundurkan diri. Semua orang bersalaman dengan Janet.

Tiga hari pertama kursus telah lewat. Sabtu masih ada kelas tambahan dengan Endi M.Bayuni Chief Editor, The Jakarta Post. Sayang saya terlambat, sampai di kantor Pantau saat-saat akhir. Tidak banyak yang saya tangkap dari kelas ini.

Andreas menggunakan batik biru senin tanggal 12 Januari 2009. Kelas dimulai jam 10 tepat. Power point melalui proyektor telah siap. Dimulai dengan slide dengan pertanyaan “apa jawabannya?”, dari 7 pernyataan. Salah satunya adalah “benarkah di Indonesia makin Islamis dan suara-suara minoritas makin diabaikan”. Pagi itu kita membahas tentang “bias” dan dilanjutkan dengan pembahasan secara padat dan jelas tentang sembilan elemen jurnalisme. Materi ini disarikan dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

“Sekarang jadi 10 elemen, karena ada komentar dan masukan melalui internet dan lainnya”, kata Andreas

Elemen tambahan itu adalah Warga Punya Hak dan Kewajiban terhadap Berita. Satu hal yang selalu saya ingat dan jadi kata yang sangat penting bagi saya, Andreas bilang “Jika ingin menulis harus masuk ke hal yang paling fundamental, jangan terlena oleh perspektif.

Tidak cukup sekali Andreas mengingatkan tentang ini. Bahkan tugas yang saya buat, setelah koreksi masih banyak perspektif. Andreas lagi-lagi rewel tentang ini.

Dua jam pertama terasa cepat oleh Andreas. Saya pribadi menampung banyak informasi dan banyak kata-kata yang menginspirasi.

“Aan saja terkesima dengan Andreas”, kata Fahri kepada seorang teman ketika saya sudah di Jogja lagi.

Selesai makan siang dan istirahat kelas dilanjutkan dengan materi tentang tujuh pertimbangan narasi dan diskusi soal jurnalisme sastrawi. Lagi-lagi terasa cepat. Hingga diakhiri dengan tugas untuk pertemuan selanjutnya. Ada jeda sehari sebelum bertemu Andreas lagi.

Hari ke lima kursus atau pertemuan ke dua dengan Andreas Harsono di isi dengan membacakan tugas masing-masing. Beda-beda tema yang coba diungkapkan. Tugasnya membuat deskripsi. Jam ke dua Andreas membahas panjang lebar tentang “Hiroshima” karya John Hersey.

Kita berlatih wawancara secara langsung untuk menutup rangkaian Kursus Jurnalisme Sastrawi angkatan XVI ini. Membahas tentang sumber anonim dan mendiskusikan teknik interview. Sebelumnya diskusi tentang tulisan yang bertema sama tapi dengan gaya dan strktur berbeda. Temanya tentang Aceh, yang diambil dari tulisannya Chik Rini “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”, Andreas Harsono “Republik Indonesia Kilometer Nol” dan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah.

Suara Andreas berat, pelan bahkan tanpa tekanan. Mengalir lancar dan saya yakin ini akhir dari kursus kali ini. Andreas mengakhiri dengan indah. Saya dan yang lain bersemangat, Andreas begitu menginspirasi.
Read More......

Senin, 19 Januari 2009

Sore, Potongan Sudut Jakarta

Tembok panjang yang tak ter-plester dengan selesai membatasi sepanjang aliran kali kecil, penuh sampah. Plastik-plastik bekas belanja di swalayan atau layangan yang hanya tinggal kerangkanya saja menjadi penghias aliran air kehitaman. Di balik tembok ada beberapa rumah yang berbatasan langsung, bahkan air terjun mini dari pipa banyak muncul ke dalam kali. Air pembuangan rumah tangga. Campur baur bau yang dihembus-hembuskan angin.
Di sisi kali yang lain ada ruas jalan masih bebas, terkadang diapit oleh bangunan yang kebanyakan rumah penduduk, atau kalau tidak warung kebutuhan sehari-hari yang dipaksakan berdiri. Sore hari, seorang bapak menggendong anaknya yang baru beberapa tahun, sesaat meninggalkan lelahnya pekerjaan yang menghinggapi dari pagi. Beberapa pemuda duduk-duduk di bale-bale dan kursi yang disediakan seadanya oleh pemilik warung. Salah seorang membaca tabloid Top Skor sekedar mengetahui jadwal pertandingan bola liga eropa minggu ini, dan sedikit berharap dengan analisis pertandingan di tabloid agar bisa menang taruhan nanti. Dua lainnya dengan pakaian yang masih rapi dan sepatu terpasang bercakap-cakap ngalor-ngidul tentang sesuatu. Bapak tua dengan topi koboi menemani dan nimbrung sekali-sekali. Abu rokok berjatuhan melalui pegangan sela-sela jari ke kali yang masih mengalir pelan.
“Mmmamam….mmmm”si bayi dalam gendongan bapaknya berteriak ingin mengungkapkan sesuatu.
Si bapak menimang-nimang ke kiri dan ke kanan sambil bolak balik di depan dua pemuda dan orang tua tadi.
“Ada apa e si kecil, kecil…?”ujar orang tua, bermaksud menggoda si bayi sambil meminta bapaknya mengalihkan gendongan kepadanya.
Tapi tak jadi, karena ibu si bayi keburu datang sambil membawa bubur dalam kotak kecil. Pelan-pelan bayi itu dipindahkan bapaknya ke dalam kereta. Sambil mendorong-dorong kereta si ibu menyisipkan sendok kecil ke mulut mungil anaknya.
Si kecil menangis dan membuat si ibu membawa bayinya ke dalam rumah. Kusen jendela yang dicat hijau pekat serasi dengan permukaan rumah yang warna hijaunya lebih terlihat lembut. Dari luar jendela dilapisi terali besi hitam. Tak ada halaman di sini, hanya beranda yang ditemani sepasang kursi beserta mejanya. Di sebelah kiri ada bangunan dua lantai memanjang ke samping, kira-kira 8 meter. Ada bagian menjorok ke belakang jika dilihat dari depan. Lantai bawah ada tiga kamar yang berfungsi dan selebihnya sedang direnovasi. Di ujung bangunan ada tangga untuk naik ke lantai dua. Di atas ini, hanya dua pintu yang terbuka, selebihnya dikunci dengan gembok, keseluruhan ada enam kamar yang disediakan untuk kost-kosan.
Si ibu dengan bayi kecil tadi yang menjadi pengelola rumah kos-kosan yang sebagian besar di isi oleh mahasiswa Teknik Elektomedik dan Radiografi, Universitas Politeknik Kesehatan Jakarta.
Bedak tipis di pipi, sambil masih sempat sesaat menyemprotkan pewangi ke t-shirt yang dikenakan. Sementara seorang lagi sibuk mengikatkan tali sepatu sportnya. Dari salah satu kamar sayup-sayup terdengar perintah ke arah kamar mandi agar yang di dalam lebih cepat. Kawasan Senayan menjadi tujuan mereka sore ini, hari rabu adalah jadwal untuk joging. Handuk kecil dan tas tersandang di lengan gadis yang tadi mengikat tali sepatu dan sekarang telah berdiri, menunggu 3 orang temannya.
“Kaus kakiku, dimana?” yang baru keluar kamar mandi mengajukan pertanyaan entah kepada siapa sambil terus berlalu ke dalam kamar. Semuanya serba cepat setelah itu, ketika salah seorang menyuruh yang lain segera, karena teman yang lain telah menunggu. Read More......

Termehek-Mehek Mewujudkan Keinginan?

Juwita duduk di depan meja lipat yang dipenuhi tumpukan kertas, isinya angka-angka dan coretan-coretan kecil. Tugas rangkaian listrik dari kuliahnya di Politeknik Kesehatan Jakarta II. Sesekali tangannya menari-nari dengan pulpen di atas kertas. Badan dicondongkan ke depan dengan mata yang terkadang dipejamkan. Dia bergerak dengan mengangkat meja lipat bergambar barbie, lalu meraih kertas kosong yang digunakan untuk menghitung bilangan jawaban soal tugasnya.

Baru beberapa bulan di Jakarta, belum genap setahun. Sebentar lagi ujian semester pertamanya di bangku kuliah. Dulu, sekolah di daerah, berkilo-kilometer dari Jakarta. Lulus SMAN 1 Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Hijrah ke Jakarta meninggalkan nenek dan kakeknya. Dari kecil dibesarkan oleh mereka membuat dia sedih dan berat untuk pergi. Tapi tawaran dari kakak Ibunya yang bekerja di Pusdiklat Depkes Jakarta, membuat dia berangkat.

Lahir di Banjarmasin delapan belas tahun yang lalu, tapi tak mengerti kenapa di akta kelahiran-nya ditulis Wonogiri, 4 Juni 1990.

“Saya anak tunggal, kira-kira umur 1 tahun bapak ibu saya cerai mas, saya juga ga tau gimananya, taunya dari cerita saudara atau tetangga aja,” ucapnya kepada saya. Ia tampaknya mulai malas melayani soal-soal di hadapannya. Sambil berdiri ia masih menyambung “itupun saya udah gede baru ngerti bapak-ibu cerai, terus umur 2 atau 3 tahun mungkin, ibu saya ke Jakarta”. Semenjak itu dia dibesarkan dan disekolahkan atas usaha kakek dan nenek, sesekali kiriman datang dari ibunya.

Terakhir ketemu ibunya lebaran kemaren, disusul ke kampus. Sekitar setengah jam di dekat warung pedagang kaki lima, ngobrol kabar satu sama lain dan berbagi cerita tentang apa saja yang menjadi pengobat kerinduan ibu dan anak. Dia bercerita lepas saja. Langsung saya tanya, “kapan terakhir kali ketemu bapak?”.

Air mukanya tidak berubah ketika jawabannya cukup mengejutkan saya. Selama hidupnya dia belum pernah ketemu sekalipun dengan bapaknya. Hanya foto-foto pernikahan orang tuanya ketika di Kalimantan yang mengenalkan dia dengan wajah bapaknya.

“Ada sih mas, keinginan untuk ketemu ayah saya. Ga tau kapan,” senyum mengembang dari bibir merahnya.
“Pernah ungkapin ke siapa tentang keinginan itu?”saya memandangnya dalam-dalam.
“Just only one Allah, mas. Saat shalat ya, adalah minta buat bisa diketemuin sama bapak..”, ujarnya dengan penuh pengharapan.

Saya terdiam dan mencoba merasakan kerinduan yang hadir dalam suasana ini. Tiba-tiba”Kenapa ga ikut Termehek-mehek aja kamu?, saya mengusulkan.
“Ga penting, acara ga penting. Acara yang isinya nangis-nangis doang. Membuka aib orang aja, ga mendidik. Ga baik, ya kadang baik kalo ga bikin ribut, tapi tetap aja ribut ujung-ujungnya,” rentetan kata emosi dari dirinya membuat saya permisi sesaat.


Read More......

Sekelumit Kisah STAN

Pertengahan Januari ini, seorang teman menempuh waktu 30 menit dari Bintaro ke Kebayoran Baru. Acara pertemuan, mumpung saya lagi di Jakarta. Dia teman sekelas waktu SMA. Sekarang kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) jurusan Administrasi Perpajakan. Selain itu, ada juga jurusan Akuntansi Pemerintahan, Bea dan Cukai, Piutang Lelang Negara, Pajak Bumi Bangunan Penilaian dan Pembendaharaan Negara. Saya menunggunya di depan Rumah Sakit Pertamina Pusat.

Dari sana kami ke kantor Pantau di Kebayoran Lama. Ada janji wawancara dengan Siti Nurrofiqoh, staf Pantau. Saya masih harus menunggu mbak Fiqoh datang. Sambil menunggu, saya dan teman duduk di atas gedung kantor Pantau sembari menikmati secangkir kopi. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya kuliah di STAN. Untuk masuk kampus ini standar tesnya tinggi sekali, kemampuan matematika harus kuat. Matematika bagi sebagian anak sekolah adalah momok.

Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Malah saya iri sama anak UI, ITB. UI mungkin lebih bagus dibanding STAN, analoginya jika output UI 200, STAN 110. Itu dengan input yang sama.”
Yang dimaksud output disini adalah dunia kerja, yang mengacu kepada kemampuan analisis. Di UI dan Trisakti juga ada jurusan pajak. Mereka lebih ke teori, STAN lebih unggul untuk pemahaman aplikasi keilmuan. Komposisi mahasiswa laki-laki dan perempuan berbanding 1:3. Memang ada prioritas untuk kaum “adam”.
“Kenapa begitu?”tanya saya.
“Mutasi pekerjaan. Laki-laki lebih gampang untuk berpindah-pindah dibanding perempuan.”

Secara garis besar ada dua macam pelajaran di sana, hitungan dan hafalan. Akuntasi dan Pajak, termasuk jurusan yang paling susah dalam pelajaran hitungan. Sama seperti mahasiswa fakultas hukum yang menghafal begitu panjang barisan undang-undang, mahasiswa STAN tak kalah banyak menghafal tentang pajak. Berkutat dengan angka-angka menjadi makanan sehari-hari. Sangat jarang membahas “dunia luar”, kalaupun ada biasanya mereka berdiskusi tentang dinamika Departemen Keuangan. Mengenai kebijakan yang dikeluarkan terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Karena muaranya setelah mereka lulus akan ditempatkan di Departemen Keuangan, misalnya di Departemen Pajak, Bea Cukai, KPPN atau BKF. Tapi bisa juga di instansi non-Depkeu, seperti BPKP, BPK atau Bapeppam. Sistem kuliahnya bisa dibilang santai tapi ujiannya sangat sulit.
“Pernah awak kuliah hitungannya 3 SKS, seharusnya 4 kali pertemuan, tapi cuma dijadikan 2 jam. Pas ujian, beuhh …,” Renrefli tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah.
“Ya karena tuntutan IPK harus di atas 2.75 bia indak di DO, terpaksa belajar keras setiap sebelum ujian”, sambungnya.

Kebanyakan mahasiswanya adalah orang jawa, hampir sebagian besar. STAN itu untuk orang jawa. Ini isu yang kebanyakan berkembang di kalangan mahasiswa non-jawa. Karena stereotipe sudah terlalu lama dikuasai orang jawa. Renrefli pernah bertanya kepada salah seorang temannya yang baru lulus saat test ketiga kalinya. Orang tuanya lebih senang dia jadi birokrat dengan kuliah yang setelah lulus langsung dapat kerja. Dia menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah budaya jawa, yang menganggap kerja di kantor pemerintahan itu lebih baik.
Kalau benar begitu saya berfiir mungkin ada hubungannya dengan sejarah kolonial Belanda. Penetrasi terhadap budaya jawa. Saya teringat cerita Pram, khususnya beberapa bagian di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.


Read More......

Persepsi Mas Raka

Pagi minggu, dekat kawasan Graha Saba Pramana konsentrasi kerumunan massa dan kendaraan tumpah ruah. Orang-orang joging diantara berbagai macam kuliner dijajakan. 500 meter ke arah utara, ada perempatan lampu merah. Orang-orang lebih mengenal dengan nama perempatan MM UGM. Utara perempatan menuju Kaliurang atas. Timur ke arah kehutanan UGM. Di sebelah barat ke jalan Sardjito, Rumah Sakit Umum Dr.Sardjito dan kampus Fakultas Teknik UGM melalui jalan ini. Di sisi timur kanan perempatan ada pos polisi, di depan pos sebuah plang terpancang “Polisi Sektor Bulaksumur”.

Rambutnya panjang hingga ke bahu, keseluruhannya hitam walau beberapa helai telah berubah menjadi putih. Pandangan matanya tajam, sesekali lidahnya membasahi bibir. Kumis tebal dan janggut yang dibiarkan panjang menambah kesan sangar. Tubuhnya tidak terlalu besar, malah cenderung kurus tapi kekar dan hitam legam terbakar matahari. Hem biru yang kancingnya dibiarkan terbuka melapisi badannya. Ditambah rompi hijau hitam bersaku di bagian bawah, dipungung rompi tertulis Harjo.

“Maaf mas agak telat dari janji kita kemaren, biasalah hari minggu jadi agak nyantai”, katanya ketika saya langsung mendekatinya. Perempuan di sampingnya menyunggingkan senyum. Tak berbeda jauh penampilannya. Kaos putih hitam dilapisi rompi yang sama bertulis Harjo di punggungnya. Tak ketinggalan manset hitam terpasang dari lengan hingga pergelangan tangannya.

“Jadi gimana mas, mau langsung coba jualan? Udah agak siang sebaiknya langsung aja”, ujarnya sambil menyerahkan beberapa eksemplar koran hari itu. “Koran Tempo 1000 rupiah, Harjo 2000, Kompas dan KR masing-masing 3500 dan 2500 rupiah”,sambungnya.
“Nanti kita pisah, saya dan istri saya di sini mas di utara, sekarang udah setengah sembilan jam sebelas kita kumpul lagi sekalian istirahat”, tangannya sibuk memisahkan koran-koran sambil memberi instruksi dengan cepat.

Tak punya pilihan saya langsung memisahkan diri dari mereka, menuju ke utara perempatan. Dua setengah jam ke depan saya akan mencoba menjadi seorang penjaja koran di jalanan. Sekitar 60 detik saya menawarkan dagangan ke orang-orang yang berhenti, sebelum berjalan lagi. Dan menunggu tiga sisi lainnya sebelum traffic light di posisi saya lampu merahnya menyala kembali. Sesekali saya melempar pandang kepada mas Raka, begitu namanya ketika mengenalkan diri kemaren. Tubuhnya timbul tenggelam diantara mobil dan sepeda motor. Istrinya lebih banyak mengambil tempat di sisi trotoar.

Matahari sebentar lagi akan di atas kepala, saya semakin sering menoleh ke arah seberang. Hingga koran di tangan seorang di seberang bergerak-gerak ke kiri dan kanan. Saya berdiri tegak dan lambaian tangan mas Raka menyuruh saya menuju ke tempatnya. Setengah berlari dengan koran yang masih tersisa di tangan dalam hitungan 10 detik saya sudah berada di dekatnya.

“Gimana mas?capek ya?”,tanyanya sambil mengambil posisi duduk di pagar trotoar.
“Lumayan, maaf ga kejual semua mas”, dengan menyerahkan sisa koran dan lembaran duit dari koran yang terjual saya menjawab.
“Yo ra opo-opo to mas, lagian kan mas hanya ingin merasakan gimana jualan koran to? Ga enak to mas?”, ujarnya sambil melirik istrinya. Si istri tersenyum-senyum saja.
“Ga apa-apa kok mas, sekalian bisa langsung masuk ke inti tentang tujuan saya”, saya menjelaskan panjang sekali lagi kepada mas Raka, bahwa saya ingin mewancarainya. Karena ingin menulis cerita tentang kehidupan penjual koran, suka duka di jalanan, keluarga dan sebagainya. “Owalah mas, saya kira mas ingin ikutan jual koran dari pagi sampai pulang, ra ngerti kalo cuma mau wawancara wae”, dia bicara dengan mimik menyesal.
Read More......

Senin, 05 Januari 2009

Kepercayaan Lokal Menjawab Persoalan Global Warming

Sejauh mana filsafat dalam aspek-aspek kosmologi memaknai global warming

Filsafat pada umumnya membahas dan mengkaji hal-hal yang mendasar. Dalam menyikapinya terkadang perlu ada sinkronisasi dalam memaknai antara yang umum dan khusus. Dalam pemahaman filsafat juga mengacu kepada being and non-being. Lalu tercabang kepada permasalahan yang melingkupi objek-objek filosofis. Kosmologi yang secara paling umum disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang alam atau dunia. Kosmologi tidak kerap membicarakan tentang benda material yang mati saja seperti batu, udara dan sebagainya. Tetapi kemudian juga melangkah jauh kepada makhluk-makhluk yang hidup di atasnya, manusia dan sebagainya. Kosmologi berangkat dari keseluruhan aktivitas duniawi, yang membahas segala macam tentang dunia dan materi-materinya. Seperti permasalahan ruang dan waktu yang mendasari perbedaan antara kuantitas dan kualitas. Maka dapat dikatakan bahwa sifat kosmologi adalah lebih luas dan mendasar tentang segala keuniversalan alam (nature). Kosmologi dalam diskursus filsafat mempelajari manusia dan kosmos sebagai “objek”, yaitu suatu kenyataan objektif dengan struktur dan arahnya sendiri. Setiap topik yang berkembang dalam pembicaraan kosmologi dapat dan sepertinya harus disertai dengan analisis konsekuensi-konsekuensi bagi pengetahuan.
Substansi dalam kosmos secara khusus dapat diambil kesimpulan bahwa manusia memiliki keunggulan di dalam kosmos. Jadi peran penting manusia sebagai sasaran dan puncak seluruh evolusi kosmis terlihat disini. Dalam tulisan ini saya menjadikan manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan aktivitas alam. Gejala-gejala alam tidak pernah lepas dari andil manusia dalam mencapai tempat tertinggi kepadatan dan kekayaan yang menentukan kosmos. Manusia adalah pengkosmos. Dengan begitu muncul keinginan dan kemutlakan bagi manusia, dengan sendirinya manusia dibebani tanggung jawab dan kebebasan yang mutlak, dalam hal ini terhadap alam.

Filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche dengan radikal mengatakan bahwa kehendak berkuasa adalah “dunia”. Gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa ini merupakan saripati dari seluruh petualangan pemikiran Nietzsce, kesimpulan ini merupakan hasil-hasil percobaan (Versuch) lewat kontemplasi yang panjang, bukan ditarik begitu saja dari premis-premis silogisme yang dituangkan dalam suatu tulisan yang sistematis.

Melalui metode filsafatnya yang menghasilkan tulisan-tulisan yang tidak terikat pada suatu sistem, Nietzsche menemukan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip dari seluruh kehidupan manusia dan alam (St. Sunardi, 1996).
Kelanjutan dalam berbagai aspek dari gagasan Nietzsche tersebut, politik, negara moralitas dan sebagainya. Tentang kedudukan manusia dalam dunia (die Sonder Stellung des Menschen im Cosmos). Nietzsche menolak gagasan bahwa manusia hanyalah merupakan anugerah yang diberikan alam sebagaimana yang dikemukan Charles Darwin. Nietzsche juga tidak menyetujui pandangan religius yang mengakui bahwa manusia adalah rahmat ilahi. Menurut Nietzsche kedudukan manusia terletak diantara binatang dan apa yang disebut Ubermansch. Yang membedakannya adalah bahwa manusia mempunyai tujuan yang hanya dapat dicapai oleh manusia itu sendiri dengan menggunakan kemampuan (potensia) dan kemungkinan untuk mengatasi dirinya. Manusia yang tidak merealisasikan kemungkinan dan potensi-potensinya akan tetap sebagai status binatang. Ubermansch adalah semacam manusia “ideal” yang dapat merealisasikan semua kemungkinannya “aussereste Moglichkeit des Menschen” (Curt Freidlein,1984).
Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di bumi selalu berubah. Pada abad 19, studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut “gas rumah kaca”, yang bisa mempengaruhi iklim di bumi. Gas rumah kaca adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, jika tidak, tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Secara umum karbondioksida adalah penyumbang utama gas kaca. Sumber utama peningkatan konsentrasi karbondioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil, ditambah pengaruh perubahan permukaan tanah (pembukaan lahan, penebangan hutan, pembakaran hutan, mencairnya es). Dalam arti lain aktivitas manusia dari agrikultural.
Salah satu perspektif yang berkembang mengatakan bahwa manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi matahari dan keseluruhan permukaan bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim.
Manusia adalah makhluk yang bereksistensi terus menerus, memerlukan alam sebagai wadah untuk kegiatan survivalnya tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi kemampuan manusia melaksanakan “kehendak untuk berkuasa”. Lalu, apa yang menyebabkan alam menjadi salah satu ancaman terbesar manusia dan lingkungannya pada semester? Yang berkembang sekarang adalah pemanasan global, yang membuat ilmuawan ataupun yang berkepentingan terhadap hal ini menekankan pada masyarakat (manusia-manusia) bahwa ini ancaman terhadap kelangsungan manusia yang berangkat dari “kehendak untuk berkuasa” tadi.
Dalam kepercayaan masyarakat tradisional bahkan modern sekalipun, takhayul menjadi satu bagian penting dalam berhubungan dengan alam. Ada yang merasa salah dengan takhayul karena kesadaran modern membebaskan manusia dari takhayul, dari batas dan ketakutan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat dibuktikan atau diterangkan dengan akal sehat. Takhayul mewarnai kepercayaan lokal. Salah satu kontribusi yang dapat diterapkan terhadap permasalahan pemanasan global ini adalah menghidupkan kepercayaan lokal yang di dalamnya terkandung cerita dan ajaran-ajaran yang filosofis. Pada masa silam manusia takut bukan kepada Tuhan (sebelum agama monoteisme ada), melainkan kepada alam. Alam dipercaya keramat, dengan demikian tak boleh disewenangi. Pemanfaatannya harus dengan permisi dan dalam batas-batas yang tahu diri. Pada hari-hari tertentu pepohonan tua diberi sesajen. Kepada gunung dan kawah purba diupacarakan persembahan. Pada musim-musim tertentu (terutama musim birahi binatang) manusia pamali berburu. Manusia tidak punya mesin pendingin untuk menyimpan daging sehingga membunuh secukupnya yang bisa dimakan. Seperti singa, mereka tidak membunuh rusa beberapa ekor sekaligus lalu menyimpannya dalam “kulkas”. Maka tak ada hewan atau pepohonan yang dibantai (dibantai dalam arti dihabiskan dalam jumlah berlebihan). Semua makhluk hidup dalam keadaan seimbang. Seperti Yin Yang, dalam filsafat Cina.
Keseimbangan dan rasa takut sekaligus menghormati alam membuat struktur alam seimbang. Setidaknya dari segi ini dapat mengerem produktivitas dan keinginan manusia untuk berkuasa termasuk alam dan dunia seperti yang dikatakan Nietzsche. Bahwa ada nilai-nilai tradisional yang harus diperhatikan.

Read More......

Menyuruh = Membunuh

Aku tak suka disuruh-suruh…
Kenapa orang masih suka menyuruh-nyuruh
Bahkan Tuhan pun menyuruh
Banyak pilihan untuk menjadi islam statistik
Begitu agama aku
Tak sembahyang, tak puasa dan seterusnya
Jadi hanya untuk memenuhin statistik saja

Kenapa ada kebenaran yang fungsional dan yang
Filosofis, tidak dapat diukur Read More......

Sahabat Adalah Bumi

Pernahkah kita menemukan seorang sahabat?

Lalu kita berfikir apa sahabat, seperti apa sahabat itu. Kemudian kita memunculkan banyak pendapat tentang apa yang kita fikirkan.
Sahabat menjadi kehidupan kita, menelusuri setiap jalan yang pernah dan akan kita lalui. Sosok seperti apa saja yang telah kita kenal?

Sahabat yang mengkhianati kita, pernahkah kita bagi hidup kita ke dia, baik materi ataupun immateri. Kita percayakan semua kepadanya. Kirimkan cerita detail hari-hari kita, masalah rumah tangga hingga hal-hal remeh temeh. Terkadang masaih menyimpan semua yang patut dirahasiakan atau seperti yang dibilang di awal tadi, sahabat itu berubah menjadi monster, sebelumnya menjelma menjadi parasit lalu menghisap darah kita sampai habis. Bisa dibilang itu pengkhianatan. Seperti dunia mafia “dibalik pengkhianatan ada pengkhianatan”. Megerikan memang!! Sebaiknya kita mengenal dan belajar dunia mafia dari sekarang.

Sahabat yang merasakan hidup susah dari kecil dengan kita, dikemurnian desa yang terkadang munafik atau di kesumpekan kota yang terkadang berlebihan. Kita dan sahabat sama-sama mati rasa. Tak kenal hujan, panas semuanya pernah terlewati melalui jalanan kota dan pematang sawah. Dingin malam hadir dalam memori menusuk. Kejamnya segala hal yang kejam telah terlewatkan. Perpisahan mengakhiri segalanya, lalu berbilang waktu dalam tahun kita bertemu lagi. Mencolok perbedaan yang nasib tentukan, berbeda wajah baik dan buruk, entah siapa yang akan memiliki. Disindir dan ditamparlah kita yang kalau beruntung bisa membuat kita bangkit. Lubang-lubang kehidupan yang membuat terjerumus, terbujuk bayangan mimpi yang indah. Lalu terpisah dendam. Sendiri-sendiri menepi, tanpa seseorang yang sanggup mengerti (dari sebuah lagu yang akan menjadi tinjauan dalam rencana skripsi). Seorang sahabat yang telah berjanji akan membantu prosesnya nanti. Semoga tidak hanya membatu. Sahabat membuat kita punya tanggung jawab.


Sahabat yang hanya ada dalam khayalan, besar kecil kemungkinan bisa bertemu. Tapi memberi arti besar, seakan di dalam darah mengalir darahnya, dalam detak jantung berdenyut dia. Hanya bisa melihat dari jauh dan membersitkan rasa kebanggaan lebih dari kebangsaan. Karena dengan tangannya lewat kreativitasnya semua seragam dalam kebersamaan yang fanatik, tak habis-habis.

Sahabat yang mati dalam pelukan dia. Cerita ketika menumpang kereta batu bara. Tergencet antara gerbong dan gerbong. Panas beruap, peluh meluap sepanjang jalan. Sahabat sama-sama melompat dan sayangnya lompatan sahabat disambut batu pada kepalanya. Mati berdarah mengenai tangan kita. Masih bergerak dan meringis ketika ia meregang nyawa. Mati, hingga ke kuburannya. Sekarang kita memiliki putra dan putri seumuran sahabat yang dulu mati, masa sekolah. Masih terkenang darah yang masih tergenang di tangan.

Sahabat yang kita jejakkan setiap hari, yang kita buangkan kotoran-kekotoran padanya. Madu dan airnya kita manfaatkan. Semuanya kita ambil. Tapi dia tidak bisa menolak, suatu saat dia akan menolak dengan bencana. Karena sahabat itu adalah bumi.
Read More......