Sabtu, 08 November 2008

Indonesia, MUAK!!!!

Di negeri seberang orang berjuang untuk bangsanya,
di sini orang berjuang untuk kroni dan diri sendiri



Read More......

Kamis, 06 November 2008

RASIALISME TELAH USANG

Terserah Barack Obama akan merealisasikan agenda dan program kerja yang dia rancang dan koar-koarkan selama masa kampanya yang panjang. Dari Hillary Clinton sampai John McCain sekarang. McCain menambah aroma perperangan dengan seorang rupawan, Sarah Palin. Namanya enak diucapkan, tak terlalu ribet seperti nama Eropa dan Amerika lainnya. Saya juga tak mengerti bagaimana mengucapkan nama dan kata, tapi tetap saja enak SARAH PALIN.
Apalagi seorang teman yang jika telah membicarakan pemilihan presiden di Amerika, yang paling pertama dia lontarkan adalah boot-nya Sarah Palin. “Keren banget, seorang calon wakil presiden perempuan, alamak boot-nya itu, sudah seperti artis saja”, dia mencerocos. Akibatnya saya searching di google dengan memasukkan kata Sarah Palin dan ternyata memang cantik. Panjang pula informasi media tentangnya, menghabiskan dana kampanye untuk berdandan dia dan keluarga, ya termasuk anak-anaknya itu. Lalu kebijaksanaannya yang memecat seorang pegawai pemerintahan, semacam polisi ya? Saya lupa dan malas membalik-balik koran lagi. Tapi Sarah Palin tak akan jadi wakil presiden, mungkin tetap saja jadi Gubernur di salah satu negara bagian seperti sebelumnya, atau dia telah meletakkan jabatannya?


Obama mengukir sejarah, akhirnya tercapai juga cita-cita Martin Luther King untuk memperjuangkan persamaan hak bagi warga kulit hitam di Amerika 45 tahun silam. Kita pun warga Indonesia dibuat sibuk dengan pemilihan presiden Amerika ini, kita bermil-mil jauhnya dari mereka. Ada dari kita yang merasakan kebanggaan dan kesenangan atas kemenangan Obama, ada juga yang tak terlalu peduli, apalagi mereka yang selama ini menentang dan sangat membenci Amerika. Padahal tak tahu apa yang terjadi, apa yang mereka benci, entah ajaran dari siapa yang mereka dapat. Ini lepas dari kepentingan politik dan ekonomi. Kepentingan agama tak dapat disangkut-pautkan.

Yang jelas Amerika menunjukkan pada kita semua. Semua manusia punya harkat, martabat, dan hak yang sama termasuk menjadi seorang presiden.
Dalam editorial koran Tempo, 6 November 2008, di negara ini, Indonesia, diskriminasi dan rasialisme masih terjadi kendati undang-undang, bahkan konstitusi, telah diperbaiki. Dalam Undang Undang Dasar 1945 yang diamandemen, misalnya syarat seorang presiden dan wakil presiden tak lagi mengharuskan orang Indonesia “asli” tapi cukup terlahir sebagai warga negara Indonesia.
Persoalannya, dikotomi kesukuan, Jawa dan luar Jawa, masih terasa. Bangsa ini seolah belum bisa menerima kenyataan seorang presiden bisa terlahir dari suku non-Jawa. Dikotomi agama pun kerap jadi masalah. Padahal Amerika telah menyelesaikan soal ini hampir setengah abad silam, ketika John F.Kennedy tampil menjadi presiden pertama dari kaum katolik yang mayoritas.
Ya begitulah bangsa ini, penuh kekerasan, primordialis, dan bermental miskin. Tak semua memang, tapi sebagian cukup menggambarkan itu kan?
Sudahlah
Read More......

Jumat, 31 Oktober 2008

Ramadhan Akan Berakhir

Pesawat Lion Air masih di udara, padahal malam telah lama naik. Goncangan-goncangan di pesawat cukup membuat ciut nyali, ibu-ibu di samping saya komat-kamit mengucap nama Tuhan. Cuaca buruk, itu informasi yang didapat dari awak penerbangan rute Jakarta menuju Padang. Hingga mendarat di Bandara Internasional Minangkabau pun, langit terlihat gelap, sesekali rintik hujan mengenai bahu saya.
Satu tahun belum lagi saya pulang ke Solok, kampung halaman. Momen seperti bulan puasa dan lebaran adalah waktu yang biasa dipergunakan oleh kebanyakan orang perantauan untuk kembali ke kampung halaman. Menemui orang tua, berlebaran bersama keluarga, mengunjungi sanak famili dan teman-teman lama.

Senin, 29 September 2008 sekitar pukul 17.30 di depan kantor DPRD kota Solok, ada konsentrasi keramaian. Sebelum masuk lokasi ada spanduk betuliskan Pasar Pabukoan Kota Solok. Macam-macam lauk, panganan untuk berbuka khas Minangkabau dapat ditemui dengan mudah. Pedagang dan pembeli berseliweran di sini. Tak terlalu luas, hanya ruas jalan di samping kantor Telkom Solok yang dipergunakan. Susunan meja dan lapak seadanya. Saya di sana waktu itu.

Orangnya berkumis, perawakannya besar. Tangannya cekatan ketika memindahkan lauk dari wadah ke plastik. Ini tahun ke 2 baginya berjualan masakan di pasa pabukoan. Nama warung makan ini lumayan santer terdengar bagi siapa saja yang menginginkan masakan enak yang sedikit berbeda. Andalannya gulai tunjang. Jika pada hari biasa, Ampera Etek dapat kita temui di kawasan teminal angkot Solok. Khusus setiap bulan puasa di pasar pabukoan ini Ampera Etek hanya menjual samba (lauk).

Dari informasi yang diberikan bapak Irmi Rahnadasyan, atau yang biasa dipanggil Pak Guru ini, pasar pabukoan ini baru 2 tahun berjalan di lokasi yang baru ini. Sebelumnya sudah pernah ada, lokasinya berada di tengah pasar. Pemerintah melalui instansi yang terkait yaitu Dinas Pasar Raya meminta pedagang khusus pasa pabukoan ini pindah ke lokasi yang baru. Mengambil tempat di ruas jalan antara kantor Telkom kota Solok dan bekas rumah dinas Bupati lama. Di situlah lapak dan meja-meja pedagang tersusun dengan rapi. Perhitungannya setiap pedagang membayar Rp. 7500,- untuk 1 meja.
Walaupun suasana di sini cukup memadai untuk berjualan, dengan banyaknya urang Solok yang masih berkunjung ke sini saban sore. Pak Guru menilai tempat ini masih mempunyai kekurangan seperti ketidakadaan MCK yang memadai. Bahkan untuk menunaikan shalat magrib pun harus ke masjid yang tak bisa dibilang dekat. Ke masjid setidaknya harus menempuh jarak 300-400 meter. Di lokasi pun tak mungkin menunaikan shalat karena kurang bersih untuk melaksanakan ibadah. Biasanya sebelum Isya orang-orang di sana mulai berkemas-kemas dan biasanya sebagian besar telah meninggalkan lokasi. Meja-meja disingkirkan dan jalanan yang beralih fungsi ini mulai dipergunakan kembali seperti biasanya.

Seminggu kemudian saya ditemani seorang teman berencana melakukan perjalanan ke daerah Suliki. Senin, 6 Oktober 2008 pagi sekitar jam 10 kami memulai perjalanan dari kota Solok. Perkiraannya kami akan menempuh waktu sekitar 2,5-3 jam hingga ke tempat tujuan. Matahari tak begitu terik memancarkan sinarnya, bahkan di beberapa belahan langit terlihat mendung. Bensin motor telah terisi penuh, ini pun kami harus antri. Dari Solok kami bertolak melewati Sumani, biasanya daerah ini adalah titik macet, apalagi masih dalam suasana lebaran yang selalu dihiasi bermacam kendaraan bermotor. Yang paling ramai tentu truk atau mobil dengan bak terbuka di belakangnya. Diisi sebanyak-banyak orang, angkatan tua dan muda menuju tempat wisata. Di jalan pun jika bertemu kolega dengan transportasi yang sama biasa menjadi lawan. Anak-anak kecil hingga remaja dan dewasa yang tak mau ketinggalan mempersenjatai dirinya dengan pistol mainan, berbagai ukuran. Amunisinya peluru bulat warna-warni. Terjadilah pertempuran singkat. Kadang masyarakat di daerah yang dilewati juga sering ikutan. Mereka bergerombol, biasanya di kedai tepi jalan, pos siskamling atau tempat yang strategis. Mobil lewat dan menampakkan tanda-tanda penyerangan mereka telah siap. Menambah suasana ramai lebaran tapi riskan juga mengenai pengguna jalan yang tak berdosa. Jika sudah begitu bisa-bisa semua pengguna jalan baik pengendara roda empat atau roda dua akan bersiaga juga dengan menyiapkan pistol mainan yang marak di pasar menjelang setiap lebaran.
Menurut informasi dari teman seorang polisi yang dinas di daerah Paninggahan jalan Sumani-Singkarak padat lancar. Kita belum akan menemukan kemacetan pikir saya. Dan ternyata pasar Sumani yang biasanya kendaraan tumplek di sana lengang. Bahkan di dermaga danau Singkarak yang dijadikan semacam tempat bermain di hari lebaran, ada komedi putar dan rekan sejawatnya yang lain, juga belum menampakkan keramaian. Mungkin masih belum siang. Daerah terdekat yang akan kami tuju adalah kota Batusangkar. Sepanjang danau Singkarak kami melaju. Di pasar Ombilin kami mengambil jalan ke kanan setelah jembatan. Mendaki sedikit dan terpampanglah pemandangan indah. Kami melewati lereng bukit di samping kiri, dan jurang di samping kanan. Di lembah-lembah itu daerah pedesaan masih terlihat asri, sawah berjenjang-jenjang, pohon padat merayap, dan kincir air di sungai. Alangkah indahnya!
Perjalanan masih berlanjut hingga dari Batusangkar kami melewati daerah Baso. Jalannya panjang dan lurus, sesekali di jalan yang mulus ini ada turunan dan pendakian. Tak terasa kami sampai di Payakumbuh, tak masuk kota memang karena ke Suliki ini bisa dilewati tanpa melalui kawasan kota Payakumbuh. Kepenatan perjalanan belum juga habis, masih jauh lebih 30 km lagi baru akan sampai di Suliki. Kami sempat menangkap petunjuk jalan, lurus terus ke daerah Mungka, jika hendak ke Koto Tinggi dan Suliki mengambil jalan ke kiri.
Melewati daerah Danguang-danguang yang terkenal dengan satenya, lalu nagari-nagari kecil lainnya. Mulai dari situ, jalannya dinamakan jalan Tan Malaka. Panjang hingga ke daerah Pandan Gadang. Di sana rumah tempat Tan Malaka sebelum merantau ke Bukit Tinggi, setelah itu Nusantara dan Asia hingga ke Eropa timur dijamahnya..
Keramaian telah lewat saat sudah dekat sebelum memasuki Pandan Gadang. Yang tersisa hanya barisan bukit-bukit menjulang tinggi, bersatu padu memagari negeri dan lembah di bawahnya. Pemukiman penduduk hanya berjejer di pinggir jalan, sawah dan ladang yang sangat luas memenuhi daerah ini. Belok kanan sembari mendaki sedikit lalu agak lurus akhirnya sampai juga di rumah Tan Malaka. Kami yang pertama kali menelusuri jalan ini tak begitu sulit menemukan lokasi. Jika kebingungan, tinggal bertanya saja ke penduduk, dari awal hingga akhir perjalanan pun tak akan terasa susah.
Lokasi rumah Tan terletak di sisi kiri jalan dari arah Payakumbuh. Bukan berarti tepat langsung berhadapan dengan jalan tapi untuk sampai ke sana harus melewati jalan tanah setapak yang bisa dilalui mobil, lumayan lebar dan tidak rusak. Di sana, di depan sebuah rumah ditancapkan plang petunjuk berjudul Rumah Tan Malaka, Meseum dan Pustaka, bercat putih dengan dasar warna hijau. Bertonggak bambu, arah panah berwarna kuning.



Halamannya cukup luas, di depan rumah banyak tumbuh pohon kelapa dan ada kolam yang sudah tak berisi air. Entah ikan di dalamnya baru saja dipanen. Kami menaiki anak yang berjumlah tujuh buah, menghadapi pintu yang tertutup. Jendalapun tak ada yang buka, sepertinya tak ada penghuni di dalam. Berkali-kali diketok tak ada juga sahutan dari dalam. Dari arah surau yang tak jauh dari rumah baru tampak seorang perempuan berjalan mendekat ke arah rumah. Mudah-mudahan perempuan itu penghuni rumah, ternyata benar.

Pintu dibukakan sambil mengatakan dia akan segera memanggil ayahnya. Saya rasa dia masih sekolah. Kami masuk, dan dipersilahkan duduk di beranda. Sofa lusuh yang tak empuk lagi menjadi sandaran kami yang terbuat lelah karena perjalanannya. Rasa lelah menjadi tak berharga karena sekarang kami sudah berada di dalam rumah “Bapak bangsa yang terlupakan”.
Lalu muncul seorang laki-laki, setengah baya. Saya dan rekan langsung menyalaminya. Kami lalu memperkenalkan diri dan mengutarakan keinginan. Ia memperkenalkan diri sebagai Indra Ibrur Aditama, generasi ke empat dari Dt. Ibrahim Tan Malaka. Ayahnya bernama Johanes, ibunya bisa dibilang cucu Tan Malaka, Ananurnia. Sayang saya tak menanyakan lebih lanjut tentang hubungan keluarga dan silsilah lebih lanjut tentang generasi Tan Malaka. Di tempat yang bisa disebut ruang tamu ini banyak foto-foto Tan, dan keluarga generasi selanjutnya, bapak Indra mengungkapkan kebanyakan foto adalah sumbangan dari para kolektor atau siapa saja ketika rumah Tan ini dijadikan meseum pada tahun 2008 ini, belum terlalu lama. Beliau menerawang ke waktu itu, keadaan rumah itu ramai dan meriah, pemerintah melalui instansi terkait juga hadir bersama keluarga dan penduduk sekitar. Kini hanya sunyi senyap yang hadir. Bahkan pemerintah terkesan melupakan, secara eksplisit dia mengungkapkan setidaknya ada perhatia pemerintah untuk perawatan, karena ini rumah telah menjadi milik publik, meseum!
Kami dipersilahkan masuk ke ruang utama yang lapang, standarnya rumah gadang, tonggak tengah rumah terkesan kokoh. Di sini di isi dengan beberapa lemari berisi buku-buku karya Tan, ataupun buku tentang Tan Malaka karya penulis lain. Buku tamu disediakan di sebuah meja tepat di depan saat hendak masuk. Saya menelusuri nama-nama dan alamat orang-orang yang pernah berkunjung ke sini. Dari daerah Jawa tidaklah sedikit, LSM, kampus dan sebagainya. Di bagian awal tanggal 4-1-2005 ada nama Harry Poeze. Luar biasa peneliti yang satu ini pikir saya, itu bukan pertama kalinya dia ke sini. Bahkan ketika bapak Indra masih kecil dia telah juga pernah ke sini.
Lemari bukunya rendah-rendah, jadi buku disusun mendatar pada bagian bawah lemari, bagian atas dan depan di beri kaca.


Selebihnya di dinding rumah, hampir di semua penjuru di pajang foto-foto Tan dan tepat di bagian tengah kita juga dapat mengetahui daftar ranji Datuk Tan Malaka dari Ninik Mamak yang bertalian darah. Jendela di buka lebar-lebar mengatasi kepengapan. Di sela kami melihat sekililing sebuah buku dikeluarkan oleh bapak Indra, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. Buku ini dalam satu paket yang berisi tiga buah, deel 1 berwarna coklat muda, deel 2 ungu dan deel 3 biru, ketiga nya tebal-tebal. Karangan Harry Poeze tentunya. Bapak Indra mengungkapkan andai dia mengerti bahasa Belanda tentu banyak hal yang dia ketahui tentang sejarah leluhurnya tersebut. Harry Poeze memang dengan sangat serius meneliti tentang Tan, ini buku terbaru yang dia klaim sangat lengkap. Selama ini bapak Indra hanya mendengar cerita dari kakek dan orang-orang tua yang sedikit banyaknya tahu tentang kisah Tan, seperti cerita turun menurun. Di matanya masih banyak tersimpan keraguan-keraguan, hasrat ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia juga mengetahui tentang penemuan makam Tan di Kediri, penelusuran yang dilakukan Harry Poeze. Walaupun kelanjutannya dia juga belum tahu. Dia berharap sambil membolak-balik buku itu akan ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.
Read More......

Selasa, 09 September 2008

Rak dan Gerobak (Hidup)

Kamis siang di awal Juli, saya menginjakkan kaki di Toga Mas Galeria, tak seperti bayangan awal saya tentang toko buku. Toga Mas ternyata hadir di mall, pertama kali saya ketahui ini. Tempat ini berbeda.
Dari parkir di basement 2, lift membawa ke lantai 2. Ini benar-benar baru dalam database penglihatan saya. Pintu lift terbuka, saya mengambil langkah ke kiri luar, berjalan beberapa langkah. Pagar-pagar panjang dan etalase toko mengapit. Tak jauh mata saya tertumbuk pada dekorasi toko yang penuh dengan warna merah. Kaca-kaca besar, kira-kira mengisi empat sudut. Hampir keseluruhan bagian luar toko dilapisi kaca. Buku di rak telanjang tampak dari luar.
Kaki saya terhenti di tempat minum, dalam pandangan di depan sebuah gerobak bervernis coklat. Dari yang saya baca di depan, tempat ini bernama Djendelo Cafe. Pelengkap toko buku yang menghadirkan unsur artistik. Djendelo Cafe, dengan nama minuman yang disajikan membuat kita mengumbar senyum setidaknya mampu menggelitik saraf pendengaran, menjadi akses keluar masuk hampir setiap orang di Toga Mas. Aktivas migrasi ini membuat kesan sibuk tergambar disitu. Kadang sangat sering keriuhannya ditambah tumpukan buku dan kardus-kardus. Kemeriahan yang semakin terpancar dengan kesibukan yang sempat jinak oleh kumpulan meja dan kursi, coklat kehitaman.

Di kursi yang berhadapan dengan meja bundar itu, awal dari perkenalan saya terhadap tempat ini. Sedikit menoleh ke belakang beberapa waktu yang lalu. Saat itu saya duduk mengobrol dalam konteks wawancara, konsekuensi lamaran pekerjaan yang saya masukkan ke Toga Mas Gejayan (sekarang Affandi) akhir Juni. Berhadapan dengan seorang wanita yang bernama Shenny, saya kemudian memanggilnya mbak. Cecaran kata-kata, pengalaman waktu lalu, orientasi dan tanggung jawab ke depan menghiasi ‘obrolan’ kami. Lalu mencapai kata sepakat, melalui mbak Shenny saya diterima kerja di toko buku, Toga Mas D’Gale.

Kamis di hari ketiga bulan Juli, permulaan saya terlibat dalam. Sehari sebelumnya, saat saya terkantuk-kantuk lalu disadarkan dengan dering ponsel, secepatnya mengalir informasi saya bisa memulai bekerja besok. Dapat saya tangkap, saya disuruh datang jam 2 dan mencari seseorang, yang untuk selanjutnya saya panggil mas Singgih. Akhirnya dengan keinginan untuk berdedikasi tinggi saya lewati pemandangan yang ada di atas.

Mas Singgih ini ternyata supervisor saya, jadi apa yang harus saya lakukan dan yang lainnya lakukan berada dalam koordinasinya. Dalam perkembangannya setiap akan memulai pekerjaan yang dibagi dalam 2 shift, pukul 9-4 sore dan pukul 2-pukul 9 malam bagi yang full time, serta pukul 9-pukul 2 siang dan pukul 4-pukul 9 malam bagi yang freelance, saya termasuk yang kedua. Selalu dilaksanakan briefing, persiapan, pembagian tugas kerja dan doa bersama. Jika tak ada mas Singgih, seorang wanita berjilbab bernama mbak Ii akan memberikan pengarahan awal. Sepertinya selalu berganti-ganti. Lalu jika tak ada dua-duanya, ataupun ada dua-duanya, terkadang mbak Shenny yang akan mengisi briefing. Tak selalu memang, saya rasa ada proporsinya. Jadi setelah beberapa hari saya sudah mengenal hirearki, posisi, dan tugas masing-masing awak Toga Mas.
Saya dikenalkan dan menghafalkan rak-rak. Dari rak komik, buku anak-anak, sosial politik, novel, religi, majalah tabloid sampai rak tersendiri dari beberapa penerbit yang hadir. “Tak lama nanti juga akan hapal sendiri”, kata mbak Tawuk yang membawa saya ke dunia baru yang membuat saya agak berdebar-debar di hari pertama. Saya sudah mencoba men-display buku yang datang. Lalu meng-input-kan datanya di komputer. Selain mbak Tawuk, saya berkenalan dengan teman yang lain, Aswan yang menjabat erat tangan saya. Andhi yang sedikit mengurangi kebekuan di telapak tangan. Hoho..tak ketinggalan juga wanita cantik di depan komputer kasir, mbak Rindha. Beberapa hari berikutnya saya sudah kenal dan bertatap muka dengan Vika, Hanes waktu itu, Agung, Mas Jaja. Saya merasa agak takut ketika salah seorang yang sebenarnya telah sempat saya berkenalan tapi saya lupa namanya, memanggil saya. Beliau berdiri di dekat tumpukan buku tulis yang menjulang tinggi. Menanyakan asal saya dari mana, lalu mentitahkan kata-kata yang bakal saya ingat seumur hidup, “bekerja itu yang penting jujur!”. Mas Boy, panggilan dari nama Buyung, awalnya saya kira beliau dengan saya sama-sama dari Padang. Tapi tidak, dari Palembang ternyata.

Bersamaan dengan terbitnya matahari yang itu-itu juga di ufuk timur, sejarah manusia di atas bumi mendapat kegiatan baru. Setelah memasuki hari-hari yang beribu-ribu jumlahnya, Idul fitri tak tahu lagi di mana pentingnya embun yang bergantungan di dedaunan atau rerumputan pagi hari. Juga tak tahu lagi ia di mana manisnya awan merah yang melembayang di atas kepala. Dan ia pun tidak mengerti lagi apa kehebatan yang tersimpul dalam taluan beduk-beduk langgar masjid dan kelening gereja-geraja. Itu pun bukan salahnya sendiri. Mungin ia tahu juga keindahan itu, tetapi di masa ini pikiran dan perasaanya sangat giat dengan hal-hal lain sehingga tak sempat ia mempergunakannya untuk hal-hal yang tak mendatangkan keuntungan. (Pramoedya Ananta Toer, dalam Cerita Dari Jakarta)

Penggalan analogi waktu oleh Pram di atas tak bermakna jika tak mampu memberi warna. Begitu juga telah dua bulan lebih saya bergaul, berinteraksi, terlibat intim dengan mbak Shenny, mas Boy, mas Singgih, mbak Ii, mas Jaja, mbak Rinda, mbak Vika, Agung, Tawuk, Aswan, Andhi, lalu Dhani, bahkan juga dengan Vivi, mas Ihsan, Tria, Gala dan Imel para punggawa Djendelo.

Kedatangan kakak sepupu saya beberapa hari yang lewat membuat saya, dalam minggu depan harus telah berada di Jakarta Selasa, 9 September. Dalam rekomendasi dan informasinya saya akan.... Untuk itu saya harus menyiapkan data-data awal dan menghadirkannya dalam tulisan yang runtut. Membuat saya kelimpungan dalam minggu ini, membarengi waktu kuliah, tanggung jawab saya di Toga Mas, dan deadline yang harus saya kejar sebelum hari Minggu besok. Saya sangat berjuang keras dalam menghadirkan tulisan pengantar yang cukup bagus.
Saya sempat berfikir dan ada keinginan untuk meminta izin non-job, intensitas waktu yang saya butuhkan adalah satu minggu. Tapi keinginan itu tersingkap lalu luntur karena dasar apa yang saya inginkan ini dan jika diberi izin akan menggangu ritme kerja secara keseluruhan. Tambah tak sanggup saya mengutarakan karena melihat kuantitas waktu kerja saya yang tak seberapa (baru 2 bulan lebih sedikit) dan kontribusi yang tak terlalu banyak saya hadirkan bagi eksistensi Toga Mas, betapa belum sebandingnya dengan apa yang saya kehendaki.
Membayangkan kemungkinan ke depan, dimana akan ada kesempatan yang sangat besar atau malah sangat kecil sekali, yang mana juga tak dapat saya prediksikan. Tapi sebagai gambaran awal, jika saya mendapatkan beasiswa… (non beasiswa, kontribusi sebesar 3 juta rupiah), saya akan stay di Jakarta atau bolak-balik Yogyakarta-Jakarta selama 2 bulan.
Alasan di atas membuat saya tak mempunyai pilihan lain dan dengan hati berat saya mengajukan permohonan pengunduran diri kerja di Toga Mas Galeria. Seperti saat saya mulai bekerja dulu, semua berlangsung dengan sangat baik-baik, saat ini pun saya ingin mengakhirinya dengan baik-baik juga. Dulu saya mulai dengan berkas kertas dan interaksi verbal, sekarangpun akan demikian sama.

Tak ada yang tersisa selain permohonan maaf karena terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Dengan kerendahan hati, kepongahan pengetahuan dan kekerdilan pemikiran, hanya permohonan maaf yang tersisa dari saya. Terlebih untuk mas Singgih, yang telah dengan susah payah mengatur jadwal kerja, dan tiba-tiba sekarang saya mengacaukannya.
Melalui media ini secara langsung kepada mbak Shenny, mas Boy, mas Singgih, mbak Ii, mas Jaja, mbak Rinda, Agung, Vika, Tawuk, Aswan, Andhi, Dhani, Vivi, mas Ihsan, Tria, Gala dan Imel saya minta maaf jika kata-kata saya pernah tidak berkenan di hati, ataupun tingkah polah saya yang kadang sedikit aneh.

Dua bulan bukan waktu yang bisa lewat begitu saja tanpa pelajaran dan makna yang berhasil kita lewati. Banyak atau sedikit hinggap di kepala, menstimulasi otak dan pikiran kita.
Kebersamaan melalui kenangan yang secara personal pernah saya dan kita semua alami, lembur untuk pameran, olahraga bareng, serta terakhir outbond bersama. Terasa hangat dan masih akan tetap melekat. Secara pribadi saya mengucapkan terima kasih kepada:
Mbak Shenny, atas kepercayaan yang diberikan. Tanggung jawab yang pernah dilimpahkan menambah satu mozaik kehidupan hidup dalam pengalaman, membuat saya merasakan pembelajaran yang berbeda.
Mas Boy, dengan kedewasaannya, lalu menyimak cerita-cerita saya. Membuat saya berefleksi lagi. Dan menyadarkan bahwa kedewasaan tak didapat jika tak ada kontemplasi sempurna dalam kesalahan. Mungkin saya termasuk orang yang bebal.
Mas Singgih, awalnya saya sangat bersemangat ingin belajar dari mas. Sebegitu kuat saya ingin meniru bagaimana caranya sopan dan ramah tamah terhadap orang lain (costumer). Proses dua bulan ini belum membawa saya sampai ke tatanan itu, masih sangat jauh. Saya ternyata menyadari saya orang yang sombong.
Mbak Ii, mbak Rinda, Vika, Agung, Tawuk, Aswan, Andhi untuk canda tawa setiap hari, di sela-sela beban pekerjaan kita.
Untuk mas Jaja, hidup ternyata memang berat mas! Tapi kita mesti harus tetap menghadapinya kan? Kau menambah rekonstruksi pemikiran ku mas. Thanks ya!
Untuk Dhany, hari yang indah walaupun hanya sesaat.

Pekerjaan mulia karena ikut andil mencerdaskan kehidupan bangsa. Menghadirkan media tulisan dan informasi yang berguna melalui buku. Demikianlah dan saya berharap masih ada terjalin kelanjutan hubungan di antara kita semua. Walaupun tidak akan sedemikian intensif, setidaknya dalam konsep kebudayaan kita telah saling mengenal, nama hingga ke pendalaman karakter.


Yogyakarta, 4 September 2008
Alfian Syafril

Read More......

Rabu, 13 Agustus 2008

Seandainya, Djenar Maesa Ayu, Garin Nugroho, Jajang C Noer di 3rd Jogja-NETPAC Asian Film Festival

Senin 11 Agustus supervisor tempat saya bekerja memberi informasi besok selasa saya kerja masuk pagi. Kekurangan personel penyebabnya, di jadwal saya masuk malam. Ternyata ini memberi berkah yang luar biasa. Setelah saya libur minggu tanggal 10, dan menghabiskan masa pakansi itu dengan menikmati ajang musik A Mild Soundrenaline bersama Eta, akan saya ceritakan belakangan.
Pagi selasa dengan mata yang sangat mengantuk ditambah tak sempat mandi saya paksakan ke tempat kerja, saya masih sempat sms supervisor, pemberitahuan sepertinya saya akan telat, saya memberi alasan saya masih di kampus menyelesaikan beberapa urusan. Sebenarnya tak ada urusan apapun di kampus, hanya ingin menyempatkan diri ke Koperasi Mahasiswa untuk membeli majalah Tempo. Sejak kemarin saya menyambangi Kopma, tapi yang dicari belum kunjung datang, demikian juga pagi ini. Segera ke tempat kerja, untung saya belum telat. Syukurlah tak memperpanjang daftar kedisiplinan saya. Pekerjaan masih seperti itu-itu saja, ada return-an majalah dan tabloid dari penerbit Quint. Sebagian besar telah lengkap, cuma kurang 1 majalah Her World edisi Juli. Tak hanya saya yang mencari tapi telah dikerahkan juga bala bantuan dari yang lainnya. Beberapa orang yang berbeda berusaha mencari masih juga belum bertemu. Seluruh bagian toko sampai gudang, kasir dan kantor telah diperiksa tak juga tampak. Apa mungkin lepas dari pengawasan, sehingga ditilap pengunjung? Sepertinya itu juga tak mungkin. Beberapa hari sebelumnya, saya kebagian tugas me-return majalah, tabloid dan komik terbitan m&c, masih ada yang kurang. Lagi-lagi itu masih kurang 1 kuantiti lagi, komik excel 02. Sepertinya tak beruntung, walaupun yang lain ikut membantu. Sedangkan return-an dari Diva Pres sudang lengkap semua. Tinggal dikirim atau orang dari penerbit bersangkutan yang akan datang mengambil.

Jam 14 lewat 16 menit saya mengisi absen pulang. Dan besok saya dapat kesempatan libur lagi. Rencananya saya dan Eta akan ke Taman Pintar, memuaskan hasrat kita melihat anak-anak kecil. Pulang saya menyambangi Kopma lagi, beruntung majalah Tempo edisi khusus Tan Malaka telah ada. Harganya naik Rp.1500, biasanya edisi mahasiswa ini dilabel dengan harga Rp.15.000. Tak apalah dari pada membeli dengan harga biasa Rp. 25.000, hemat sepuluh ribu rupiah tentunya.

Eta mengingatkan supaya dibelikan makan siang, sehingga ke situlah saya dulu sebelum ke rumahnya. Nasi padang dengan lauk ayam balado dari tempat "uni" siap dibawa pulang. Ketika sampai di rumah Eta, dia kutemui sedang sibuk mengutak-atik komputernya. Belum makan dari pagi. "Gimana ga gampang sakit, makan yang teratur dong On!"

Sore ketika matahari telah berkunjung, malam akan menyingsing kita sudah punya rencana sebelumnya. Tempat-tempat yang akan kita kunjungi malam ini adalah Malioboro Mall dan mencari tempat penjualan akuarium beserta ikannya. Eta katanya akan mencoba memelihara ikan di rumahnya. Katanya juga urusan nguras menguras air diserahkan kepada saya. Loh?? Kita sudah sampai di tempat tujuan pertama, di Malioboro Mall kita akan ke ATM Lippo dan Matahari. Ke Anjungan Tunai Mandiri mengambil uang mingguan Eta dan ke Matahari melihat tas. Tas saya sudah sobek, besar dan tak bisa ditutupi lagi dengan pin. Kalau saya punya uang berlebih nanti, apakah itu uang tabungan atau uang gaji, saya berencana membeli sebuah tas. Riskan juga membawa laptop kemana-mana dengan tas yang sudah sudah sobek itu. Tas Navy Seal yang kata teman saya sedang diskon di Matahari. Ternyata sampai di sana diskonnya telah abis, harganya kembali normal di angka dua ratus tiga puluh sembilan rupiah. Ya suatu saat lah. Eta menyempakan melihat-lihat tas juga, bahkan singgah ke Planet Surf, gila tas Billabong atau Quik Silver dibanderol satu juta ke atas. Buat apa tas 1 juta?? Dengan 1 juta bisa membantu Eta mewujudkan cita-citanya ke Padang. Hmm travelling ke Padang adalah prioritas utama dalam to do list Eta. Ransel juga, demi menunjang perjalanan Eta dalam usahanya menjadi seorang backpaker.

Selepas dari Malioboro Mall kita rencananya akan ke Djendelo Cafe di Toga Mas Galeria. Aku menawarkan kita memutar haluan dulu ke Taman Budaya, sekalian dekat dari malioboro apa salahnya. Lagian sedang ada event juga di sana, 3rd Jogja-NETPAC Asian Film Festival 9-13 Agustus. Tak ada salahnya karena besok hari terakhir, mana tahu ada yang menarik.
Sampai di sana kita masih celangak celinguk acaranya di gedung mana, di halaman TB ada pergelaran gamelan. Banner acara yang di sponsori LA Lights ini baru kelihatan saat kita melangkah menuju utara gedung.
Ini yang luar biasa, tanpa di duga kita sempat melihat Djenar Maesa Ayu dan Jajang C Noer. Hahaha, saya dan Eta tertawa, tak meyangka dua orang hebat itu sedang nongkrong di taman mengobrol dengan beberapa orang. Kita lewatkan saja, cukuplah untuk memandang dua wajah mereka dari dekat, yang biasanya cuma bisa dilihat di televisi atau film. Tapi kami benar-benar terkesima, hahah katro' banget yah?

Di dalam gedung dari informasi sedang diputar sebuah film Iran. Saya minta brosur acaranya saja. Kebetulan jam 8 malam ini, di LIP (Lembaga Indonesia Prancis) Sagan akan diputar film _9808. Saya baca dari koran Tempo dua hari yang lalu, film ini bercerita tentang peristiwa 98 dan diuntai juga sejarah 10 tahun setelah itu sampai 2008 sekarang. Eta dan saya memutuskan akan menonton film itu, waktu belum menunjukkan jam 8 masih cukuplah untuk perjalanan ke LIP di Sagan. Nah, sewaktu keluar dari gedung Taman Budaya 1 Djenar dan Jajang masih ada di tempat kami lihat tadi. Saya dan Eta tak menyia-nyiakan kesempatan itu, kami dekati Djenar dan bilang ingin bersalaman dengannya. Djenar menyambut baik, dan tangan Djenar dingin, saya bilang saya suka film Mereka Bilang Saya Monyet-nya, dengan tertawa dia jawab "kan belum diputar?". Eta bilang di bioskop waktu itu, Djenar balas lagi, "kan cuma diputar di Blitz?" (tahu dia di Jogja ga ada blitz, hehehe). Saya berusaha menyelamatkan "kita nonton di Bandung waktu itu mbak!". Cukup sekianlah percakapan hangat dan singkat antara kami dengan Djenar. Tiba-tiba seorang Jepang meminta saya tolong fotokan dia dan beberapa temannya dengan Djenar, Jajang, dan ada juga Garin Nugroho! Wahhh...beruntung sekali saya dan Eta melihat orang-orang hebat dari dekat. Jadilah saya menjepret Garin, Jajang, Djenar, si orang Jepang yang punya kamera, beberapa bule eropa, ketua festival film dan siapa lagi yang tak saya ketahui. Dengan latar belakang spanduk besar acara foto itu sempat diulang, saya kurang lama menekan tombolnya. Si orang jepang bilang "push it with long time" entah benar dia bilang itu atau tidak yang penting saya mengerti harus menekan lebih lama tombol kameranya. Huhuhu...oon banget saya, tak mengerti English dengan lancar. Mau les Inggris belum ada waktu, dulu SMP tak serius saya les bahasa Inggris, menyesal saya. Beruntung sekali anak SD sekarang sudah belajar bahasa Inggris dan Teknologi Informasi. Pergunakan dan manfaatkanlah sebaik-baiknya adek-adekku, huhuhu...

Sesi foto-foto telah selesai, si orang Jepang dan Djenar mendekat ke arah saya, melihat hasilnya. Sepertinya good job, hehehe..
Garin Nugroho juga mendekat, saya dan Eta mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, saya dan Eta bersalaman dengan Garin, dia cuma bertanya "dari manakah?" "Dari Jogja Mas", jawab saya. Eta dan Saya masih terperangah dan speechless sehingga tak mampu berkata-kata di hadapan Garin. Saya dan Eta hanya mohon pamit, tak lupa juga dengan Djenar.

Benar-benar malam yang luar biasa, bertemu artis musisi pemain band dan penyanyi di soundrenaline kemarin biasa saja sepertinya. Tapi ini beda sekali. Saya dan Eta mencerocos tak jelas, senang tak kepalang, tak berhenti-hentinya mengeluarkan kekaguman. Dalam diskusi kita dari Taman Budaya hingga LIP, dapatlah saya terangkan sedikit.

Sedikit terbersit keinginan berfoto dengan mereka, padahal entah kapan lagi kesempatan itu datang. "Aku sempat ingin berfoto dengan Djenar An, tapi kenapa ga sanggup bilang ya?", kata Eta. Biasanya Eta cuma bisa membaca tulisan Djenar di blognya, menonton karya filmnya, atau membaca buku Djenar (Kayla, MBS) di Gramedia, sampai-sampai buku itu lecek. Lucu juga kalau diingat. Kita datang ke Gramedia, membuka sampul plastik buku dengan trengginas, membaca, kalau belum selesai dilipat halaman bukunya untuk tanda, lalu di sembunyikan di bagian paling susah diambil orang lain. Beberapa hari lagi kita datang, membaca lagi. Hahaha..tambah biadab jika bagus dan mau beli bukannya beli di Gramedia, tapi di Toga Mas dengan diskonnya yang lumayan. Gramed mahal sih! Hehehe. Nah sekarang orangnya di depan malah tak sempat didokumentasikan.

Setelah saya pikir, saya menemukan jawaban untuk menetralisir permasalahan foto memfoto ini. Menurut saya dan Eta esensinya bukan pada penting atau tidaknya tentang kesempatan berfoto itu, tapi makna dari pertemuan ini. Jabat salam hangat dari Djenar dan Garin terasa sangat akrab Di taman budaya bertemu, mereka tak menunjukkan keangkuhan, tak seperti artis lainnya. Saya coba membayangkan kalau di sana ada Laudya C Bella, Rafi Ahmad, Fedi Nuril atau siapa lagi. Mungkin jelas berbeda. Maaf kalau terasa subjektif. Menurut saya orang-orang yang berkecimpung di dunia film, seperti Garin, Djenar atau Jajang yang lebih mengedepankan idealisme sebuah film, dari pada aspek komersil lebih merakyat, tidak jaga image terhadap sekitar. Di taman budaya mereka berselonjor mengobrol dengan rekannya, ketika kami mendekati mereka pun menyambut sangat hangat, sangat dekat. Tak ada kesan sombong. Begitulah orang idealis menurut saya. Jadi berjabat tangan dalam konsep salam itu dalam islam dan hubungan sosial pun lebih mulia, saling mendoakan keselamatan masing-masing. Sejauh apa foto-foto? Paling untuk menimbulkan kebanggaan saja. Pembaca mungkin berfikir kami bersikap seperti ini karena melewatkan kesempatan itu, dan mencari alibi untuk tidak menyesali. Dari kami sedikitpun tidak ada mencari pembenaran.

Yang saya sayangkan tentu tak memanfaatkan pertemuan ini dengan mengobrol lebih lama. Kami sudah takjub duluan, pertemuannya juga tak terencana, tak terduga akan terjadi. Pertanyaan saya masih tersimpan, untuk mas Garin: "film tentang Slanknya udah selesai atau masih dalam proses pengerjaan? Kapan rencananya diputar?" Ya itu saja, sebagai seorang slankers yang Slank akan difilmkan dan sutradaranya ada di depan saya, tapi tak terjadi karena sudah speechless duluan. Untuk Djenar, apa ya? saya tak terlalu mendalami soal dia, hmm mungkin Eta, dia lumayan dekat dengan tulisan dan karya Djenar. Mungkin akan dijelaskan Eta di blognya www.arletafenty.co.cc

Begitulah kisah yang sangat membanggakan dari saya dan Eta. Kampungan? bisa jadi. Tapi kami tak pernah merasa kampungan. Pemikiran dan kesempatan itu anugerah yang luar biasa. Ketemu artis segitunya, gue aja yang bergelut dengan artis-artis ga gitu-gitu banget. Mungkin ada yang berfkir seperti itu. Tapi bagi kami, Djenar, Garin, Jajang bukan artis, mereka manusia, mereka hidup, berfikir, berkarya tak ada bedanya dengan manusia lain. Tapi mereka lebih istimewa karena mereka berkarya. "Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi." (Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara Jilid II, 1948).
Kalau ada yang masih terfikir lebih jauh tentang ini, akan saya ulas lebih dalam lagi.

Akhirnya kami sampai di LIP (Lembaga Indonesia Prancis) di daerah Sagan. Langsung saja mengisi buku tamu dan menunggu beberapa menit. Panitia mempersilahkan masuk ke ruang audio karena film akan diputar. Tak begitu ramai di dalam. Kami memilih duduk agak di depan, karena Eta tak membawa kaca mata. Satu setengah jam kami menikmati kumpulan film-film pendek. Dengan beberapa tema dan latar belakang yang berbeda. Ada yang lucu, ada yang menyedihkan. Orang tua korban yang tewas waktu peristiwa semanggi masih mencari keadilan dan kebenaran sampai sekarang. Permasalahan nama dan keturunan Cina juga dibahas dalam 2 atau 3 film. Trauma masa lalu saat kerusuhan 1998 sampai pengharapan selama 10 tahun berjalan setelah peristiwa atau yang orang bilang reformasi. Bekas-bekas aktivis dalam kehidupannya sekarang menjadi salah satu pembahasan yang menarik. Lalu diselipkan juga film tentang pemberantasan korupsi seorang kepala sekolah di SMA 3 Surakarta oleh murid-muridnya. Dengan misi satu Solo harus tahu mereka mengundang juga media dan elemen masyarakat dalam aksinya. Sangat menyentuh. Tapi menurut saya mereka belum merasakan jadi orang tua aja, saat idealisme masa muda terkikis realis masa tua. Saat orang punya anak bini, mereka lebih memikirkan anak bini mau dikasih makan apa? Tidak bisa dibilang pragmatis. Maaf kalau lagi-lagi saya subjektif.

Ketika film selesai ternyata di belakang saya duduk mas Kiki, senior saya di Filsafat sekarang sudah lulus dan mencoba jadi pengajar di Filsafat sepertinya. Kami sempat beramah tamah dan saling bersalaman. Dia bersama seorang cewek senior saya di Filsafat juga. Tak lama saya dan Eta pamit duluan keluar. Mas Kiki orang pintar, salah satu dari orang yang saya kagumi, ada Sarfah Fahri Salam dan lainnya.
Hari yang berwarna.
Read More......

Jumat, 08 Agustus 2008

Refleksi Singkat

Satu pertanyaan dalam hidup yang terus menggoda. Terlebih sebagai orang muda. Besok kamu mau jadi apa?
Dua jawaban yang satu sama lain masih saja dipermasalahkan.

Jawaban yang pertama adalah saya ingin punya banyak uang. Reaksi yang hadir adalah saya dianggap sebagai orang yang materialistis, semua yang saya lakukan demi uang, saya adalah budak uang. Bukanlah uang yang mengatur saya, tapi saya yang mengatur uang. Kebahagiaan tak dapat sepenuhnya dinilai dengan uang banyak, tanggapan dari yang mengajukan pertanyaan. Ini menjadi pemikiran tersendiri bagi saya.

Semua orang berkeinginan untuk tercukupi kebutuhan materinya. Semua orang ingin kaya. Kaya dan miskin itu harus ada. Pernyataan moralisnya orang kaya, yang punya banyak uang tak boleh dengan sewenang-wenang memperlakukan orang yang tak punyai seperti orang kaya yang punya. Orang miskin itu harus ada, jika tak ada orang miskin dan semua kaya, maka akan kembali ke titik nol dalam pergerakan materi. Tak ada yang kaya, karena semuanya miskin.
Kecukupan materi menjadi salah satu pencapaian kecukupan kebahagiaan. Orang dengan uang banyak, bisa memilih apa yang mereka senangi apa yang mereka kehendaki. Manusia punya rasa ke(moralis)an dan ke(humanis)an tersendiri, individu lebih tahu tentang dirinya sendiri, jadi dia dapat mempergunakan kebebasan yang mereka punya dengan kehendak sendiri. Individu menginsyafi adanya batasan-batasan dalam berkehendak. Kadar penggunaan logika setiap individu yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Emosional dan nurani menjadi penyeimbang kaidah berfikir logika masing-masing individu.
Uang mempermudah akses pribadi, termasuk di dalamnya proses pengembangan diri. Tanpa uang manusia bukan apa-apa. Uang dan dalam cakupan luas ternyata vital dalam kehidupan manusia.


Jawaban yang kedua adalah saya ingin menjadi intelektual. Teman saya mengingatkan, intelektual tak banyak duit. Dan awas hati-hati terjebak menjadi intelektual karbitan. Di sekeliling kita banyak dapat kita lihat. Menjadi intelektual yang moralis atau intelektual humanis? Susah untuk memilih satu di antara dua hal tersebut. Pilihannya harus jatuh pada salah satunya. Sering diingatkan kita jangan menjadi manusia yang sok suci, sok merasa benar, sok beragama. Tak secuilpun tak mungkin melakukan tindakan yang melanggar hukum dan norma. Lebih baik menggunakan daya pikir itu seoptimal mungkin, agar terhindar dari sifat hipokrit. Kesalahan diri sendiri yang pernah dilakukan sebaiknya dibagi ke orang lain, tapi pada kenyataannya kita takut malu, takut merasa tak suci. Kita dipaksa menjadi manusia tanpa dosa. Dan pada akhirnya menjatuhkan orang lain dalam hukuman sendiri. Memperkosa hak orang lain, merenggut kemerdekaan berpikir orang lain. Dan kita sempurna menjadi manusia bebal.
Banyak kekurangan kita sebagai manusia. Kita kurang mendengar, kurang cakap menganalisa, kuarang mampu berpikir. Karena munafik dan merasa selalu benar, selalu berada di jalan yang lurus, yang tanpa kita sadari tak ada jalan yang lurus tanpa lubang, tanpa belokan tanpa turunan. Seringkali di situ kita terantuk dalam kemaluan mengakui, hingga semakin banyak kemunafikan yang terkumpul. Tak mampu mendengar membuat kita lemah, menjadikan kita buta.
Individu yang tak pernah menyesal melakukan pilihan yang dia yakini tak mengurangi kepunyaan orang lain adalah mereka yang bertanggung jawab. Kebalikan dari itu adalah individu yang menganggap cerita individu lain telah salah bertindak.
Menjadi manusia yang idealis lalu berubah menjadi realistis adalah perubahan yang tak mudah. Banyak cemooh tentunya dari apa yang kita punya dalam keidealisan sebelumnya. Tapi realistis membuat kita tahu jalan hidup itu seperti apa.

Jawaban paln realistis dari gabungan dua jawaban di atas adalah saya akhirnya memilih menjadi penulis. Langsung saja saya diingatkan. Kamu jangan bercita-cita jadi penulis, nulis banyak tak tentu arah, nulis sedikit salah, tidak menulis kena marah. Begitulah nasib penulis. Lalu?
Read More......

Sabtu, 02 Agustus 2008

Pemberitahuan

Malam itu hp ku bergetar, tak ayal nama Fahri tertera di layar ponsel, rupanya dia mengirim pesan.
"An dirimu kerjakah? aku ada temen dr jakarta, dia ada keperluan S2 di UGM, bingung mau kuinapkan dimana ya, di tempat Eta bisa ga ya? Nuwun"

Tak lama berselang, hanya tiga menit saat aku akan konfirmasikan hal ini ke Eta, dia sudah duluan mengirim pesan.
"Sayang aku takut di rumah sendiri"

Kebetulan sekali, Eta punya teman di rumahnya malam ini. Itu pun kalau dia bersedia menerima teman Fahri menumpang di rumahnya untuk malam itu. Aku informasikan hal ini ke Eta langsung. Ternyat Eta menyambut dengan tangan terbuka, jadilah pekerjaan ku malam itu ku sambil-sambilkan dengan mengirim pesan ke Fahri dan Eta. Kesepakatannya selesai aku kerja aku langsung menyusul Fahri dan temannya ke kost.

Setelah absen dan briefing singkat seperti biasa ku pacu sepeda motor tua, sesampai di kost tak kutemukan Fahri dan temannya itu. Saat aku hubungi mereka sedang makan di Klebengan. Ku susul dan tak dapati mereka juga, akhirnya melalui pesan singkat aku disuruh tunggu di sana dulu. Memang tak lama tapi berteman dingin malam yang menyesak sungguh tak sedap.

Dari kejauhan lampu motor Fahri menyorot arahku lalu berhenti tepat di sampingku. Dalam keremangan cahaya, aku dikenalkan pada temannya yang bernama, Atun. Dari sana kita bertiga menuju rumah Eta.

Sesampainya di sana Eta menyambut dengan sumringah. Tamu-tamu itu dipersilahkan masuk, sementara aku menyingkirkan binatang yang disebut aneh oleh Eta di kamar mandinya. Binatang yang kutenggarai kepiting atau bisa juga laba-laba ini berhasil ku enyahkan.

Setelah mereka duduk dengan menyesuaikan diri sebaik-baiknya. Berteman vannila late panas kita berempat membuka obrolan. Mbak Atun ini bekerja di LSM yang bergerak di bidang politik bernama Demos. Kesempatan ke Jogja dalam rangka mengikuti seleksi S2 di UGM keesokan hari. Melanjutkan sekolah berkat beasiswa dari kantornya. Menurut berita yang ku dapatkan dari Fahri mbak Atun dulu S1 nya di IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) lalu S2 di Universitas Indonesia. Dan sekarang mengambil S2 lagi di UGM. Menurut Fahri lagi kesempatan ini adalah hasil kerja sama UGM dengan kantor mbak Atun. Tujuannya nanti S3 di Oslo, Norwegia. Hebat banget!
Dari perbincangan yang terjadi, mbak Atun ini telah menjelajah nusantara, ke Papua, Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Nusa Tenggara, pelosok jawa, bahkan ke Padang! Aku teringat kata-kata "Bangku kuliah tak mengajarkan tentang nasionalisme, jelajahi lah negerimu, untuk menimbulkan kebanggaan pada negerimu". Senada dengan Pram "menulislah untuk peradaban!".
belum selesai.......
Read More......

Minggu, 27 Juli 2008

Pengantar

Sekarang aku menyinggahi toko hampir setiap hari, dalam sebulan kadang 5 atau 4 hari aku tinggal di rumah. Bukan apa-apa, aku sekarang bekerja di toko buku, Toga Mas di Galeria Mall. Di Jogja toko buku diskon Toga Mas ada 2, di jalan Gejayan (sekarang jalan Afandi) dan di tempat aku bekerja sekarang. Di dalam mall, ada AC. Nyaman, dingin tapi sering membuat kepalaku sakit dan seperti melayang-layang karena keseringan naik turun menggunakan lift.

Aku belum menargetkan berapa lama akan tetap tinggal di tempat ini. Aku juga belum dapat memperkirakan bagaiman mengatur jadwal jika perkuliahan telah dimulai nanti. Yang penting sekarang akan ku ambil sebanyak-banyak pelajaran dari sini. Sampai saat ini, ada beberapa hal yang patut aku simpulkan. Pekerjaan ini membuat aku belajar tentang bertanggung jawab, kedisiplinan, dan ketelitian. Mungkin ada beberapa hal yang lain. Untuk sementara ini saja cukup, yang lain akan hadir. Untuk permulaan setelah lama tidak menyapa di blog ini barang tentu sudah bagus.

Mengatur waktu itu ternyata gampang-gampang susah. Shift kerja dibagi dua, malam dan pagi. Pagi jam 9-2 siang, untuk malam jam 4 sore sampai jam 9 malam. Kalau hari ini bekerja malam dan besoknya pagi, ini kadang agak susah. Sampai di rumah jam 10 itu sudah cepat, besok sudah menanti jam 9. Keseringan tak bisa langsung tidur, sering ku isi dengan membaca atau meredakan kepenatan dengan bermain game. Ujung-ujungnya lewat tengah malam baru bisa tidur. Sementara jam 7.30 aku harus bangun, mandi dan bersiap-siap. Sebelum jam 9 aku sudah harus sampai di galeria. kadang serasa tergesa-gesa. Tapi semakin lama semakin terbiasa dengan ritme kerja. Keuntungannya kerja pagi adalah setelah keluar aku punya banyak waktu mengisi kehidupan, spesial dengan si Eta kecil. Seandainya kebagian jadwal malam biasanya akan aku manfaatkan dengan tidur sampai siang. Setidaknya sampai perkuliahan dimulai. Entah bagaimana nanti jika kuliah dimulai, aku benar-benar pusing mengatur jadwal. Selama ini Eta masih setia menemaniku. Pagi atau malam Eta saban hari menemani, dia kebanyakan duduk dengan laptop di depan, syukurlah di samping Toga Mas ada Djendelo Cafe. Eta bisa menunggu sambil hot spot-an di situ.

Tanggung jawab itu sangat berat. Ditugaskan untuk mengerjakan sesuatu tak bisa diselesaikan dengan setengah hati, berat atau ringan suka atau tak sukaharus dikerjakan. Ini tanggung jawab, ini konsekuensi pekerjaan. Sebaiknya kita harus menyediakan hati yang lapang, dengan begitu kita bisa melaksanakan tanggung jawab dengan baik. Melayani costumer juga bagian dari tanggung jawab. Aku mungkin termasuk tipe orang yang tak bisa berlemah lembut melayani orang lain. Tak sabaran dan tak mau diganggu. Ini jadi satu masalah, setiap hari aku mencoba untuk menghilangkan sifat itu. Mudah-mudahan bisa menjadi manis.

Aku merasa akan semakin teliti, aku rasa aku cenderung orang yang suka berbenah, suka kerapian. Semakin terasah dengan pekerjaan ini. Cukup ini saja lah dulu. Tak jelas juga yang aku tulis ini, tapi sedang belajar bagaimana bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kapan waktu bekerja, kapan menulis, kapan kuliah, kapan mengerjakan tugas dan kapan membaca.
Read More......

Kamis, 24 Juli 2008

Rindu Menulis

Sudah lama Sekali tidak menulis, mencurahkan pikiran ke dalam bentuk informasi entah berita, entah kejadian harian. Rindu juga tangan ini berkalaborasi dengan otak dan hati untuk coba terus belajar menulis yang baik. Sekarang waktu tak ada cukup untuk itu, kalau tidak pagi, malam jua bekerja. Jika semua telah teratur jadwal dan apa yang mesti diatur serta pandai memanfaatkan waktu akan datang juga kesempatan itu.
Sekolah sebentar lagi juga akan mulai. Sampai terbiasa semua akan lancar-lancar saja



Read More......

Selasa, 01 Juli 2008

Siti Nurbaya is Gangster

Berikut ini adalah sebuah artikel di majalah Tempo edisi khusus Kebangkitan Nasional 1908-2008. Salah satu cara media jurnalistik memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan yang satu ini. Padahal banyak yang lain, seratus karya. Semuanya tentang buku, Tempo memberi tema besar "Berbagai Tinta Menulis Indonesia". Ya untuk yang tak sempat membeli majalah Tempo, tak sempat membaca, tak sempat tahu. Ini menjadi sedikit tambahan ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan bemanfaat.

Perlawanan Abadi Siti Nurbaya

Tak sekedar menyorot kawin paksa, roman itu juga mendobrak kekakuan adat. Sebuah referensi klasik sastra Indonesia.

Siti Nurbaya belum mati. Entah sejak kapan nama itu menjadi lambang perempuan modern yang tertindas kekolotan adat. Boleh dibilang, tak ada tokh fiktif sastra Indonesia modern yang bisa menandingi nilai personafikasi sosok perempuan ini.
Tokoh sentral dalam Roman Siti Nurbaya (garis miring) karya Marah Rusli itu telah hadir di ruang-ruang kelas sekolah sejak diterbitkan Balai Pustaka pada 1922. Siti Nurbaya (garis miring) bahkan mengilhami beberapa sutradara untuk mengangkat kisahnya ke layar kaca. Di Padang, Siti Nurbaya hadir seperti sosok riil. Ada jembatan atas namanya, ada pula makam lengkap dengan cungkup dan kelambunya.
Siti Nurbaya memang telah mempengaruhi kehidupan nyata. Yang menarik, beberapa lama setelah roman itu lahir, tejadi perubahan dalam keudayaan masyarakat Minangkabau, terutama berkaitan dengan kawin paksa. Roman itu kemudan menjadi counter-culture(garis miring), yang mengejek setiap orang tua ketika hendak memaksa anak perempuannya kawin dengan perjodohan paksa: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya (garis miring) adalah Roman marah Rusli yang paling masyhur di angkatan Balai Pustaka. Marah Rusli dinilai sebagai salah satu pelopor yang mengakhiri zaman kesusteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam karya-karyanya bukan lagi istana-sentris dan hal-hal bersifat fantasi belaka, melainkan gambaran realitas masyarakat pada masa itu.
Roman Siti Nurbaya (garis miring)berkisah tentang percintaan melodramatis Siti Nurbaya dengan Syamsul Bahri. Namun orang tua Siti tak menyetujui. Siti pun menikah dengan Datuk Maringgih, orang tua kaya berhati licik. Siti akhirnya meninggal diracun anak buah Datuk Maringgih. Syamsul pun mati.
Siti Nurbaya menarik karena roman ini mampu membangun pemahaman baru akan kegelisahan perempuan terhadap adat dan kebudayaan yang mencengkram mereka. Cerita ini sekaligus mengambarkan pengorbanan perempuan-Siti Nurbaya-untuk kedua orang tuanya dengan menikahi Datuk kaya demi melunasi utang orang tua.
Ini yang membuat roman tersebut kuat. Rusli-kelahiran Padang, 7 Agustus 1889-mengalirkan gagasannya hingga terasa mendahului zamannya. Lewat dialog tokoh-tokohnya, Rusli menyampaikan gagasan tentang kekolotan di kalangan bangsawan yang merugikan, kearifan hidup pada zaman perubahan, corak perkawinan ideal, keburukan poligami, serta masalah hubungan laki-laki dan perempuan.
Lewat romannya itu, seperti pernah ditulis sejarawan Taufk Abdullah di majalah Tempo (garis miring), Rusli seakan menginginkan reformasi ideal. Ia mencita-citakan perkawinan tanpa paksaan. Ia juga menentang keras poligami. Secara karikaturis ia mengecam...selanjutnya di majalah Tempo, sedikit lagi kok.


Read More......

For the owner of my Heart also my sweet little Princes




Bersama Stanny, berwawancara di toga mas Galeria. Great chance! Bekerja untuk berpenghasilan bergelut dengan buku. Hahaha
Read More......

Jumat, 06 Juni 2008

Pulang

Masa ujian telah berakhir, itupun hanya seminggu. Tak perlu penderitaan yang lebih lama. Efektif memang kalau jadwal ujian hanya seminggu, dua buah mata kuliah yang diujiankan dalam sehari. Bahkan ada juga yang dalam sehari dapat menjalani tiga kali ujian. Keefektifannya terlihat ketika ujian selesai, mereka yang ingin segera mudik ke kampung halaman dapat segera pulang. Waktunya pun juga semakin panjang saat harus kembali lagi dari masa liburan. Seperti salah seorang teman dari Jakarta yang bakal pulang hari Sabtu. Kita selesai ujian hari Jumat tanggal 6 Juni, sebenarnya dia berencana dan bisa langsung pulang sorenya. Tapi diundur satu hari saja karena rapat terakhir persiapan Ospek. Lalu teman sesama dari Padang memutuskan pulang hari Selasa dengan menebus sekitar 900 ribuan. Sore jumat ini setelah mengikuti rapat persiapan Ospek yang terakhir, aku menemani teman dari Padang satu lagi untuk booking tiket kepulangannya. Harganya berkisar 900 ribu sampai 1 jutaan. Cukup besar untuk itu. Aku jadi puyeng memikirkan, sementara aku masih terombang-ambing belum bisa memutuskan apakah aku akan ikut-ikutan pulang atau tidak.

Setelah rapat, dan aku akan berada di posisi pendamping pada Ospek nanti. Ada beberapa persiapan yang harus disiapkan, sebenarnya tak banyak. Aku harus menguasai tentang materi tentang State of War, di dalamnya terdapat unsur-unsur kebersamaan, berani berpikir, tanggung jawab dan kebebasan bersekspresi. Diharuskan juga untuk menyertakan tulisan sebanyak 2 atau 3 halaman. Tanggal 28 Juli, kita akan rapat persiapan lagi, jadi sebelum tanggal bagi mereka yang pulang diharuskan sudah berada di Jogja lagi.

Jumat malam ini tiba-tiba hp ku berdering orang tua ku menelfon. Menanyakan tentang ujian dan tetek bengeknya. Percakapan kali ini aku sarat dengan kesan emosional yang terjalin antara anak dan orang tuanya. Pokok pembahasan yang pasti disinggung adalah apakah aku akan pulang atau tidak. Aku tak sanggup menjawab pertanyaan itu, walaupun mereka tak menanyakan secara langsung. Tapi aku menangkap mereka menelfon ku malam ini, secara tersirat menanyakan kapan waktunya untukku akan pulang.
Aku mengemukakan beberapa pernyataan. Aku memang punya keinginan pulang, siapa yang tak ingin pulang setelah tak bertemu dengan orang tua, tak merasakan suasana rumah kampung halaman, tak menikmati kebersamaan dan canda tawa dengan teman-teman yang sudah lama ditinggalkan, tak melihat perkembangan-perkembangan yang terjadi di kampung tempat aku beranjak meningalkannya merantau demi ilmu pengetahuan dan pengalaman. Tapi aku tak pulang ke Banjarnegara, Cilacap, Semarang, Tegal, Ngawi, Blora atau daerah-daerah di kawasan Jawa. Aku pulang ke Sumatera, melintas pulau, negeri pesisir barat sumatera yang tandus dan subur. Tak terhitung banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan orang tuaku untuk kepulangan yang tak mungkin akan lama ini. Bagaimana aku pulang kalau hanya 1-2 minggu, atau paling lama 3 minggu. Hanya akan sia-sia karena aku tak banyak juga di rumah kalau pulang, aku sibuk ke luar menjumpai teman-teman, melihat-lihat perubahan pemandangan alam. Ya mungkin saja jangan-jangan danau Singkarak airnya surut sekitar 5 kilometer, atau menyaksikan gunung Talang meletus.
Kenapa bakal tak lama padahal ada waktu sekitar 1 atau 2 bulan dialokasikan untuk masa liburan kuliah. Yang pertama selain akan harus kembali lagi ke Jogja sebelum tanggal 28 Juli, selanjutnya ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Yang paling dekat adalah mencoba membikin tulisan untuk Jurnal Filsafat yang baru. Sekalian pengumuman siapa tahu teman-teman di Padang, Aceh, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua seluruh pelosok Nusantara yang membaca blog ini berminat untuk:

UNDANGAN MENULIS DI JURNAL MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UGM

Dalam diskursus filsafat kematian mengandung jamak pemaknaan. Karenannya ia tak bisa ditempatkan pada kapling kategoris interpretasi. Pada kesempatan ini, Jurnal Mahasiswa KACAMATA Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada mengundang Anda untuk menguntai gagasan dari sengkarut kematian melalui karya tulis.

TEMA: KEMATIAN

Tema Pilihan*:
1. Harakiri: antara Mempertahankan dan Mengakhiri Eksistensi
2. Ambivalensi Kematian: Akhir atau Perpindahan Konteks Kehidupan
3. Menuju Kematian Ideal
4. Meraih Solusi dengan Bunuh Diri: Sebuah Telaah Filosofis
5. Akhir Kehadiran Subjek
6. Upaya Mengakhiri Kedigdyaan Teks
7. Kematian Tuhan
8. Hak Menghadirkan Kematian: Silang Kuasa antara Tuhan dan Manusia

*Dibebaskan memakai perspektif filosof tertentu yang terkait

Syarat dan Prosedur Penulisan:
1. Penulis adalah Mahasiswa D3 atau S1 segala disiplin ilmu
2. Gagasan tulisan hasil telaah pribadi dan belum pernah dipublikasikan
3. Memakai gaya bahasa renyah, tanpa lepas dari EYD
4. Menggunakan penulisan ilmiah, acuan dan keterangan tambahan memakai endnote (lengkap)
5. Panjang tulisan 14-17 halaman kertas A4 spasi 1.5, semua marin 3 cm. dan front Times New Roman (12)
6. Menyertakan identitas lengkap meliputi: nama, jurusan asal PT, alamat, nomor telp/hp dan email, foto close up, dan data diri yang ditulis secara naratif
7. Dikrim melalui email ke: kacamata@filsafat.ugm.ac.id
8. Batas waktu pengiriman naskah tanggal 13 Juli 2008
9. Tim Editor Jurnal Kacamata berhak menyunting tanpa mengubah gagasan
10. Segala plagiarisme menyebabkan diskualifikasi

Alamat Redaksi:
Fakultas Filsafat Jalan Olah Raga Bulaksumur Yogyakarta 55281
Contacs: 08562924786-08564007416 Iklan/distribusi: 081326647850 (Haqi)
Home: www.jurnalmahasiswa.filsaat.ugm.ac.id
Email: kacamata@filsafat.ugm.ac.id

INFO SELENGKAPNYA Klik: www.mcnadjib.wordpress.com

Butuh waktu yang panjang untuk menyelesaikannya, referensi yang benar-benar relevan, atau mungkin sedikit penelitian kualitatif. Bagiku ini ujian besar dalam proses belajar menulis. Mudah-mudahan saja berjalan lancar dan hasilnya jadi dan memuaskan. Cukup sudah beretorika, saatnya berkata melalui karya.

Lalu alasan berpikir tentang rencana kepulangan ini adalah seperti pengalaman yang sudah-sudah saat berkesempatan pulang pada masa liburan, aku juga pulang saat lebaran, Jarak waktunya kadang-kadang dekat sekali. Saatnya untuk berani memilih pulang dengan waktu yang tepat, jangan terjebak terlalu dalam pada kemelankonisan. Ya begitulah akhirnya tak pulang pada liburan semester ini.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, terheran-heran kenapa buat pulang saja susah. Pulang ya tinggal pulang tak usah banyak pertimbangan. Bagiku tidak tentang itu, aku hanya sedikit menampilkan sisi yang berbeda dengan dimensi yang jauh dari sudut pandang biasa ku.
Pulang tak hanya membawa badan dan barang, pulang juga membawa jiwa. Jiwa yang siap untuk pulang, siap dan tidak kaget melihat perubahan. Tidak canggung, bahkan tidak terkejut seperti yang pernah dibayangkan sebelumnya.
Pulang membawa beban, meninggalkan banyak cerita.
Read More......

Surat

Assalamualaikum Ayahnda dan Ibunda...

Bagaimana ananda akan memulai mengatakan sesuatau yang sebenarnya tak dapat ananda ungkapkan. Tapi ananda tak akan menjadi berani jika tak mengatakannya kepada ayahnda dan ibunda. Ananda belajar menjadi orang yang berani hingga jauh diri ini dari ayahnda dan ibunda. Tak lagi bisa ayahnda dan ibunda amati setiap saat, tak dalam pengawasan mata, tak juga dalam nasihat ayahnda dan ibunda langsung.

Sejauh waktu ananda berjauhan dari ayahnda dan ibunda, tak sedikit yang ananda temui dalam hidup ini. Berbagai macam ilmu pngetahuan menyerang ananda bertubi-tubi. Hingga tak terelakkan olehnya, bukannya ananda mengelak bukannya anda kenyang dengan semua yang ananda dapat rasai itu, malah ananda semakin lapar dan haus dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ananda sekarang tentu sama seperti ayahnda dan ibunda dulu, banyak bertemu macam manusia. Bertanya dan tak henti-hentinya ananda berbincang dengan sekian ragam manusia itu ayah bunda. Banyak yang ananda ketahui jika sebelumnya tak ananda ketahui, banyak hal yang ananda terima dan ananda anggap semua itu ilmu pengetahuan ayah bunda. Sekolah formal ananda masih seperti yang ananda niatkan dulu sebelum ananda menjejakkan kaki di tanah jawa ini. Tak ada yang kurang tak ada yang tak berkembang dalam diri ananda ini, jiwa dan raga. Tak perlu ayahnda dan ibunda cemaskan. Dalam hal ini ananda masih berada di jalan yang sama ketika ayahnda dan ibunda melepaskan ananda dulu.


Tak terbersit sedikitpun dalam hati ini untuk memperlama dan mempersulit masa selesai sekolah ananda. Malah begitu keras keinginan untuk segera menyandang gelar sarjana, dan lepas dari kesusahan ayahnda dan ibunda dalam membiayai sekolah ananda. Sesegera mungkin ada pikiran untuk secepat mungkin berjalanlah waktu sekencang mungkin. Hingga ananda sudah berpenghasilan sendiri. Berniat ananda untuk menyekolahkan adinda, bungsu ayahnda dan ibunda. Setidaknya meringankan beban ayah dan bunda. Ananda kadang merasa malu juga pada diri ini, di usia yang tak bisa dibilang kanak-kanak ini, ananda masih begantung pada ayahnda dan ibunda seutuhnya. Tak mengurangi beban, malah ananda merasakan beban ayah bunda semakin berat. Tapi ayahnda dan ibunda selalu menjawab 'itu sudah kewajiban kami, tak perlu dipikirkan'. Begitu mulianya ayahnda dan ibunda. Ananda langsung nelangsa mendengarnya dan yang tersisa hanya keinginan untuk membalas dan tak menyiakan kasih sayang ayah bunda.

Sekarang ayah bunda. Belum sempat ananda mengurangi beban ayah bunda, belum sedikitpun menghadirkan kebanggaan dalam diri ayah bunda. Ananda yang hina ini, malah melawan kepercayaan ayah bunda. Ananda menghadirkan sesuatu yang tak pantas ayah dan bunda terima. Ananda hina ayah bunda.
Ananda menyakiti hati, harga diri ayah bunda.
Kabar yang telah datang pada ayah bunda ini tentu sangat tak dapat ananda bayangkan bagaimana perasaan ayah dan bunda.

Dalam kesempatan ini, ananda mohon izin secara tulisan ini pada ayah bunda untuk menikah. Ananda tak dapat lagi bertahan untuk selalu terus begini. Sudah saat yang tepat ananda rasa jika ananda punya keinginan ini. Mungkin bagi ayah bunda serasa tergesa-gesa, tapi tidak bagi ananda, ayah bunda. Mungkin yang ayah bunda bayangkan bagaimana kehidupan ananda ke depan. Ayah bunda tak perlu khawatir, karena ananda siap menjalaninya apapun hambatan dan halangannya. Ananda siap karena yakin dengan apa yang ananda pilih, apa yang ananda kehendaki.
Apakah ananda anak yang tak berbakti pada orang tua, ayah bunda? Ananda menghancurkan harapan ayah bunda? Tapi apa yang ananda hancurkan harapan ayah bunda, ananda tetap menjalani sekolah, dan terus akan menyelesaikannya, walaupun seandainya ini terwujud, sekolah bukan satu-satunya yang ananda pikirkan. Ananda juga harus punya penghasilan untuk menghidupi keluarga ananda. Ananda siap untuk itu ayah bunda.
Sekiranya sekarang ananda mohon kerelaan dan pikiran yang matang dari ayah bunda, dan mudah-mudahan memberikan keputusan yang sebaik-baiknya.

Tulisan ini hanya menjadi penghantar kepada ayah bunda, secepatnya ananda akan pulang. Agar ananda, ayah dan bunda dapat membicarakan ini secara lisan. Karena dengan tatap muka, ada kejelasan yang bisa diselesaikan.

Sedikit ananda perkenalkan gadis yang akan menjadi teman hidup ananda. Namanya A, seorang gadis jawa ayah bunda. Orang tuanya tinggal di S. Bersekolah juga di Y. Umurnya dua tahun di bawah ananda. Mudah-mudahan dengan ridho dari ayah bunda bisa menjadi menantu yang baik. Dari kita berdua tak ada lagi yang tertinggal, semuanya telah kami pertibangkan baik buruknya. Ke orangtuanya pun ananda telah mengungkapkan ini.

Sembah hormat ananda
Read More......

Kamis, 29 Mei 2008

Harga Sebuah Eksistensi

Proses perjalanan dalam hari-hari terakhir kepengurusan Forkommi (Forum komunikasi mahasiswa minang) UGMtahun 2007/2008. Aku melihat ada 3 fase, yang pertama konsolidasi anggota, suksesi kepemimpinan dan musyawarah besar. Aku menyebutnya seperti itu, nama acara jelasnya aku tak tahu. Kira-kira aku rasakan begitu.

1. Konsolidasi yang coba digalang beberapa senior, pengurus 2007/2008, dan individu yang peduli pada institusi ini. Aku rasa semua orang peduli terhadap Forkommi, tingkat kepeduliannya saja yang membedakan. Aku tak habis pikir ketika Pak Wo memaksa dan sangat mengharapkan kehadiran ku dalam pertemuan yang direncanakan tersebut. Untuk kali ini akan diadakan di kosanku. Kebetulan aku dan Pak Wo satu kos. Pak Wo menunjukkan tingkat kepedulian yang sangat akhir-akhir ini dari tindakan-tindakannya. Sejauh apa yang dia lakukan aku tak tahu. Hanya aku merasa Pak Wo bekerja keras agar semuanya lancar. Yang lain pun aku rasa begitu.

Dihadiri beberapa orang, pokok pertemuan diarahkan pada angkatan 2006 yang akan melanjutkan tongkat kepemimpinan Forkommi selanjutnya. Ada aku, Heru, Rian, Hendro dan satu perempuan yang aku lupa namanya. Lalu Arief, ketua yang masih menjabat sampai pembubaran saat Mubes. Da Ipam dan Da Tommi, dua ketua sebelum Arief. Ilham, Nia, Yogi dan Pak Wo. Dari penjelasan mereka, ini pertemuan yang terakhir setelah hari-hari sebelumnya diadakan di beberapa tempat dengan orang-orang yang berbeda. Pendahuluan sesaat yang mengingatkan semua akan fitrah Forkommi. Lalu permintaan mengemukakan pendapat, berupa apa yang dirasakan selama menjadi anggota forkommi lalu rekomendasi langkah selanjutnya; inti dari pertemuan ini. Semua di sini bicara sebatas sharing, bukan mencari benar salah, menilai suka atau tidaksuka. Hal penting lainnya adalah pernyataan kesediaan angkatan 2006 untuk memegang, melanjutkan dan mengembangkan perjalanan Forkommi selanjutnya. Lama kita bicara, ngobrol dan bertukar pikiran. Walaupun begitu dari pertemuan yang sangat kekeuargaan ini, aspek-aspek yang ingin dicapai telah terangkum semua.

2. Suksesi kepemimpinan. Aku tak tahu kalau hanya ada aku sendiri dalam pertemuan kali ini. Aku berhadapan dengan Da Roni, Arief, Nia, Lola dan Pak Wo. Lagi-lagi pak Wo sangat mengharapkan kesediaan waktuku untuk menghadiri pertemuan ini. Kerja keras dan keinginan Pak Wo sangat jelas tergambar dari mukanya. Dedikasi yang patut diancungi jempol, yang lain juga. Terjawab keheranana-keherananku tentang tingkah Pak Wo. Setelah menikmati waktu kekosongan dari aktivitas organisasi di kampus, benar-benar hanya fokus kuliah. Pak Wo mulai menapaki jalan demi membawa Forkommi bangkit dari 'keterpurukan' ini. Pak Wo tak ingin menyesal untuk kedua kali, setelah penyesalan pertama kali dulu. Setahun yang lewat ketika Mubes Forkommi Pak Wo tak mengambil peran dalam kepengurusan. Pak Wo punya kapasitas yang lebih dari cukup untuk memimpin Forkommi, tapi karena kekhawatiran fokusnya terbagi dengan organisasi lain. Pak Wo menampik jalan itu. Mungkin aku agak salah menggunakan kata menyesal, tapi mau pakai kata apa lagi? Sekarang Pak Wo tak mau membuang kesempatan ini, dan aku lihat keseriusan Pak Wo dan yang lainnya untuk mengayomi dan bersama-sama melangkah dengan yang merasa Forkommi sesuatu yang harus diperjuangkan demi pencapaian yang lebih baik. Membuat eksistensi yang lebih vulgar, yang lebih menderapkan langkah.
Setelah pendahuluan, lalu masuk ke pokok persoalan. Terjadilah lemparan-lemparan pernyataan, saran dan dialektika pembicaraan antara aku dan steering committe. Semuanya masih dalam batasan Sharing. Tak ada unsur-unsur otoritas, perdebatan yang tajam. Pada khirnya di waktu lebih dari sejam aku menolak untuk masuk dalam bursa calon ketua Forkommi.

3. Musyawarah Besar XII Forkommi UGM, Minggu 18 Mei 2008, di Asrama Putri Bundo Kanduang JL. Bintaran Tengah No. 7 Yogyakarta.
Pagi itu acara yang rencana akan di selenggarakan jam 8, malah molor hingga jam 10. Peserta Mubes pun tak bisa dibilang banyak. Hingga saat Maghrib aku di sana peserta sudah lumayan banyak. Sidang Pendahuluan oleh badan pekerja Mubes, membahas berupa rancangan Tata Tertib Mubes XII. Dilanjutkan dengan pemilihan pimpinan sidang tetap.
Pimpinan sidang tetap terpilih melaksanakan sidang pleno. Di dalamnya bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap laporan pertanggung jawaban pengurus.Selesai dan sore waktu itu meninjau penyempurnaan AD/ART/GBHK. Sama seperti tahun lalu aku masuk komisi A yang membahas AD/ART. Komposisi tahun sekarang beda. Tahun lalu aku masih banyak mengikuti, sekarang sudah banyak berkata. Dari kontribusiku yang sedikit ini aku setidaknya bisa mengungkapkan sesuatu dalam forum kecil ini. Hanya sampai Maghrib aku di sana, itupun pembahasan AD/ART kepada forum sidang belum selesai.
Menurut cerita Pak Wo, pembahasan AD/ART berjalan lebih lama dar yang lainnya. Andi terpilih menjadi ketua Forkommi tahun 2008/2009. Lalu pembahasan yang sama dengan tahun lalu juga kembali diungkapkan tahun ini lagi. Tentang perlu tidaknya diadakan posisi Sekjen dalam struktur kepengurusan Forkommi. Perdebatan yang panjang, akhirnya memutuskan untuk melegalkan posisi Sekjen. Begitulah.

Banyak atau tidak yang dapat dilaksanakan oleh kepengurusan Forkommi tahun lalu dan tahun ini, semua tergantung pada kontribusi bersama. Tak dapat diindahkan juga kalau organisasi ini menempatkan dua macam dalam perjalanannya. Menjadikannya sebagai organisasi sebagai konseptor dan eksekutor atau menjadikannya sebagai keluarga yang berdasar pada aspek kekeluargaan.
Entah seperti apa ke depan, aku belum dapat memutuskan aku akan bagaimana di dalamnya. Aku akan berbuat sebisa apa yang akan aku lakukan. Mulai dari bagaimana memahami posisi dan tindakan aplikasi nyata.
Semua tentu berpengharapan akan melakukan yang terbaik. Ini akan menjadi baik, ini akan menjadi kebanggaan, ini akan menjadi keluarga.
Read More......

Sabtu, 24 Mei 2008

TINJAUAN HERMENEUTIKA MARTIN HEIDEGGER TERHADAP TEKS ANTI-KRIST FRIEDRICH NIETZSCHE


Hal pertama yang awal-awal dipahami adalah mengerti dengan baik tentang fenomenologi Heidegger. Hal ini penting karena menjadi penuntun untuk memahami bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan diri. Heidegger sendiri memberikan kritik atas Rene Decartes yang menemukan cogito dan mempostulatkan cogito ergo sum tapi tak pernah mempertanyakan sum (ada) itu sendiri. Hal ini melatarbelakangi Heidegger menyatakan bahwa bukan kesadaran yang menentukan Ada melainkan Ada yang menetukan kesadaran.

Fenomenologi Heidegger itu sendiri adalah; kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih sadar sebagai sesuatu (fokus pada subjek bukan objek). Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Fenomenologi Heidegger lebih bersifat ontologis karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Lalu prinsip fenomenologi selanjutnya adalah fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia.

Dalam penjabaran tentang pembedaan ontologis (ontologishe differenz), ada 2 hal yaitu antara Sein dan Seinde, Ada dan Mengada. Untuk memahami Ada kita harus memulai dari Mengada yang bisa mempertanyakan Ada. Coba kita lihat dalam teks Anti-Krist nya Nietzsche.



Apakah baik itu?- Semua yang meninggikan kekuatan, kehendak berkuasa, kekuasaan itu sendiri dalam manusia.

Apakah buruk itu?- Semua yang berasal dari kelemahan.

Apakah kebahagiaan itu?-Perasaan bahwa kekuasaan meningkat- bahwa sebuah perlawanan telah diatasi.

Bukan kepuasan diri, melainkan lebih banyak kekuasaan; bukan perdamaian sama sekali, melainkan perang; bukan kebajikan, melainkan keterampilan (kebajikan dalam gaya Renaisans, virtu, kebajikan tanpa asam moralik).

Yang lemah dan penyakitan akan musnah: asas pertama filantropi kita. Dan orang harus membatu mereka menjadi musnah.

Apakah yang lebih merugikan ketimbang suatu kejahatan?- Simpati aktif untuk yang lemah dan penyakitan-Kristen.

Pembedaan ontologis yang membawa kepada pemisahan antara Ada dan Mengada coba ditelusuri dengan kesadaran akan sesuatu yang membuat kefokusan sendiri pada subjek bukan pada objek. Nietzsche telah memaparkan kenyataan berupa konteks-konteks Ada. Ini mengacu pada paparan berupa pertanyaan-pertanyaan seperti apakah baik itu, buruk, kebahagiaan. Nietzsche langsung mengkaitkan dengan jawaban yang berupa konteks Mengada. Konkritnya baik (sebagai ada) lalu semua yang meninggikan kekuatan, kehendak berkuasa, kekuasaan itu sendiri dalam manusia (sebagai mengada). Untuk memahami Ada, kita harus memulai dari Mengapa yang bisa mempertanyakan Ada langsung bisa terjawab dari contoh konkrit di atas.

Hal ini juga menggambarkan dan menjelaskan tentang ‘tidak semua Mengada bisa bertanya tentang Ada, yang bisa melakukan itu hanyalah Dasein (Ada-di-sana)’. Ada-di-sana untuk menujukkan ciri khas kemewaktuan dan keterlemparan manusia atau faksilitas. Perasaan bahwa kekuatan meningkat-bahwa sebuah perlawanan telah diatasi. Bukan kepuasan diri, melainkan lebih banyak kekuasaan; bukan perdamaian sama sekali, melainkan perang; bukan kebajikan, melainkan keterampilan (kebajikan dalam gaya Renaisans, virtu, kebajikan tanpa asam moralik) merupakan Dasein yang bisa menanyakan tentang Ada yaitu suatu kebahagiaan, apa kebahagiaan itu? Dasein di atas mampu melakukannya karena memenuhi faktor memiliki hubungan dengan Adanya, yakni terbuka tehadap penyingkapan Ada.

Tak salah juga kalau manusia adalah satu-satunya wadah bagi penyingkapan Sang Ada. Yang menyebabkan manusia memiliki potensi untuk mempertanyakan (interpretasi) keberadaannya, sehingga membuka diri terhadap realitas. Manusia adalah seorang pembawa pesan, pengungkap keberadaan, yang menjadi media penghubung jurang antara Ada yang tersembunyi dan yang terungkap; antara ketidakberadaan dan keberadaan.

Nietzsche yang dengan vitalismenya ini tempatnya jauh daripada agam kristen dan komunisme. Ia berkembang dalam suatu pergumulan yang berat dengan dirinya sendiri dan dunia ini. Baginya agama kristen adalah lambang pemutarbalikkan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yang alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yang nafsani. Pengertian “Allah” agama kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah anak-anak piatu dan janda-janda, Allah orang-orang sakit. Allah dipandang sebagai roh yang bertentangan sekali dengan hdup ini. Jiwa kristiani adalah jiwa yang tidak memberi penguasaan dan kebangsawanan.

Suatu penelahaan kritis atas konsep Kristen mengenai Tuhan mengundang simpulan yang sama. –Suatu bangsa yang masih mempercayai dirinya jiga masih memiliki Tuhannya sendiri. Dalam diri Tuhan ini bangsa itu menghargai kondisi-kondisi yang telah membuat sejahtera, kebajikan-kebajikannya-bangsa itu memproyeksikan kegembiraan atas keadaan dirinya, perasaan berkuasanya kepada suatu pendirian yang bisa disebut terima kasih. Prastruktur verstehen yang pertama yaitu Vorhabe; sesuatu yang sudah dipunya sebelumnya tercakup di atas.

Lalu Vorsicht; sesuatu yang sudah dilihat sebelumnya. Kristen berdiri bertentangan dengan semua kesehatan intelektual. Maksudnya apa? Ia (mengacu pada intelektual) hanya bisa menggunakan pikiran busuk sebagai pikiran Kristen, ia memihak kepada segala yang bodoh, ia menyatakan kutukan terhadap “roh”, terhadap keunggulan jiwa yang sehat. Karena sakit masuk dalam esensi Kristen, maka kondisi Kristen tipikal, yaitu “iman”, harus merupakan suatu bentuk kesakitan, setiap jalan yang langsung, jujur, saintifik menuju pengetahuan harus ditolak oleh gereja, sebagai jalan yang terlarang.

Nietzsche melanjutkan lebih jauh pada perbandingan antara Kristen dan Buddha. Ia mulai menapaki dan dapat ditangkap ada unsur Vorgriff; sesuatu yang sudah ditangkap sebelumnya. Bagi Nietzsche Kristen dan Buddha sama-sama agama nihilistik, sama-sama agama dekadensi tetapi berbeda dengan sangat menarik. Nietzsche mampu menghadirkan dan mengkomparasikannya. Hingga membawa kepada pemahaman yang dapat dipahami sebagai berikut. Buddha seratus kali lebih realistik ketimbang Kristen. Buddha memiliki komposisi yang terdiri dari warisan suatu penelahaan yang dingin atas berbagai masalah. Agama ini datang setelah suatu gerakan filosofis. Yang berlangsung ratusan tahun.

Ini kemudian menjadi sangat menarik. Pendapat Nietzsche: Buddhisme adalah satu-satunya agama yang benar-benar positivistik dalam sejarah bahkan dalam epistemologinya (suatu fenomenalisme kaku). Agama ini tidak lagi bicara mengenai “perjuangan melawan dosa” melainkan, dan ini sesuai dengan aktualitas, “perjuangan melawan penderitaan”. Yang membedakannya dengan Kristen adalah meninggalkan konsep-konsep moral yang menipu diri itu. Agama ini berada, dalam bahasa Nietzsche, di seberang baik dan jahat. Dua fakta psikologis yang mendasari dan yang menjadi tujuan adalah:

Pertama, suatu keterangsangan sensibilitas yang berlebihan yang mengekspresikan diri sebagai kemampuan tinggi untuk merasakan sakit, Kemudian suatu kelebihan intelektualitas, suatu kesibukan yang terlalu besar dengan konsep-konsep dan prosedur-prosedur logis di bawah mana instink personal telah dikalahkan oleh demi kemenangan yang “impersonal”.

Prakondisi untuk Buddhisme adalah iklim yang lunak, adat sangat halus dan liberal, tanpa militerisme; dan dalam klas-klas tinggi dan terpelajarlah gerakan ini memiliki lahannya. Tujuan tertingginya adalah keceriaan, kesunyian, tidak adanya nafsu dan tujuan ini tercapai. Buddhisme bukanlah agama tempat orang mencita-citakan kesempuan semata.

Sedangkan dalam Kristen instink-instink dari mereka yang dikalahkan dan ditindas maju ke muka: adalah klas-klas terendah yang mencari penyelamatan mereka dalam agama ini. Di sini bisnis kasuistik dosa, kritik diri, pengadilan-nurani dipraktekkan sebagai suatu spesifik melawan kebosanan; disini suatu sikap emosional terhadap satu kekuasaan, disebut ‘Tuhan’, selalu dihidup-hidupkan (melalui sembahyangan); disini hal-hal tertinggi dianggap tidak bisa dicapai, pahala, “berkat”. Disini juga tidak terdapat keterbukaan; ceruk di sudut, kamar gelap itulah Kristen. Disini tubuh itu dihina kesehatan ditolak sebagai sensualitas.

Artikulasi eksistensial pemahaman menjadikan bahasa sebagai alat pengungkapan Ada kepada pengertian Kristen yang lainnya. Kristen: kebencian terhadap mereka yang berifikir beda, kehendak untuk menindas. Kristen: permusuhan maut terhadap majikan-majikan di dunia, terhadap “ningrat” dan pada waktu yang sama kompetisi rahasia yang tertutup (orang membiarkan mereka memiliki “tubuh”, sedangkan dia hanya menginginkan “jiwa”. Kebencian terhadap pikiran, kebanggaan, keberanian, kebebasan, kemerdekaan pikiran, itu juga Kristen. Kebencian terhadap kesenangan indera-indera, terhadap kesenangan pada umumnya, itulah Kristen.

Proses Denken (berfikir) dan mencoba menelaah dialektika Nietzsche yang pada akhirnya mengutuk Kristianitas. Kristen adalah bentuk kerusakan yang paling ekstrim yang bisa dibayangkan, ia memiliki kehendak untuk melakukan kerusakan yang paling tinggi yang bisa dibayangkan. Gereja Kristen tidak meninggalkan sedikit pun yang tidak disentuh oleh kekejiannya. Ia telah membuat setiap nilai menjadi non nilai, setiap kebenaran dusta, setiap jenis integritas kejahatan jiwa.

Pemahaman-pemahaman Nietzsche membuat proses interpretasi tidak lepas dari relasi Denken dan sein-nya Heidegger. Nietzsche dengan kekayaan wawasan psikologisnya memberikan suatu paduan dengan menunjukkan makna dari konsep-konsep kuncinya “kehendak berkuasa” dan “sublimasi”. Pemusnahan sensualitas yang oleh Nietzsche dikatakan merupakan praktek gereja Kristen itu bertentangan dengan “Vergeistigung”nya, menjadikannya “spiritual”.


Read More......

Rabu, 21 Mei 2008

Wanna be

Udara kota semakin panas. Siang ini pun begitu, panasnya minta ampun. Kemaren sudah panas, sekarang masih. Sampai kapan akan panas terus?
Kemaren Jumat, sore ke pantai. Panas tapi masih dinaungi mendung. Siklus paling panas sepertinya saat tengah hari. Jam 11 lewat sudah mulai. Jam 12 puncak sekali kepanasan itu. Jam 1 masih belum-belum hilang, panas sekali.

Kita masih baik-baik saja, setidaknya menurutku. Kita semakin kuat merasakan semuanya. Semakin maju, naik tingkat.

Beberapa hal yang akan aku lakukan adalah:
- Benar-benar kuliah, selama ini sudah kuliah yang benar. Tak ada masalah. Aku hanya ingin lebih memahami lagi. Di kampus tepatnya di perpustakaan.
Cara-cara yang harus di coba, mencari referensi sebanyak-banyaknya. Banyak tapi ngambang percuma saja. Setidaknya lebih fokus pada pokok pembahasan. Sedikit radikal tidak masalah. Referensi biasanya mengacu pada buku. Satu tantangan jika berhadapan dengan teks Inggris. Itu agak susah, tapi bakal terus mencoba.
Lalu banyak-banyak bertanya, muaranya terjadi diskusi. Ini tidak lebih dari upaya pencapaian distraksi.
Pengertiannya di dalam keinginan ini adalah benar-benar memahami apa itu liberalisme, kapitalisme, atau mungkin komunisme. Selama ini mungkin hanya pembicaraan, pemikiran-pemikiran, pernyataan yang dangkal. Hanya berputar-putar di permukaan. Untuk selanjutnya niat suci ini benar-benar bisa dilaksanakan. Mulai memahami hingga hakikat, bicara tentang esensi dan substansi. Buku banyak di perpustakaan, koneksi internet sebegitu lancarnya. Tinggal kemauan yang lebih keras. Struktualisme, Posmodernisme. Pemahaman tentang ideologi dan pancasila juga sangat penting untuk dimasukkan. Malu saja kalau kuliah di filsafat tak mengerti, tak tahu apa-apa. Ya...filsafat itu ya tahu apa-apa.

- Benar-benar ada aplikasi menulis. Sudah saatnya tulisan dimuat di koran, di jurnal atau di manapun yang bisa dijadikan sumber informasi orang-orang. Selama ini yang mungkin kurang adalah keberanian. Untuk apa takut? Kalau salah, kalau belum bermakna ya ini yang namanya belajar. Belajar tak mengenal takut untuk mencoba. Mulai dengan tanggapan peristiwa aktual, lalu persepi mendalam terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Lahan politik praktis juga patut untuk di coba. Dasar-dasar politik dan hukum normatif sudah pernah belajar. Filsafat Politik dan Filsafat Hukum banyak dibahas pemikiran-pemukiran yang bisa dipakai. Kenapa tak coba diaplikasikan apa yang didapat? Pemilu 2009 banyak yang bisa disoroti. Cobalah! Koran penting untuk dibaca. Selalulah baca koran. Hindari nonton sinetron dan tayangan yang tak berguna di TV. Pokoknya harus menulis! Masalah eksis itu nanti, yang penting berkarya dulu. Sudah cukup menulis untuk diri sendiri. Saatnya menulis untuk orang lain.

Dua hal yang di atas merupakan bagian penting dalam perjalanan hidup. Untuk melakukan perubahan. Bergerak dari yang ada sekarang. Ya tunggu saja aplikasinya.

13 Manifesto Slankisme:
kita harus
1. Berjiwa kritis
2. Berjiwa sosial
3. Penuh solidaritas
4. Saling setia
5. Selalu merdeka
6. Hidup sederhana
7. Mencintai alam
8. Manusiawi
9. Berani untuk beda
10. Menjunjung persahabatan
11. Punya angan yang tinggi
12. Menjadi diri sendiri
13. Membuka otak dan hati kita karena kesempurnaan hanya punyanya tuhan
Read More......

Sabtu, 17 Mei 2008

Semarang Jauh

Selang 4 hari setelah "bermain-main" di lokasi penambangan pasir di kali Gendol, Merapi. Tiba-tiba aku harus ke Semarang. Perjalanan waktu yang membawa ke sana. Kesempatan pertama ini aku tak sendirian, bersama Eta.

Jumat, 8 Mei. Mandi berkali-kali memberi inspirasi. Kadang terpikir hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ada-ada saja ide-ide baru yang muncul, terkadang menemukan realitas. Bukan karena hal-hal di atas, aku mengajak Eta ke Semarang menjelang sore itu. Aku harus mengikuti kuliah tambahan dulu jam 3, kenapa harus ada kuliah tambahan? Kurang kerjaan!
Aku sudah gelisah duluan memikirkan jalan ke Semarang. Rencananya setelah Eta menyetujui kepergian ini, kita akan pakai motornya (jelas motorku tak dapat diandalkan). Belum semudah itu, kesulitannya kita harus ke Solo dulu ngambil STNK motor Eta. Kesepakatan terakhir sebelum aku meninggalkannya sejenak demi kuliah yang membosankan dan tak kuperhatikan sama sekali.

Pertanyaan-pertanyaan:
- Dari Solo bisa langsung ke Semarang, tak harus balik lagi ke Jogja?
- Kalau bisa, lebih jauh mana langsung dari Solo atau balik lagi ke Jogja?


Aku tanyakan ke salah seorang teman, jawabannya: dari Solo bisa langsung ke Semarang tanpa harus balik lagi ke Jogja. Mengenai jauhnya jarak, atau lamanya waktu tak ada jawaban pasti. Jelasnya dia tak tahu. Dia malah bilang belum lama dia ke Malang, ada sekitar 10 jam.

Aku mengakhiri sendiri perkuliahan sore itu, waktu menunjukkan pukul setengah lima ketika aku mohon diri untuk diperbolehkan keluar duluan. Eta sudah siap ketika aku berada di rumahnya lagi. Memulai perjalanan Jogja-Solo (Sukaharjo) jam 6. Setelah beres-beres di kostku, mengambil pakaian secukupnya dan perlengkapan. Setelah beli obat Flu Eta.Setelah beli jajanan pasar karena aku sangat lapar, setelah mengisi bensin. Jam 7 lewat sedikit sampai di rumah Eta. Perbincangan dirinya dengan orang tuanya yang menemani penungguanku. Satu jam lewat untuk interaksi antara orang tua dan anaknya yang kuliah di kota berbeda cukup sudah. Meninggalkan rumah Eta, kita sudah mengantongi STNK, dan sobekan peta dari atlas. Peta Jawa Tengah. Petunujuk peta, untuk mencapai Semarang dari Solo, harus melewati Boyolali, Salatiga.

Makan di kawasan Solo baru sekalian mencari informasi-informasi. Penting: ke Semarang kira-kira 2 jam dari Solo. Tak begitu lama. Dalam bayanganku, sekitar 3 jam lebih, melihat jarak di peta yang begitu jauh. Tak hanya sekali bertanya, tapi berkali-kali dan jawabannya sama. Informasi teman Eta, smsnya ke Eta ketika sedang jalan dari Jogja ke Solo. Mas-mas penjual rokok, bapak-bapak jualan apa gitu, mas-mas tempat kita makan. Dan tak lupa untuk mbak dan mas yang tak dikenal yang selalu kutanya ketika berhenti di persimpangan berhias lampu merah, kuning hijau.Sedikit jalan terang menuju Semarang.

Dingin makin lama makin menyergap kita berdua hingga menggigil. Merokok sebentar untuk menghilangkan kedinginan. Memasuki kota Salatiga kita berhenti sejenak. Perjalanan masih jauh, hingga akhirnya petunjuk jalan ke Semarang semakin dekat. Di depan hotel Plaza kita menginjakkkan kaki pertama kali di Semarang. Ink yang telah sedari tadi ku hubungi datang menjemput. Jadilah kita nginap di kos Ink malam itu.

Selama di Semarang tak banyak tempat-tempat wiasata yang kita kunjungi. Mutarin jalanan Semarang. Tahu universitas Dipenogoro. Kesimpulan sejauh yang aku rasakan, aku tak melihat atmosfer perkuliahan yang bagus. Mungkin karena hanya melihat di permukaan. Udaranya yang panas, khusus di tembalang makanannya kurang sangat memuaskan. Dan aku benar-benar merasa beda dengan Jogja, memang pantas Jogja dibilang kota pendidikan. Aku merasakannya saat itu. Akhirnya aku berkesempatan juga bertemu Katik, teman dari kecil hingga sekarang. Dia sedikit bercerita tentang problem-problemnya, ketidaknyamanannya kuliah di sini. Terus rencana mengulang SPMB lagi tahun ini. Targetnya UI. Butuh adaptasi panjang aku rasa untuk benar-benar cocok dan menikmati kehidupan di tempat yang berbeda. Masalah teman menjadi penting di sini, wajarlah dia baru setahun di Semarang. Awal-awal aku di Jogja aku juga merasa agak stres menjalani adaptasi itu. Terbayang kampung halaman yang jauh sekali. Tapi perjalanan waktu membuat diriku bisa menyatu dengan kehidupanku lagi. Aku kembali menjadi pemilik jiwa dan ragaku. Katik hanya butuh waktu sedikit lagi dan selalu belajar. Cari kegiatan yang positif dan jangan terlalu sok-sokan. Kalau niat hidup untuk terus belajar semuanya akan terasa ringan.
Lalu Suhan Jagara. Aku dan dia satu SMP, satu SMA. Kenal tapi tak begitu dekat. Banyak perkembangan dari dirinya. Bukan sekali ini saja aku dengar tentang dirinya. Dulu Ink dan Katik telah pernah cerita. Tapi sekarang aku melihatnya langsung. Dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro. Aktif di KAMMI atau HMI ya, vokal dan terkenal di kalangan kampus sebagai aktivis muda. Proyek, seminar dan pertemuan dengan orang-orang penting. Selain itu masih banyak yang bisa dibanggakan darinya. Berbeda saja jika mengingat masa SMA dulu, berkembang jauh. Ink dan Katik waktu awal cerita tentang Suhan dulu ya sama tidak menyangkanya.
Begitulah kehidupan kawan, seperti yang Eta bilang, perjalanan waktu bisa mengubah seseorang.

Malam minggu itu, aku dan Eta dibawa Ink menemui Suhan. Bertemu ketika dia sedang mengkoordinir rapat. Dia menyambutku, aku jadi terharu. Seperti biasa jika ada teman bertamu ke tempat kita, apalagi itu untuk pertama kalinya, ada hasrat untuk mengajak kota-kota. Dengan otoritasnya Suhan mengakhiri rapat, demi aku. Aku dan Eta diajak putar-putar, dan ditraktir karaoke-an. Suhan baru dapat proyek survey dari CSIS, lembaga kepunyaan Indra J. Piliang. Duitnya tak tanggung-tanggung. Ink yang diajak Suhan pun ketiban pulung. Ink berubah juga sekarang, dia ingin aktif di lembaga kemasyarakatan. Seharusnya Katik bisa meniru, kalau tidak akan stres selamanya.
Kita baru punya kesempatan banyak bicara saat makan di burjo. I love Jogja...kau masih menghadirkan tempat yang eksotis yang tak kutemui di kota lain, Semarang ini salah satunya. Burjo yang berbeda dengan burjo di Jogja, Suhan bilang burjo yang kita singgahi ini tempatnya kawula muda mangkal. Setelah dugem di lantai enam (Hugos maksudnya), para clubber menghabiskan malam panjangnya di sini. Apa? di tempat ini! Eta bilang saat dia burjo tiba-tiba dia kangen suasana kali Code. Walaupun tak sedikitpun suka tempat itu, tapi ke-eksotisannya yang membuat Jogja begitu indah. Yah begitulah..bisa dibayangkan.
Aku banyak bertanya pada Suhan. Mengenai pertemuannya dengan orang dan tokoh-tokoh yang dapat disebut punya nama di Indonesia, setidaknya para pengamat politik, ekonomi dan sebagainya atau aktivis yang sering masuk koran. Titik balik saat dia bisa memaknai dunianya sekarang, beranjak dari perbandingan jika dia masih di kampung, dia tak dapat membayangkan. Masih seperti dulu, tempat dan zaman serta rekonstruksi pemikiran yang masih feodal. Dia bicara menggebu-gebu, dia menguasai apa yang dia bicaraka. Dia tahu kapasitas dirinya. Menyadari dia akan lebih banyak berkembang ke depan. Jika tak hari sudah terlarut malam, percakapan ini tak akan habis. Aku melihat rona-rona kelelahan dari mata yang mengantuk itu. Aku tak akan memaksanya menemani ku dan Eta jalan-jalan melihat Semarang di malam minggu ini lagi. Dia masih beraktivitas besok. Salaman hangat untuk perpisahan sesaat ini. Aku mengundang dia ke Jogja membalas kunjunganku suatu waktu. Mudah-mudahan saja dia 'orang minang' berikutnya.

DP mall, Ciputra Mall, Lawang Sewu, kampus Undip. Beberapa tempat yang aku dan Eta kunjungi di Semarang. Banyak tempat yang belum sempat kita elaborasi lebih jauh. Karena ini bukan terakhir kali kita ke Semarang, suatu saat akan kembali lagi menyusuri jalanan berbukit-bukit ini. Jalan pulang lebih panjang dan memakan banyak waktu dibanding jalan pergi. Semarang-Ambarawa- Temangung (hanya lewat) -Magelang. Kita sempat menikmati srabi di daerah apalah, opak juga.

Magelang, menjadi tempat pemberhentian berikut. Tak tanggung-tanggung kita sembahyang di klenteng yang berposisi di kilometer 0. Akulturasi budaya, aku rasa. Pulang ke Jogja, sampai pas maghrib.

Untuk melakukan perjalanan yang jauh harus dilakukan persiapan yang jelas, pakaian atau perlengkapan lainnya. Uang jelas menjadi sesuatu yang harus ada. Jangan pas-pasan. Pelajari jalan dan tempat-tempat wisata.
Secara keseluruhan walaupun agak kacau, tapi perjalanan ke Semarang aku dan Eta ini cukup bagus. Setidaknya kita bisa belajar dari Semarang. Bandung, Jakarta, Malang, Surabaya, dan Bali masih menunggu kita Ta!
Read More......

Kamis, 15 Mei 2008

Kali Gendol

Beberapa perjalanan yang tak terangkum sekarang coba dingat dan disusun kembali

Lepas tengah malam setelah menunggu jam pemberangkatan itu sendiri, di kantor Himmah, sebuah media jurnalistik mahasiswa UII. Bersama Rie Salam mulai bergerak dari kos sebelum jam 11 tanggal 3Maret itu. Rencanannya kita akan bergerak mencari fokus bahasan pada penambang pasir. Lebih jelasnya, Rie diberi mandat untuk melakukan tugasnya sebagai jurnalis, dengan mencari berita tentang kaum perempuan (khusus kalangan orang tua/mbok-mbok). Kapasitasku disini hanya menemani, dan sekaligus mencoba belajar serta mencuri ilmu. Masuk ke perkancahan dunia jurnalistik riil. Format pencarian berita dan aktualisasinya tak begitu jelas. Dengan dasar aku tak mau mencampuri terlalu banyak. Disebabkan ketakutan aku akan merepotkan.
Daerah Muntilan menjadi tujuan perjalanan ini, pada perkembangan situasi tujuan berubah ke lereng gunung Merapi, kawasan Kaliadem. Pagi-pagi sekali, saat waktu belum menunjukkan pukul 3 kita sudah membelah jalan. Mereka-reka jarak hingga menyentuh tujuan. Kita terdampar di jalanan Kali Kuning yang dinginnya begitu menusuk, dengan rimbunnya pohon di kiri kanan. Di depan kabut menghadang dengan jelas, saat aku menoleh ke belakang, hanya kepekatan malam yang begitu gelap memancar dari mataku. Proses penyelamatan diri kita lakukan dengan mencari tempat persinggahan, hingga arah penunjuk jalan memberi tahu sesaat kita akan sampai di kawasan juru kunci gunung Merapi.

Ketika di sana kopi panas menjadi suatu kebutuhan yang sangat demi mengatasi kedinginan hati dan kebekuan pikiran ini. Sesekali Rie mencoba mengorek informasi sesuai kebutuhannya. Sebagai gambaran lokasi jelas yang akan dituju belum ada. Jadilah pagi itu kegiatan bertanya-tanya.
Sekonyong-konyongnya lewat di depan mataku, Mbah Maridjan. Bersebelahan dengan warung tempat kita duduk ternyata rumahnya Mbah Maridjan. Tak terpikirkan sebelumnya olehku kalau aku akan bertemu dengannya. Sebagai seorang pemuda nun jauh di sumatera yang bersekolah di Jogja, hal ini adalah suatu ketakjuban luar biasa. Faktor pertama aku tak pernah tertarik akan semua ini, maksudnya Maridjan. Kapasitas ataupun kepopulerannya. Lalu, aku merasakan ini adalah mozaik kehidupan yang akan menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup ini. Kedua faktor itu yang akhirnya menghadirkan unsur kejutan.
Di kaki gunung, aku tiba-tiba merasa kecil dan hina. Dekat sekali suara adzan menggema di telinga. Menyerukan waktu sesaat untuk hadir kehadirat kuasaNya. Spirit beribadah langsung menyergap sanubariku. Mengesampingkan, kekotoran dan kesucianku selama ini. Aku sudah cukup suci untuk menyembahNya? Itu menjadi pertanyaan yang akan selalu mengikuti jejak langkah ini. Tersadar akan rasa hina, jika aku tak shalat Subuh. Aku melangkahkan kaki ke masjid yang tak jauh dari rumah Maridjan dan warung itu. Kubiarkan Rie menunggu. Selesai prosesi ibadah ini, aku menyalami mbah Maridjan. Sesaat aku keluar masjid, memakai alas kaki lagi, mbah Maridjan mengeluarkan kata-kata padaku. Itu sudah cukup sudah.

Atas petunjuk seorang bapak ketika giliran Rie shalat, kita sampai di lokasi penambangan pasir. Banyak orang di sana, banyak truk. Lembah bebatuan, curam, jalan yang terjal. Tak lama aku memposisikan diri sebagai asisten Rie. Membawakan tas kamera, buku catatannya, mengikuti wawancara. Hingga akhirnya ku biarkan dia sendiri. Kehadiranku mungkin agak mengganggu. Aku tiduran di susunan batu-batu. Aku tertidur sesaat. Sehari semalam tanpa tidur. Bergelimang di lokasi ini, cukup lama, kantuk tak tertahankan lagi.
Setelah data-data dan foto-foto yang dikira Rie cukup, kita keluar dari kancah dunia pertambangan ini. Kondisi di sana memprihatinkan jika tak bisa dibilang menyedihkan. Roda perekonomian yang menjurus pada kebutuhan hidup terus berputar. Hidup harus terus berjalan. Pendidikan anak-anak tentu menjadi hal paling prioritas. Boleh mengenyampingkan perasaan sesaat. Orang tua pada dasarnya akan melakukan apapun demi anaknya.

Sesekali kita harus menempatkan diri sebagai orang tua. Punya keluarga, anak-anak sebagai tanggungan hidup. Perjalanan pulang ke kota, dipenuhi pikiran ini.
Pagi-pagi jam 9 itu aku dan Rie beristirahat sejenak di rumah Eta.
Read More......