Minggu, 25 Januari 2009

Dua Jam Yang Tak Terasa

Kursus berlangsung dari tanggal 7-16 Januari 2009 di kantor Pantau, Jl. Raya Kebayoran Lama No 18 CD Jakarta Selatan. Ada 6 hari pertemuan di kelas, yang masing-masing terdiri dari 2 sesi, jam 10 pagi sampai jam 12. Jeda satu jam, lalu dilanjutkan sesi ke dua jam 1 hingga jam 3 sore. Di setiap akhir pertemuan diberikan tugas yang akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya.

Janet Stelle, adalah instruktur yang akan memberikan materi tentang Jurnalisme Sastrawi (Litterary Journalism) di minggu pertama. Profesor dari George Washington University, spesialisasi sejarah media ini dijadwalkan Rabu hingga Jumat (7-9 Januari 2009). Untuk minggu kedua, diampu oleh Andreas Harsono. Dia wartawan Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalist dan mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Bukunya From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism tak lama lagi akan terbit. Pertemuan dengan Andreas berlangsung pada hari senin (12 januari), Rabu (14) dan berakhir Jumat ( 16).

Ada libur satu hari setiap pertemuan, tak sepadat Janet, yang tidak bisa terlalu lama di Indonesia. Karena harus segera balik ke Washington, Amerika. Saat kelas terakhir Janet hari jumat dia bergegas. Dengan menggunakan taksi, Janet ke bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Singapore. Menginap semalam di sana dan besoknya terbang selama 24 jam ke Amerika. Hari senin dia akan mengajar di kampus. Mobilitas yang tinggi!

Beberapa orang berkumpul di dalam sebuah ruangan. Kursi-kursi tersusun, membentuk huruf U. Ada satu meja dengan mawar merah di atasnya. Plakat yang bertuliskan Pantau, kajian media dan jurnalisme serta jam dinding segi empat tergantung di dinding. Nyaman sekali, suasana santai tercipta di antara percakapan.


Ini hari pertama, Andreas membuka perkenalan. Lalu Janet dan dilanjutkan masing-masing peserta. Nama lengkap dan panggilan serta motivasi mengikuti kursus. Peserta kursus Jurnalis Sastrawi angkatan ke 16 ini sebanyak 14 orang. Satu peserta dari Papua, Hans Gebze, lebih sering tidak hadir dalam rangkaian kursus. Adriani Salam Jaques Kusni (Studio Arsitektur A&A), jauh-jauh datang dari Makasar. Angga Haksoro Ardhi dari Voice of Human Rights News Centre. Ada beberapa orang yang berprofesi sebagai pengajar di universitas, Badrus Sholeh dosen Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah, Putri Suryandari dari Universitas Budi Luhur, berencana menulis buku tentang arsitektur, sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Yang ketiga Riris W.Widati dari UAI Jakarta, pernah bekerja sebagai wartawan antara lain di Sarina dan Jurnal Perempuan.

Lalu, ada yang bekerja di lembaga, komunitas atau institusi. Seperti Supriatna dari Arus Pelangi. Arus Pelangi adalah organisasi yang memberi perhatian kepada masalah LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseksual). Selanjutnya Titi Moektijasih (UN OCHA), Irma Dana (Klub Indonesia Hijau, Bogor), Ken Ken (Yayasan CDT 31), Syarifah Amelia ( Government Institution/Technical Cooperation) dan Fauzi Aunul (ICRAF, sebuah lembaga Agroforesty). Dua orang terakhir adalah Mukhti, wartawan majalah Otonomi dan saya, Alfian Syafril, mahasiswa.

Setelah perkenalan Andreas undur diri. Janet memulai kelas dengan penjelasan dan gambaran tentang jurnalisme sastrawi. Inti yang ingin disampaikan oleh apa yang disebut dengan jurnalisme adalah fakta. Tanpa fakta tidak bisa disebut jurnalisme. Secara umum jurnalisme sastrawi adalah fakta yang ditekankan dengan gaya bercerita yang berbeda. Ada hal yang lebih mendalam dan memikat yang ingin disampaikan oleh jurnalisme sastrawi ini. Perkawinan antara jurnalisme (fakta) dan sastra (fiksi). Ini menjadi kontradiktif, tapi pada dasarnya tetap fakta. Banyak hal yang disampaikan dan dibagi oleh Janet dalam 3 kali pertemuan. Mengenai sejarah narrative journalism, unsur-unsur jurnalisme, struktur dalam sebuah tulisan narasi hingga pemakaian kata “saya” dalam sebuah tulisan. Bahan-bahan berupa bacaan dari berbagai macam tulisan yang disiapkan panitia dalam sebuah paket juga memperkaya materi-materi di kelas.

Penugasan juga menjadi hal yang menarik. Tugas dibacakan oleh masing-masing peserta untuk kemudian dikomentari dan didiskusikan bersama. Dua tugas dengan Janet adalah “menulis tentang sebuah peristiwa yang disaksikan. Mulai dengan adegan tanpa penjelasan dengan topik apa saja yang bisa memikat pembaca untuk membaca narasi” dan “menulis narasi dengan gaya orang pertama (saya, aku, gua dan lainnya) untuk menggambarkan sebuah adegan”. Saya baru menyadari kalau dua tugas yang saya kerjakan belum memuaskan, terkadang tidak nyambung dengan perintah yang diminta. Begitu juga dengan tugas bersama Andreas minggu berikutnya.

Beberapa hal yang saya catat dari koreksi tugas ini adalah tentang detail, penambahan detail dan pengaturan yang lebih baik lagi, kalimat atau alineanya. Lalu menghilangkan dialog-dialog yang tidak perlu, pemakaian kata-kata yang berlebihan dan terkadang klise. Pemilihan kata yang akan digunakan dalam tulisan juga perlu diperhatikan, jika tidak akan ada bayak pemborosan kata. Tentang masalah fokus, menentukan struktur yang jelas dan benar sehingga tidak meloncat-loncat (cerita/alur). Tema yang menarik sehingga cerita tidak datar dan makna (meaning) yang ingin disampaikan dapat dimengerti oleh pembaca. Lalu untuk memperkuat makna, menurut Janet setiap penulis memerlukan sebuah engine (mesin).

Persoalan pemakaian kata “saya” atau menggunakan sudut pandang orang pertama dalam tulisan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Jika penulis (wartawan) tidak punya peran penting dalam liputan, tidak penting memasukkan kata “saya”. Lebih baik menggunakan sudut pandang orang ketiga. Bahwa diperlukan karakter yang kuat dalam sebuah tulisan. Ada tokoh utama yang menjadi karakter cerita, dan kalau bisa si tokoh adalah seorang yang aktraktif, terbuka dan komunikatif. Ungkapkan konflik dan di bagian akhir selesaikan dengan berbagai macam pilihan. Narrative Journalism seperti sebuah film, video yang bergerak, bukan picture yang hanya diam.

Hari terakhir Janet benar-benar telah kehabisan kata-kata bahasa Indonesianya. “Uff, bahasa Indonesia saya sudah habis”, ucapan Janet saat mengakhiri kelas.

Mengenai hal ini, saya pernah baca sebuah blog yang menceritakan kebiasaan Janet ini. Ini cara Janet menyelesaikan kelas kesimpulannya. Hari Jumat itu berbeda, di saat kelas akan berakhir mbak Fiqoh staf Pantau masuk membawa kue tar sambil menyanyikan lagu Happy Birhday. Sontak peserta kelas ikut bernyanyi, riuh!

Janet surprise dan terkaget-kaget, ”Is it June?”

Hohoho, terjadi kesalahan informasi tanggal kelahiran Janet. Juni bukan Januari. Nyanyian mulai melemah, perlahan hilang. Salah satu yang paling semangat adalah mas Fauzi (Aunul Fauzi). Dia menyanyikan lagu selamat ulang tahun lantang sekali. But party must go on, jika tidak ulang tahun, mumpung awal tahun sekalian pesta tahun baru. Atau pesta kecil perpisahan dengan Janet. Janet begitu terburu-buru, setelah foto bersama di lantai atas gedung Pantau dia langsung mengundurkan diri. Semua orang bersalaman dengan Janet.

Tiga hari pertama kursus telah lewat. Sabtu masih ada kelas tambahan dengan Endi M.Bayuni Chief Editor, The Jakarta Post. Sayang saya terlambat, sampai di kantor Pantau saat-saat akhir. Tidak banyak yang saya tangkap dari kelas ini.

Andreas menggunakan batik biru senin tanggal 12 Januari 2009. Kelas dimulai jam 10 tepat. Power point melalui proyektor telah siap. Dimulai dengan slide dengan pertanyaan “apa jawabannya?”, dari 7 pernyataan. Salah satunya adalah “benarkah di Indonesia makin Islamis dan suara-suara minoritas makin diabaikan”. Pagi itu kita membahas tentang “bias” dan dilanjutkan dengan pembahasan secara padat dan jelas tentang sembilan elemen jurnalisme. Materi ini disarikan dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme karangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

“Sekarang jadi 10 elemen, karena ada komentar dan masukan melalui internet dan lainnya”, kata Andreas

Elemen tambahan itu adalah Warga Punya Hak dan Kewajiban terhadap Berita. Satu hal yang selalu saya ingat dan jadi kata yang sangat penting bagi saya, Andreas bilang “Jika ingin menulis harus masuk ke hal yang paling fundamental, jangan terlena oleh perspektif.

Tidak cukup sekali Andreas mengingatkan tentang ini. Bahkan tugas yang saya buat, setelah koreksi masih banyak perspektif. Andreas lagi-lagi rewel tentang ini.

Dua jam pertama terasa cepat oleh Andreas. Saya pribadi menampung banyak informasi dan banyak kata-kata yang menginspirasi.

“Aan saja terkesima dengan Andreas”, kata Fahri kepada seorang teman ketika saya sudah di Jogja lagi.

Selesai makan siang dan istirahat kelas dilanjutkan dengan materi tentang tujuh pertimbangan narasi dan diskusi soal jurnalisme sastrawi. Lagi-lagi terasa cepat. Hingga diakhiri dengan tugas untuk pertemuan selanjutnya. Ada jeda sehari sebelum bertemu Andreas lagi.

Hari ke lima kursus atau pertemuan ke dua dengan Andreas Harsono di isi dengan membacakan tugas masing-masing. Beda-beda tema yang coba diungkapkan. Tugasnya membuat deskripsi. Jam ke dua Andreas membahas panjang lebar tentang “Hiroshima” karya John Hersey.

Kita berlatih wawancara secara langsung untuk menutup rangkaian Kursus Jurnalisme Sastrawi angkatan XVI ini. Membahas tentang sumber anonim dan mendiskusikan teknik interview. Sebelumnya diskusi tentang tulisan yang bertema sama tapi dengan gaya dan strktur berbeda. Temanya tentang Aceh, yang diambil dari tulisannya Chik Rini “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”, Andreas Harsono “Republik Indonesia Kilometer Nol” dan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah.

Suara Andreas berat, pelan bahkan tanpa tekanan. Mengalir lancar dan saya yakin ini akhir dari kursus kali ini. Andreas mengakhiri dengan indah. Saya dan yang lain bersemangat, Andreas begitu menginspirasi.

1 komentar:

Aunul Fauzi mengatakan...

aaaaaaaannnn .. kamu yaaa .. :))
teganya bilang aku yang nyanyi paling lantang ... he he he he ... aku blom sempat baca all your writing, tapi kayaknya harus nich .. bagus bagus ... ntar dech kalo lagi selo .. nich o tidur dulu :)