Rabu, 25 Februari 2009

Membaca atau Tidak

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Program Kreativitas Mahasiswa atau PKM. Dibedakan atas dua macam yaitu Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah yang disingkat PKM-AI. Yang kedua Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis atau PKM-GT. Ini merupakan ajang kompetisi penulisan ilmiah bagi mahasiswa Program Sarjana dan Diploma. Hasilnya adalah artikel dari hasil karya mahasiswa atau kelompok.

Rabu, 18 Februari 2008 saya dan beberapa mahasiswa dikumpulkan oleh pihak dekanat di ruang sidang 1 lantai 2 fakultas Filsafat. Najib Yuliantoro, Muhammmad Rifqi, Suluh P.W, Ahmad Baiqunni dan lainnya. Ada sekitar 23 mahasiswa dalam daftar hadir.

Wakil Dekan III, Dra. Sartini, M.Hum memprakarsai pertemuan ini. Hadir juga Syamsul Ma’arif S.Fil, dosen Metode Penelitian Sosial Humaniora dan Kosmologi. Beliau akan menjadi salah satu viewer atau dosen pembimbing. Dalam ketentuan surat yang dikirimkan oleh Direktur Kemahasiswaan, Universitas Gadjah Mada bernomor 154/Dir.MAWA/APK/2009 berisi undangan yang ditujukan kepada tiga pihak. Wakil Dekan yang membidangi Kemahasiswaan, Ketua GAMA Cendekia dan Ketua Unit Penalaran Indisipliner UGM.

Dilampirkan juga penjelasan tentang format dan struktur usulan PKM-karya tulis. Artikel Ilmiah ataupun Gagasan Tertulis. Banyak lingkup persyaratan, persyaratan administratif, penulisan, pengetikan. Di samping itu juga telah ditentukan format kulit muka, halaman pengesahan, stuktur tulisan beserta komponennya seperti judul, nama, abstrak dan sebagainya. Bagaimana menuliskan daftar pustaka juga ditentukan. Ternyata ada dua system, memakai sistem Harvard atau sistem Vancouver. Batas pengetikan juga telah ditetapkan aturannya, 4 cm samping kiri, 4 cm batas atas dan seterusnya. Jarak spasi antar Bab dab sub-bab, kalimat di bawahnya, kutipan, spasi antar alinea, penomoran halaman tak luput dari aturan.

Dalam lampiran sebanyak 18 halaman ini, dosen pembimbing mesti harus disertakan. Selain pak Arif di atas, kampus meminta kesediaan Drs. Achmad Charris Zubair. Di filsafat mengajar Etika, Teori Etika dan Bahasa Inggris Filsafat.

Selama lebih kurang satu setengah jam, wakil dekan III dan dua dosen pembimbing memberikan pengarahan. Kampus telat diberi tahu oleh pihak Universitas tentang surat ini. Jadi waktunya sangat mepet. Tanggal 18 Februari pihak dekanat mensosialisasikan dengan harapan mahasiswa mengerjakan semaksimal mungkin. Dan ditetapkan juga rencana 5 hari setelah itu, tepatnya Senin tanggal 23 Februari, telah dikumpulkan. Akan dikembalikan lagi setelah dibaca oleh dua dosen viewer, keesokan harinya. Mahasiswa mendapat cacatan dan memperbaiki menambah atau mengurangi hal yang dirasa perlu.

Setelah itu akan diberikan lagi kepada dosen viewer, dibaca dan dievaluasi dan dikembalikan lagi kepada mahasiswa. Jadi ada 2 kali proses pengeditan, sebelum hasil final diserahkan tanggal 2 Maret 2009. Pihak fakultas akan mengirimkan ke universitas hasil seleksi final. Semuanya harus terkumpul di universitas sebelum tanggal 10 Maret 2009.

Lima hari saya habiskan dengan mengumpulkan referensi. Saya menggunakan buku Imagined Community karangan Benedict Anderson sebagai litelatur utama. Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budihardjo juga saya pelajari. Tema besar penulisan saya untuk PKM-GT adalah tentang nasionalisme. Penjabarannya saya akan berfokus kepada konflik etnik dan kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. Aceh, Papua, Maluku dan sebagainya. Nasionalisme seperti apa yang dipakai Indonesia? Saya akan mencoba menarik garis merahnya.

Sampai malam sebelum tanggal 23 Februari, saya hanya mampu menyelesaikan bagian perumusan masalah di bab pendahuluan. 5 halaman! Terlalu lama di buku saya jadi keteteran di penulisan. Saya mengeluh dengan sempitnya waktu. Tapi ini bukan alasan yang bias diterima, pikir saya.

Tak apa, selesaikan seberapa bisa, lalu dikumpulkan guna dievaluasi.

Akhirnya senin, tanggal 23 itu saya kumpulkan ke ruangan dosen. Saya bertemu langsung dengan bapak Syamsul Ma’arif. Beliau menyuruh saya mengkopi 1 lagi untuk bapak Achmad Charris Zubair.

Dua jilid pendahuluan itu saya serahkan ke resepsionis di ruang dosen.

Tanggal 24 Februari, saya mendapat sms dari ibu Sartini. Beliau mengucapkan terima kasih atas keikutsertaan saya, dan mempersilahkan mengambil berkas yang telah dievaluasi dosen pembimbing ke kantor dekanat.

Siang itu sehabis kuliah jam 14.40 saya langsung ke dekanat. Dan diserahkan oleh personalia di sana.

Saya tak habis pikir, saat saya melihat kertas 5 halaman ditambah selembar permohonan maaf atas belum lengkapnya tulisan saya. Saya tak menemukan bagian mana yang dievaluasi. Bagian yang diterima bapak Syamsul Ma’arif jelas ada catatan di bagian belakang. Beberapa kalimat tentang masukan dan permintaan untuk segera diselesaikan. Serta pembetulan tanda baca dan penambahan kalimat di dalam tulisan. Saya harus objektif tentang hal ini. Bapak Arif membacanya, benar-benar mengevaluasi dan memberikan masukan.

Tapi berkas yang saya rasa untuk bapak Achmad Charris Zubair, hanya ada catatan di bagian depan “belum lengkap jadi belum bisa dievaluasi”. Saya kira beliau belum membacanya. Saya jadi subjektif melihatnya. Mungkin karena kesibukan beliau, ditambah bukan hanya berkas saya tapi juga yang lainnya menumpuk. Beliau belum sempat benar-benar “membacanya”.

Kalaupun pernyataan dan anggapan saya ini tidak benar, saya mohon maaf. Tapi subjektifitas tidak bisa saya hilangkan. Saya terlalu skeptis terhadap hal yang saya rasa mungkin benar-benar tidak beres. Saya mencermati lagi kalimat Pram yang sering diucapkan Fahri Salam kepada saya “adil sejak dalam pikiran”.
Read More......

Jumat, 06 Februari 2009

Nonton Bareng Madagascar 2


Dua motor keluar dari sebuah rumah di blok C nomor 2, perumahan Muslim Darussalam Condong Catur, Sleman. Saya mengendarai motor lama Astrea Grand hitam keluaran tahun 1994. Membonceng perempuan kelas 3 SMP, namanya Adelia. Adik kembarnya, Aldo dan Aldi duduk di jok belakang Mio. Di depan yang memegang kendali Arleta. Dia anak pertama dari pasangan Suradji dan Katini.


Jumat pagi, tanggal 2 Januari 2009. Dari malam sebelumnya saya dan Arleta smsan membahas akan diajak main kemana adik-adiknya. Adelia, Aldo dan Aldi.

Mereka sempat bete ketika malam pergantian tahun baru. Kali ini mereka diajak bapak ibunya liburan ke rumah di Jogja, tidak seperti perayaan tahun baru sebelumnya. Biasanya mereka sekeluarga berkumpul di rumah Sukoharjo. Mereka berharap akan keluar pas pergantian tahun baru. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak di Sukoharjo tidak di Jogja sama saja. Mereka tetap di rumah. Play Station yang dibawa dari Sukaharjo menemani Aldo dan Aldi. Adelia sibuk dengan HP-nya, lalu menonton TV bersama bapak dan ibu, atau ngobrol dengan mbak Yati, pembantu rumah tangga mereka yang juga diboyong ke Jogja.

Arleta terhindar dari kemuraman dalam rumah. Ia senang saat diizinkan orang tuanya untuk merayakan tahun baru di luar. Pukul 9 malam 31 Desember saya menjemput Eta ke rumah. Dia menggunakan kemeja bergaya Korea, yang tempo hari dibeli di Miami Beach. Rambutnya di keriting, cantik sekali. Kita keliling jalanan Jogja, beli terompet dan akhirnya terjebak di Alun-alun Utara Keraton.

Dari arah malioboro, orang-orang tumpah ruah menumpuk ke arah Monumen Serangan Umum 1 Maret. Kawasan ini menjadi titik keramaian, dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di timur dan Bank Indonesia di barat, semakin malam semakin mendesak ke arah alun-alun. Hingga sampai akhirnya kuota penuh, tak ada lagi tempat untuk bergerak ke luar. Di Alun-alun dimeriahkan oleh penampilan band, sedangkan di Monumen Serangan Umum 1 Maret menampilkan wayang dengan musik kontemporer. Posisi Arleta dan saya di jalan samping Bank BNI 46. Tak bisa menuju alun-alun, tak bisa mendekat ke monumen. Sampai teng pukul 12, kami duduk di atas motor, meniup terompet bergabung dengan ratusan manusia lainnya. Kembang api berterbangan di udara dari dua arah.

Arleta mendokumentasikan suasana di sana dengan handycam. Butuh sejam untuk jalan keluar. Jam 2 kurang baru sampai di rumah. Ibu Arleta membukakan pintu dengan mengantuk-ngantuk.

Keesokan harinya, Adelia, Aldo, Aldi minus Arleta dibawa bapak dan ibu mengisi waktu liburan. Ke candi Borobudur dan taman wisata di daerah Magelang. Mbak Yati ikut. Xenia putih meninggalkan rumah sekitar jam 9 pagi.

Sore hari mereka sekeluarga kembali. Bapak dan Ibu malamnya balik ke Sukoharjo. Arleta dititipi adik-adiknya, ditemani mbak Yati.

Karena menimbang kebosanan adik-adik, Arleta dan saya sepakat membawa mereka jalan-jalan besoknya.

“Mereka terserah mau kemana, ngikut aja” kata Arleta.

Lampu merah di pertigaan gejayan dan Universitas Negeri Yogyakarta memberi kesempatan saya bertanya tujuan ke Arleta.

Malioboro sudah ramai walaupun hari masih pagi. Kami parkir di depan mal Malioboro. Masuk ke dalam menuju arena bermain anak-anak. Aldi dan Aldo ke tempat penukaran koin. Sekitar sejam di sana, membawa pulang 2 buah pensil hadiah dari tiket-tiket yang keluar dari mesin-mesin game.

“Kemana lagi ta?” tanya saya mendekat ke arahnya saat menuruni eskalator.

“Ga tau, kamu ada ide ga?”

“Tanya adek-adek?”

“Mereka ga tau, mereka ikut aja kemana”.

“Taman Pintar mau ga?”

“Ya, bolehlah”.

Arleta menggandeng Aldi, mengekor di belakang Aldo dengan Lia. Saya paling belakang. Menuju Ice Cream McD di selatan mal. Untuk adik-adiknya es krim yang menggunakan mangkok, biar tidak tumpah.

Aldo dan Aldi dibujuk Arleta untuk boncengan dengan saya. Gantian dengan Lia yang dari rumah dengan saya. Sebelum berangkat dari rumah, sudah ada perjanjian gantian boncengan. Waktu berangkat tadi Aldo Aldi langsung naik motor Eta, sekarang gilirannya dengan saya.

Aldo Aldi asyik-asyik saja, ketika sudah di jalan menuju Taman Pintar. Mereka nangkring di belakang, saya sesekali menanyakan keadaan mereka. Apakah mereka baik-baik saja, mau main kemana dan semacamnya. Mereka hanya menjawab seperlunya. Masih belum cair komunikasi antara saya dengan mereka.

Taman Pintar ramai sekali. Kita masuk ke dalam, suasananya hiruk pikuk. Tak nyaman di situ, kita langsung pergi tak jadi main-main di sana. Memang suasananya tidak terlalu cocok dengan Aldo Aldi, apalagi Lia. Aldo Aldi sekarang sudah kelas 4 SD. Dan kebanyakan anak-anak di taman pintar lebih kecil dari mereka. Mungkin lebih pas untuk anak SD kelas 1 atau 2 dan TK ke bawahnya.

Kembali ke parkiran motor setelah hanya mengitari bagian depan taman pintar.

Ambarukmo Plaza megah berdiri di jalan solo. Gedungnya bercat kuning. Sepanjang 2004 pembangunan mal ini menjadi perbincangan publik karena merusak situs bangunan bersejarah keraton Pesanggrahan Ambarukmo.

Para aktivis menentang dengan alasan merusak bangunan bersejarah. Tata ruang kota, budaya dan ekonomi yang mengacu kepada rakyat kecil juga menjadi persoalan. Fahri Salam, seorang wartawan lepas memaparkan secara panjang tentang hal ini dalam tulisannya “Jagad Mal Jogja”.

Kami berlima di Studio bioskop 21 Amplas. Satu-satunya di Jogja. Senin sampai jumat tiket seharga dua puluh ribu. Weekend atau hari libur dua puluh lima ribu. Ukurannya mahal jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain. Ada 2 pilihan film yang cocok untuk ditonton di masa liburan ini, dengan adik-adik Arleta tentunya. Madagascar 2 dan Felix & Obelix. Saya dan Arleta memutuskan membeli 5 tiket untuk film Madagascar 2. Studio … pukul …

Tumpangan saya berganti lagi. Sekarang saya bersama Lia lagi. Hujan rintik-rintik turun saat kita kembali ke rumah. Sebentar lagi shalat Jumat. Saya menawarkan Aldo dan Aldi jumatan bersama. Arleta menanyakan mereka mau jumatan dengan saya, tapi mereka tidak mau. Walaupun ditakuti akan dimarahi ibu kalau tidak shalat mereka berdua tetap tidak tergoyahkan. Saya pulang dulu ke kos, nanti sore ke sana lagi. Jemput untuk nonton film.

Dari siang sampai sore hujan terus turun. Sempat berhenti tapi tak lama langsung deras lagi. Sayang sudah beli tiket. Mengenakan mantel saya ke rumah Arleta lagi, hujan semakin deras. Walaupun sudah pakai mantel jaket saya basah. Untung saya telah antisipasi dengan membawa jaket satu lagi.

Mereka sudah menunggu, sepertinya sudah siap berangkat. Tapi tak mungkin berangkat jika hujan masih sangat deras. Mantel tak akan membantu. Lain cerita kalau hanya saya dan Arleta berangkat berdua, kita akan lanjut saja. Tapi dengan membawa adik-adiknya, saya khawatir mereka terkena flu. Apalagi jika ketahuan ibu bapak. Tentu Arleta yang dimarahi jika mereka sampai sakit.

Saya menyuruh Arleta telfon taksi. Tapi si sopir taksi bilang sedang tidak kerja. Akhirnya saya mencari taksi ke luar. Sampai ke pasar Condong Catur, jaraknya dari rumah Arleta hampir satu kilometer.

Tak menunggu lama, langsung dapat. Saya diiringi taksi di belakang kembali ke rumah. Motor saya parkir di garasi. Semua langsung bergerak saat taksi menunggu di depan pagar. Satu-persatu masuk ke dalam taksi setelah pamit ke mbak Yati.

“Amplas pak”, kata saya.

Lia di depan. Arleta, Aldo, Aldi dan saya di belakang. Taksi jalan pelan, saat melewati jalan di STIE YKPN malah terjebak macet. Jalannya sempit dan banyak dilalui kendaraan saban waktu. Sebentar lagi filmnya akan diputar. Sepertinya kami akan terlambat.

Kami tergesa-gesa ketika sampai di pintu samping Amplas, lantai 1. Studio 21 di lantai 3.

Pintu studio 4 telah dibuka. Kenyataannya memang terlambat sekitar beberapa menit. Filmnya diputar 17:50 . Saya bertanya kepada orang di samping, dia jawab belum terlalu lama. Arleta di pojok bangku F.1, lalu Aldo, Aldi, Lia dan saya di F.5.

Filmya lucu, banyak adegan yang bikin ketawa. Sesekali saya curi pandang ke Aldo dan Aldi. Mereka tampak menikmati. Bercakap dengan Lia dan Eta terkadang. Bahkan Aldo beberapa kali saya lihat melirik ke kanan kiri, mengamati keadaan sekeliling agaknya.

Madagascar 2 durasinya tak terlalu lama. Overall kami semua senang. Sampai filmnya selesai kami masih tertawa-tawa sendiri. Sepertinya ingin menonton lagi. Arleta senang dengan si “moto-moto”, kuda nil yang menggoda, hingga “gloria” jatuh hati.

Saat jalan ke Carrefour saya tanya ke Aldo Aldi bagaimana menurut mereka filmya. Mereka menjawab lucu. Dan tak banyak bicara. Antara saya dan Aldo Aldi suasananya belum cair. Baru sekali ini kami jalan bersama.

Lia antri di kasir carrefour. Sambil membawa sekantong belanjaan, isinya minuman dan beberapa cemilan.

Sampai balik ke rumah lagi, saya belum juga bisa mendekatkan diri dengan Lia, Aldo dan Aldi. Arlete bilang mereka memang pemalu. Wajar di peristiwa jalang bareng pertama ini kata Arleta.

Kami semua masih sempat makan sate ketika sudah di rumah. Jam setengah sembilan saya pamit pulang.

Arleta cerita. Besoknya ibu bapak ke Jogja lagi. Aldo Aldi cerita tentang nonton film. Mereka kelihatan semangat dan banyak detail yang mereka ingat. Kapan ya kita bisa nonton film bareng lagi? Pikir saya.

Read More......