Jumat, 31 Oktober 2008

Ramadhan Akan Berakhir

Pesawat Lion Air masih di udara, padahal malam telah lama naik. Goncangan-goncangan di pesawat cukup membuat ciut nyali, ibu-ibu di samping saya komat-kamit mengucap nama Tuhan. Cuaca buruk, itu informasi yang didapat dari awak penerbangan rute Jakarta menuju Padang. Hingga mendarat di Bandara Internasional Minangkabau pun, langit terlihat gelap, sesekali rintik hujan mengenai bahu saya.
Satu tahun belum lagi saya pulang ke Solok, kampung halaman. Momen seperti bulan puasa dan lebaran adalah waktu yang biasa dipergunakan oleh kebanyakan orang perantauan untuk kembali ke kampung halaman. Menemui orang tua, berlebaran bersama keluarga, mengunjungi sanak famili dan teman-teman lama.

Senin, 29 September 2008 sekitar pukul 17.30 di depan kantor DPRD kota Solok, ada konsentrasi keramaian. Sebelum masuk lokasi ada spanduk betuliskan Pasar Pabukoan Kota Solok. Macam-macam lauk, panganan untuk berbuka khas Minangkabau dapat ditemui dengan mudah. Pedagang dan pembeli berseliweran di sini. Tak terlalu luas, hanya ruas jalan di samping kantor Telkom Solok yang dipergunakan. Susunan meja dan lapak seadanya. Saya di sana waktu itu.

Orangnya berkumis, perawakannya besar. Tangannya cekatan ketika memindahkan lauk dari wadah ke plastik. Ini tahun ke 2 baginya berjualan masakan di pasa pabukoan. Nama warung makan ini lumayan santer terdengar bagi siapa saja yang menginginkan masakan enak yang sedikit berbeda. Andalannya gulai tunjang. Jika pada hari biasa, Ampera Etek dapat kita temui di kawasan teminal angkot Solok. Khusus setiap bulan puasa di pasar pabukoan ini Ampera Etek hanya menjual samba (lauk).

Dari informasi yang diberikan bapak Irmi Rahnadasyan, atau yang biasa dipanggil Pak Guru ini, pasar pabukoan ini baru 2 tahun berjalan di lokasi yang baru ini. Sebelumnya sudah pernah ada, lokasinya berada di tengah pasar. Pemerintah melalui instansi yang terkait yaitu Dinas Pasar Raya meminta pedagang khusus pasa pabukoan ini pindah ke lokasi yang baru. Mengambil tempat di ruas jalan antara kantor Telkom kota Solok dan bekas rumah dinas Bupati lama. Di situlah lapak dan meja-meja pedagang tersusun dengan rapi. Perhitungannya setiap pedagang membayar Rp. 7500,- untuk 1 meja.
Walaupun suasana di sini cukup memadai untuk berjualan, dengan banyaknya urang Solok yang masih berkunjung ke sini saban sore. Pak Guru menilai tempat ini masih mempunyai kekurangan seperti ketidakadaan MCK yang memadai. Bahkan untuk menunaikan shalat magrib pun harus ke masjid yang tak bisa dibilang dekat. Ke masjid setidaknya harus menempuh jarak 300-400 meter. Di lokasi pun tak mungkin menunaikan shalat karena kurang bersih untuk melaksanakan ibadah. Biasanya sebelum Isya orang-orang di sana mulai berkemas-kemas dan biasanya sebagian besar telah meninggalkan lokasi. Meja-meja disingkirkan dan jalanan yang beralih fungsi ini mulai dipergunakan kembali seperti biasanya.

Seminggu kemudian saya ditemani seorang teman berencana melakukan perjalanan ke daerah Suliki. Senin, 6 Oktober 2008 pagi sekitar jam 10 kami memulai perjalanan dari kota Solok. Perkiraannya kami akan menempuh waktu sekitar 2,5-3 jam hingga ke tempat tujuan. Matahari tak begitu terik memancarkan sinarnya, bahkan di beberapa belahan langit terlihat mendung. Bensin motor telah terisi penuh, ini pun kami harus antri. Dari Solok kami bertolak melewati Sumani, biasanya daerah ini adalah titik macet, apalagi masih dalam suasana lebaran yang selalu dihiasi bermacam kendaraan bermotor. Yang paling ramai tentu truk atau mobil dengan bak terbuka di belakangnya. Diisi sebanyak-banyak orang, angkatan tua dan muda menuju tempat wisata. Di jalan pun jika bertemu kolega dengan transportasi yang sama biasa menjadi lawan. Anak-anak kecil hingga remaja dan dewasa yang tak mau ketinggalan mempersenjatai dirinya dengan pistol mainan, berbagai ukuran. Amunisinya peluru bulat warna-warni. Terjadilah pertempuran singkat. Kadang masyarakat di daerah yang dilewati juga sering ikutan. Mereka bergerombol, biasanya di kedai tepi jalan, pos siskamling atau tempat yang strategis. Mobil lewat dan menampakkan tanda-tanda penyerangan mereka telah siap. Menambah suasana ramai lebaran tapi riskan juga mengenai pengguna jalan yang tak berdosa. Jika sudah begitu bisa-bisa semua pengguna jalan baik pengendara roda empat atau roda dua akan bersiaga juga dengan menyiapkan pistol mainan yang marak di pasar menjelang setiap lebaran.
Menurut informasi dari teman seorang polisi yang dinas di daerah Paninggahan jalan Sumani-Singkarak padat lancar. Kita belum akan menemukan kemacetan pikir saya. Dan ternyata pasar Sumani yang biasanya kendaraan tumplek di sana lengang. Bahkan di dermaga danau Singkarak yang dijadikan semacam tempat bermain di hari lebaran, ada komedi putar dan rekan sejawatnya yang lain, juga belum menampakkan keramaian. Mungkin masih belum siang. Daerah terdekat yang akan kami tuju adalah kota Batusangkar. Sepanjang danau Singkarak kami melaju. Di pasar Ombilin kami mengambil jalan ke kanan setelah jembatan. Mendaki sedikit dan terpampanglah pemandangan indah. Kami melewati lereng bukit di samping kiri, dan jurang di samping kanan. Di lembah-lembah itu daerah pedesaan masih terlihat asri, sawah berjenjang-jenjang, pohon padat merayap, dan kincir air di sungai. Alangkah indahnya!
Perjalanan masih berlanjut hingga dari Batusangkar kami melewati daerah Baso. Jalannya panjang dan lurus, sesekali di jalan yang mulus ini ada turunan dan pendakian. Tak terasa kami sampai di Payakumbuh, tak masuk kota memang karena ke Suliki ini bisa dilewati tanpa melalui kawasan kota Payakumbuh. Kepenatan perjalanan belum juga habis, masih jauh lebih 30 km lagi baru akan sampai di Suliki. Kami sempat menangkap petunjuk jalan, lurus terus ke daerah Mungka, jika hendak ke Koto Tinggi dan Suliki mengambil jalan ke kiri.
Melewati daerah Danguang-danguang yang terkenal dengan satenya, lalu nagari-nagari kecil lainnya. Mulai dari situ, jalannya dinamakan jalan Tan Malaka. Panjang hingga ke daerah Pandan Gadang. Di sana rumah tempat Tan Malaka sebelum merantau ke Bukit Tinggi, setelah itu Nusantara dan Asia hingga ke Eropa timur dijamahnya..
Keramaian telah lewat saat sudah dekat sebelum memasuki Pandan Gadang. Yang tersisa hanya barisan bukit-bukit menjulang tinggi, bersatu padu memagari negeri dan lembah di bawahnya. Pemukiman penduduk hanya berjejer di pinggir jalan, sawah dan ladang yang sangat luas memenuhi daerah ini. Belok kanan sembari mendaki sedikit lalu agak lurus akhirnya sampai juga di rumah Tan Malaka. Kami yang pertama kali menelusuri jalan ini tak begitu sulit menemukan lokasi. Jika kebingungan, tinggal bertanya saja ke penduduk, dari awal hingga akhir perjalanan pun tak akan terasa susah.
Lokasi rumah Tan terletak di sisi kiri jalan dari arah Payakumbuh. Bukan berarti tepat langsung berhadapan dengan jalan tapi untuk sampai ke sana harus melewati jalan tanah setapak yang bisa dilalui mobil, lumayan lebar dan tidak rusak. Di sana, di depan sebuah rumah ditancapkan plang petunjuk berjudul Rumah Tan Malaka, Meseum dan Pustaka, bercat putih dengan dasar warna hijau. Bertonggak bambu, arah panah berwarna kuning.



Halamannya cukup luas, di depan rumah banyak tumbuh pohon kelapa dan ada kolam yang sudah tak berisi air. Entah ikan di dalamnya baru saja dipanen. Kami menaiki anak yang berjumlah tujuh buah, menghadapi pintu yang tertutup. Jendalapun tak ada yang buka, sepertinya tak ada penghuni di dalam. Berkali-kali diketok tak ada juga sahutan dari dalam. Dari arah surau yang tak jauh dari rumah baru tampak seorang perempuan berjalan mendekat ke arah rumah. Mudah-mudahan perempuan itu penghuni rumah, ternyata benar.

Pintu dibukakan sambil mengatakan dia akan segera memanggil ayahnya. Saya rasa dia masih sekolah. Kami masuk, dan dipersilahkan duduk di beranda. Sofa lusuh yang tak empuk lagi menjadi sandaran kami yang terbuat lelah karena perjalanannya. Rasa lelah menjadi tak berharga karena sekarang kami sudah berada di dalam rumah “Bapak bangsa yang terlupakan”.
Lalu muncul seorang laki-laki, setengah baya. Saya dan rekan langsung menyalaminya. Kami lalu memperkenalkan diri dan mengutarakan keinginan. Ia memperkenalkan diri sebagai Indra Ibrur Aditama, generasi ke empat dari Dt. Ibrahim Tan Malaka. Ayahnya bernama Johanes, ibunya bisa dibilang cucu Tan Malaka, Ananurnia. Sayang saya tak menanyakan lebih lanjut tentang hubungan keluarga dan silsilah lebih lanjut tentang generasi Tan Malaka. Di tempat yang bisa disebut ruang tamu ini banyak foto-foto Tan, dan keluarga generasi selanjutnya, bapak Indra mengungkapkan kebanyakan foto adalah sumbangan dari para kolektor atau siapa saja ketika rumah Tan ini dijadikan meseum pada tahun 2008 ini, belum terlalu lama. Beliau menerawang ke waktu itu, keadaan rumah itu ramai dan meriah, pemerintah melalui instansi terkait juga hadir bersama keluarga dan penduduk sekitar. Kini hanya sunyi senyap yang hadir. Bahkan pemerintah terkesan melupakan, secara eksplisit dia mengungkapkan setidaknya ada perhatia pemerintah untuk perawatan, karena ini rumah telah menjadi milik publik, meseum!
Kami dipersilahkan masuk ke ruang utama yang lapang, standarnya rumah gadang, tonggak tengah rumah terkesan kokoh. Di sini di isi dengan beberapa lemari berisi buku-buku karya Tan, ataupun buku tentang Tan Malaka karya penulis lain. Buku tamu disediakan di sebuah meja tepat di depan saat hendak masuk. Saya menelusuri nama-nama dan alamat orang-orang yang pernah berkunjung ke sini. Dari daerah Jawa tidaklah sedikit, LSM, kampus dan sebagainya. Di bagian awal tanggal 4-1-2005 ada nama Harry Poeze. Luar biasa peneliti yang satu ini pikir saya, itu bukan pertama kalinya dia ke sini. Bahkan ketika bapak Indra masih kecil dia telah juga pernah ke sini.
Lemari bukunya rendah-rendah, jadi buku disusun mendatar pada bagian bawah lemari, bagian atas dan depan di beri kaca.


Selebihnya di dinding rumah, hampir di semua penjuru di pajang foto-foto Tan dan tepat di bagian tengah kita juga dapat mengetahui daftar ranji Datuk Tan Malaka dari Ninik Mamak yang bertalian darah. Jendela di buka lebar-lebar mengatasi kepengapan. Di sela kami melihat sekililing sebuah buku dikeluarkan oleh bapak Indra, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. Buku ini dalam satu paket yang berisi tiga buah, deel 1 berwarna coklat muda, deel 2 ungu dan deel 3 biru, ketiga nya tebal-tebal. Karangan Harry Poeze tentunya. Bapak Indra mengungkapkan andai dia mengerti bahasa Belanda tentu banyak hal yang dia ketahui tentang sejarah leluhurnya tersebut. Harry Poeze memang dengan sangat serius meneliti tentang Tan, ini buku terbaru yang dia klaim sangat lengkap. Selama ini bapak Indra hanya mendengar cerita dari kakek dan orang-orang tua yang sedikit banyaknya tahu tentang kisah Tan, seperti cerita turun menurun. Di matanya masih banyak tersimpan keraguan-keraguan, hasrat ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia juga mengetahui tentang penemuan makam Tan di Kediri, penelusuran yang dilakukan Harry Poeze. Walaupun kelanjutannya dia juga belum tahu. Dia berharap sambil membolak-balik buku itu akan ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.
Read More......