Kamis, 29 Mei 2008

Harga Sebuah Eksistensi

Proses perjalanan dalam hari-hari terakhir kepengurusan Forkommi (Forum komunikasi mahasiswa minang) UGMtahun 2007/2008. Aku melihat ada 3 fase, yang pertama konsolidasi anggota, suksesi kepemimpinan dan musyawarah besar. Aku menyebutnya seperti itu, nama acara jelasnya aku tak tahu. Kira-kira aku rasakan begitu.

1. Konsolidasi yang coba digalang beberapa senior, pengurus 2007/2008, dan individu yang peduli pada institusi ini. Aku rasa semua orang peduli terhadap Forkommi, tingkat kepeduliannya saja yang membedakan. Aku tak habis pikir ketika Pak Wo memaksa dan sangat mengharapkan kehadiran ku dalam pertemuan yang direncanakan tersebut. Untuk kali ini akan diadakan di kosanku. Kebetulan aku dan Pak Wo satu kos. Pak Wo menunjukkan tingkat kepedulian yang sangat akhir-akhir ini dari tindakan-tindakannya. Sejauh apa yang dia lakukan aku tak tahu. Hanya aku merasa Pak Wo bekerja keras agar semuanya lancar. Yang lain pun aku rasa begitu.

Dihadiri beberapa orang, pokok pertemuan diarahkan pada angkatan 2006 yang akan melanjutkan tongkat kepemimpinan Forkommi selanjutnya. Ada aku, Heru, Rian, Hendro dan satu perempuan yang aku lupa namanya. Lalu Arief, ketua yang masih menjabat sampai pembubaran saat Mubes. Da Ipam dan Da Tommi, dua ketua sebelum Arief. Ilham, Nia, Yogi dan Pak Wo. Dari penjelasan mereka, ini pertemuan yang terakhir setelah hari-hari sebelumnya diadakan di beberapa tempat dengan orang-orang yang berbeda. Pendahuluan sesaat yang mengingatkan semua akan fitrah Forkommi. Lalu permintaan mengemukakan pendapat, berupa apa yang dirasakan selama menjadi anggota forkommi lalu rekomendasi langkah selanjutnya; inti dari pertemuan ini. Semua di sini bicara sebatas sharing, bukan mencari benar salah, menilai suka atau tidaksuka. Hal penting lainnya adalah pernyataan kesediaan angkatan 2006 untuk memegang, melanjutkan dan mengembangkan perjalanan Forkommi selanjutnya. Lama kita bicara, ngobrol dan bertukar pikiran. Walaupun begitu dari pertemuan yang sangat kekeuargaan ini, aspek-aspek yang ingin dicapai telah terangkum semua.

2. Suksesi kepemimpinan. Aku tak tahu kalau hanya ada aku sendiri dalam pertemuan kali ini. Aku berhadapan dengan Da Roni, Arief, Nia, Lola dan Pak Wo. Lagi-lagi pak Wo sangat mengharapkan kesediaan waktuku untuk menghadiri pertemuan ini. Kerja keras dan keinginan Pak Wo sangat jelas tergambar dari mukanya. Dedikasi yang patut diancungi jempol, yang lain juga. Terjawab keheranana-keherananku tentang tingkah Pak Wo. Setelah menikmati waktu kekosongan dari aktivitas organisasi di kampus, benar-benar hanya fokus kuliah. Pak Wo mulai menapaki jalan demi membawa Forkommi bangkit dari 'keterpurukan' ini. Pak Wo tak ingin menyesal untuk kedua kali, setelah penyesalan pertama kali dulu. Setahun yang lewat ketika Mubes Forkommi Pak Wo tak mengambil peran dalam kepengurusan. Pak Wo punya kapasitas yang lebih dari cukup untuk memimpin Forkommi, tapi karena kekhawatiran fokusnya terbagi dengan organisasi lain. Pak Wo menampik jalan itu. Mungkin aku agak salah menggunakan kata menyesal, tapi mau pakai kata apa lagi? Sekarang Pak Wo tak mau membuang kesempatan ini, dan aku lihat keseriusan Pak Wo dan yang lainnya untuk mengayomi dan bersama-sama melangkah dengan yang merasa Forkommi sesuatu yang harus diperjuangkan demi pencapaian yang lebih baik. Membuat eksistensi yang lebih vulgar, yang lebih menderapkan langkah.
Setelah pendahuluan, lalu masuk ke pokok persoalan. Terjadilah lemparan-lemparan pernyataan, saran dan dialektika pembicaraan antara aku dan steering committe. Semuanya masih dalam batasan Sharing. Tak ada unsur-unsur otoritas, perdebatan yang tajam. Pada khirnya di waktu lebih dari sejam aku menolak untuk masuk dalam bursa calon ketua Forkommi.

3. Musyawarah Besar XII Forkommi UGM, Minggu 18 Mei 2008, di Asrama Putri Bundo Kanduang JL. Bintaran Tengah No. 7 Yogyakarta.
Pagi itu acara yang rencana akan di selenggarakan jam 8, malah molor hingga jam 10. Peserta Mubes pun tak bisa dibilang banyak. Hingga saat Maghrib aku di sana peserta sudah lumayan banyak. Sidang Pendahuluan oleh badan pekerja Mubes, membahas berupa rancangan Tata Tertib Mubes XII. Dilanjutkan dengan pemilihan pimpinan sidang tetap.
Pimpinan sidang tetap terpilih melaksanakan sidang pleno. Di dalamnya bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap laporan pertanggung jawaban pengurus.Selesai dan sore waktu itu meninjau penyempurnaan AD/ART/GBHK. Sama seperti tahun lalu aku masuk komisi A yang membahas AD/ART. Komposisi tahun sekarang beda. Tahun lalu aku masih banyak mengikuti, sekarang sudah banyak berkata. Dari kontribusiku yang sedikit ini aku setidaknya bisa mengungkapkan sesuatu dalam forum kecil ini. Hanya sampai Maghrib aku di sana, itupun pembahasan AD/ART kepada forum sidang belum selesai.
Menurut cerita Pak Wo, pembahasan AD/ART berjalan lebih lama dar yang lainnya. Andi terpilih menjadi ketua Forkommi tahun 2008/2009. Lalu pembahasan yang sama dengan tahun lalu juga kembali diungkapkan tahun ini lagi. Tentang perlu tidaknya diadakan posisi Sekjen dalam struktur kepengurusan Forkommi. Perdebatan yang panjang, akhirnya memutuskan untuk melegalkan posisi Sekjen. Begitulah.

Banyak atau tidak yang dapat dilaksanakan oleh kepengurusan Forkommi tahun lalu dan tahun ini, semua tergantung pada kontribusi bersama. Tak dapat diindahkan juga kalau organisasi ini menempatkan dua macam dalam perjalanannya. Menjadikannya sebagai organisasi sebagai konseptor dan eksekutor atau menjadikannya sebagai keluarga yang berdasar pada aspek kekeluargaan.
Entah seperti apa ke depan, aku belum dapat memutuskan aku akan bagaimana di dalamnya. Aku akan berbuat sebisa apa yang akan aku lakukan. Mulai dari bagaimana memahami posisi dan tindakan aplikasi nyata.
Semua tentu berpengharapan akan melakukan yang terbaik. Ini akan menjadi baik, ini akan menjadi kebanggaan, ini akan menjadi keluarga.
Read More......

Sabtu, 24 Mei 2008

TINJAUAN HERMENEUTIKA MARTIN HEIDEGGER TERHADAP TEKS ANTI-KRIST FRIEDRICH NIETZSCHE


Hal pertama yang awal-awal dipahami adalah mengerti dengan baik tentang fenomenologi Heidegger. Hal ini penting karena menjadi penuntun untuk memahami bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan diri. Heidegger sendiri memberikan kritik atas Rene Decartes yang menemukan cogito dan mempostulatkan cogito ergo sum tapi tak pernah mempertanyakan sum (ada) itu sendiri. Hal ini melatarbelakangi Heidegger menyatakan bahwa bukan kesadaran yang menentukan Ada melainkan Ada yang menetukan kesadaran.

Fenomenologi Heidegger itu sendiri adalah; kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih sadar sebagai sesuatu (fokus pada subjek bukan objek). Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Fenomenologi Heidegger lebih bersifat ontologis karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Lalu prinsip fenomenologi selanjutnya adalah fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia.

Dalam penjabaran tentang pembedaan ontologis (ontologishe differenz), ada 2 hal yaitu antara Sein dan Seinde, Ada dan Mengada. Untuk memahami Ada kita harus memulai dari Mengada yang bisa mempertanyakan Ada. Coba kita lihat dalam teks Anti-Krist nya Nietzsche.



Apakah baik itu?- Semua yang meninggikan kekuatan, kehendak berkuasa, kekuasaan itu sendiri dalam manusia.

Apakah buruk itu?- Semua yang berasal dari kelemahan.

Apakah kebahagiaan itu?-Perasaan bahwa kekuasaan meningkat- bahwa sebuah perlawanan telah diatasi.

Bukan kepuasan diri, melainkan lebih banyak kekuasaan; bukan perdamaian sama sekali, melainkan perang; bukan kebajikan, melainkan keterampilan (kebajikan dalam gaya Renaisans, virtu, kebajikan tanpa asam moralik).

Yang lemah dan penyakitan akan musnah: asas pertama filantropi kita. Dan orang harus membatu mereka menjadi musnah.

Apakah yang lebih merugikan ketimbang suatu kejahatan?- Simpati aktif untuk yang lemah dan penyakitan-Kristen.

Pembedaan ontologis yang membawa kepada pemisahan antara Ada dan Mengada coba ditelusuri dengan kesadaran akan sesuatu yang membuat kefokusan sendiri pada subjek bukan pada objek. Nietzsche telah memaparkan kenyataan berupa konteks-konteks Ada. Ini mengacu pada paparan berupa pertanyaan-pertanyaan seperti apakah baik itu, buruk, kebahagiaan. Nietzsche langsung mengkaitkan dengan jawaban yang berupa konteks Mengada. Konkritnya baik (sebagai ada) lalu semua yang meninggikan kekuatan, kehendak berkuasa, kekuasaan itu sendiri dalam manusia (sebagai mengada). Untuk memahami Ada, kita harus memulai dari Mengapa yang bisa mempertanyakan Ada langsung bisa terjawab dari contoh konkrit di atas.

Hal ini juga menggambarkan dan menjelaskan tentang ‘tidak semua Mengada bisa bertanya tentang Ada, yang bisa melakukan itu hanyalah Dasein (Ada-di-sana)’. Ada-di-sana untuk menujukkan ciri khas kemewaktuan dan keterlemparan manusia atau faksilitas. Perasaan bahwa kekuatan meningkat-bahwa sebuah perlawanan telah diatasi. Bukan kepuasan diri, melainkan lebih banyak kekuasaan; bukan perdamaian sama sekali, melainkan perang; bukan kebajikan, melainkan keterampilan (kebajikan dalam gaya Renaisans, virtu, kebajikan tanpa asam moralik) merupakan Dasein yang bisa menanyakan tentang Ada yaitu suatu kebahagiaan, apa kebahagiaan itu? Dasein di atas mampu melakukannya karena memenuhi faktor memiliki hubungan dengan Adanya, yakni terbuka tehadap penyingkapan Ada.

Tak salah juga kalau manusia adalah satu-satunya wadah bagi penyingkapan Sang Ada. Yang menyebabkan manusia memiliki potensi untuk mempertanyakan (interpretasi) keberadaannya, sehingga membuka diri terhadap realitas. Manusia adalah seorang pembawa pesan, pengungkap keberadaan, yang menjadi media penghubung jurang antara Ada yang tersembunyi dan yang terungkap; antara ketidakberadaan dan keberadaan.

Nietzsche yang dengan vitalismenya ini tempatnya jauh daripada agam kristen dan komunisme. Ia berkembang dalam suatu pergumulan yang berat dengan dirinya sendiri dan dunia ini. Baginya agama kristen adalah lambang pemutarbalikkan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yang alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yang nafsani. Pengertian “Allah” agama kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah anak-anak piatu dan janda-janda, Allah orang-orang sakit. Allah dipandang sebagai roh yang bertentangan sekali dengan hdup ini. Jiwa kristiani adalah jiwa yang tidak memberi penguasaan dan kebangsawanan.

Suatu penelahaan kritis atas konsep Kristen mengenai Tuhan mengundang simpulan yang sama. –Suatu bangsa yang masih mempercayai dirinya jiga masih memiliki Tuhannya sendiri. Dalam diri Tuhan ini bangsa itu menghargai kondisi-kondisi yang telah membuat sejahtera, kebajikan-kebajikannya-bangsa itu memproyeksikan kegembiraan atas keadaan dirinya, perasaan berkuasanya kepada suatu pendirian yang bisa disebut terima kasih. Prastruktur verstehen yang pertama yaitu Vorhabe; sesuatu yang sudah dipunya sebelumnya tercakup di atas.

Lalu Vorsicht; sesuatu yang sudah dilihat sebelumnya. Kristen berdiri bertentangan dengan semua kesehatan intelektual. Maksudnya apa? Ia (mengacu pada intelektual) hanya bisa menggunakan pikiran busuk sebagai pikiran Kristen, ia memihak kepada segala yang bodoh, ia menyatakan kutukan terhadap “roh”, terhadap keunggulan jiwa yang sehat. Karena sakit masuk dalam esensi Kristen, maka kondisi Kristen tipikal, yaitu “iman”, harus merupakan suatu bentuk kesakitan, setiap jalan yang langsung, jujur, saintifik menuju pengetahuan harus ditolak oleh gereja, sebagai jalan yang terlarang.

Nietzsche melanjutkan lebih jauh pada perbandingan antara Kristen dan Buddha. Ia mulai menapaki dan dapat ditangkap ada unsur Vorgriff; sesuatu yang sudah ditangkap sebelumnya. Bagi Nietzsche Kristen dan Buddha sama-sama agama nihilistik, sama-sama agama dekadensi tetapi berbeda dengan sangat menarik. Nietzsche mampu menghadirkan dan mengkomparasikannya. Hingga membawa kepada pemahaman yang dapat dipahami sebagai berikut. Buddha seratus kali lebih realistik ketimbang Kristen. Buddha memiliki komposisi yang terdiri dari warisan suatu penelahaan yang dingin atas berbagai masalah. Agama ini datang setelah suatu gerakan filosofis. Yang berlangsung ratusan tahun.

Ini kemudian menjadi sangat menarik. Pendapat Nietzsche: Buddhisme adalah satu-satunya agama yang benar-benar positivistik dalam sejarah bahkan dalam epistemologinya (suatu fenomenalisme kaku). Agama ini tidak lagi bicara mengenai “perjuangan melawan dosa” melainkan, dan ini sesuai dengan aktualitas, “perjuangan melawan penderitaan”. Yang membedakannya dengan Kristen adalah meninggalkan konsep-konsep moral yang menipu diri itu. Agama ini berada, dalam bahasa Nietzsche, di seberang baik dan jahat. Dua fakta psikologis yang mendasari dan yang menjadi tujuan adalah:

Pertama, suatu keterangsangan sensibilitas yang berlebihan yang mengekspresikan diri sebagai kemampuan tinggi untuk merasakan sakit, Kemudian suatu kelebihan intelektualitas, suatu kesibukan yang terlalu besar dengan konsep-konsep dan prosedur-prosedur logis di bawah mana instink personal telah dikalahkan oleh demi kemenangan yang “impersonal”.

Prakondisi untuk Buddhisme adalah iklim yang lunak, adat sangat halus dan liberal, tanpa militerisme; dan dalam klas-klas tinggi dan terpelajarlah gerakan ini memiliki lahannya. Tujuan tertingginya adalah keceriaan, kesunyian, tidak adanya nafsu dan tujuan ini tercapai. Buddhisme bukanlah agama tempat orang mencita-citakan kesempuan semata.

Sedangkan dalam Kristen instink-instink dari mereka yang dikalahkan dan ditindas maju ke muka: adalah klas-klas terendah yang mencari penyelamatan mereka dalam agama ini. Di sini bisnis kasuistik dosa, kritik diri, pengadilan-nurani dipraktekkan sebagai suatu spesifik melawan kebosanan; disini suatu sikap emosional terhadap satu kekuasaan, disebut ‘Tuhan’, selalu dihidup-hidupkan (melalui sembahyangan); disini hal-hal tertinggi dianggap tidak bisa dicapai, pahala, “berkat”. Disini juga tidak terdapat keterbukaan; ceruk di sudut, kamar gelap itulah Kristen. Disini tubuh itu dihina kesehatan ditolak sebagai sensualitas.

Artikulasi eksistensial pemahaman menjadikan bahasa sebagai alat pengungkapan Ada kepada pengertian Kristen yang lainnya. Kristen: kebencian terhadap mereka yang berifikir beda, kehendak untuk menindas. Kristen: permusuhan maut terhadap majikan-majikan di dunia, terhadap “ningrat” dan pada waktu yang sama kompetisi rahasia yang tertutup (orang membiarkan mereka memiliki “tubuh”, sedangkan dia hanya menginginkan “jiwa”. Kebencian terhadap pikiran, kebanggaan, keberanian, kebebasan, kemerdekaan pikiran, itu juga Kristen. Kebencian terhadap kesenangan indera-indera, terhadap kesenangan pada umumnya, itulah Kristen.

Proses Denken (berfikir) dan mencoba menelaah dialektika Nietzsche yang pada akhirnya mengutuk Kristianitas. Kristen adalah bentuk kerusakan yang paling ekstrim yang bisa dibayangkan, ia memiliki kehendak untuk melakukan kerusakan yang paling tinggi yang bisa dibayangkan. Gereja Kristen tidak meninggalkan sedikit pun yang tidak disentuh oleh kekejiannya. Ia telah membuat setiap nilai menjadi non nilai, setiap kebenaran dusta, setiap jenis integritas kejahatan jiwa.

Pemahaman-pemahaman Nietzsche membuat proses interpretasi tidak lepas dari relasi Denken dan sein-nya Heidegger. Nietzsche dengan kekayaan wawasan psikologisnya memberikan suatu paduan dengan menunjukkan makna dari konsep-konsep kuncinya “kehendak berkuasa” dan “sublimasi”. Pemusnahan sensualitas yang oleh Nietzsche dikatakan merupakan praktek gereja Kristen itu bertentangan dengan “Vergeistigung”nya, menjadikannya “spiritual”.


Read More......

Rabu, 21 Mei 2008

Wanna be

Udara kota semakin panas. Siang ini pun begitu, panasnya minta ampun. Kemaren sudah panas, sekarang masih. Sampai kapan akan panas terus?
Kemaren Jumat, sore ke pantai. Panas tapi masih dinaungi mendung. Siklus paling panas sepertinya saat tengah hari. Jam 11 lewat sudah mulai. Jam 12 puncak sekali kepanasan itu. Jam 1 masih belum-belum hilang, panas sekali.

Kita masih baik-baik saja, setidaknya menurutku. Kita semakin kuat merasakan semuanya. Semakin maju, naik tingkat.

Beberapa hal yang akan aku lakukan adalah:
- Benar-benar kuliah, selama ini sudah kuliah yang benar. Tak ada masalah. Aku hanya ingin lebih memahami lagi. Di kampus tepatnya di perpustakaan.
Cara-cara yang harus di coba, mencari referensi sebanyak-banyaknya. Banyak tapi ngambang percuma saja. Setidaknya lebih fokus pada pokok pembahasan. Sedikit radikal tidak masalah. Referensi biasanya mengacu pada buku. Satu tantangan jika berhadapan dengan teks Inggris. Itu agak susah, tapi bakal terus mencoba.
Lalu banyak-banyak bertanya, muaranya terjadi diskusi. Ini tidak lebih dari upaya pencapaian distraksi.
Pengertiannya di dalam keinginan ini adalah benar-benar memahami apa itu liberalisme, kapitalisme, atau mungkin komunisme. Selama ini mungkin hanya pembicaraan, pemikiran-pemikiran, pernyataan yang dangkal. Hanya berputar-putar di permukaan. Untuk selanjutnya niat suci ini benar-benar bisa dilaksanakan. Mulai memahami hingga hakikat, bicara tentang esensi dan substansi. Buku banyak di perpustakaan, koneksi internet sebegitu lancarnya. Tinggal kemauan yang lebih keras. Struktualisme, Posmodernisme. Pemahaman tentang ideologi dan pancasila juga sangat penting untuk dimasukkan. Malu saja kalau kuliah di filsafat tak mengerti, tak tahu apa-apa. Ya...filsafat itu ya tahu apa-apa.

- Benar-benar ada aplikasi menulis. Sudah saatnya tulisan dimuat di koran, di jurnal atau di manapun yang bisa dijadikan sumber informasi orang-orang. Selama ini yang mungkin kurang adalah keberanian. Untuk apa takut? Kalau salah, kalau belum bermakna ya ini yang namanya belajar. Belajar tak mengenal takut untuk mencoba. Mulai dengan tanggapan peristiwa aktual, lalu persepi mendalam terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Lahan politik praktis juga patut untuk di coba. Dasar-dasar politik dan hukum normatif sudah pernah belajar. Filsafat Politik dan Filsafat Hukum banyak dibahas pemikiran-pemukiran yang bisa dipakai. Kenapa tak coba diaplikasikan apa yang didapat? Pemilu 2009 banyak yang bisa disoroti. Cobalah! Koran penting untuk dibaca. Selalulah baca koran. Hindari nonton sinetron dan tayangan yang tak berguna di TV. Pokoknya harus menulis! Masalah eksis itu nanti, yang penting berkarya dulu. Sudah cukup menulis untuk diri sendiri. Saatnya menulis untuk orang lain.

Dua hal yang di atas merupakan bagian penting dalam perjalanan hidup. Untuk melakukan perubahan. Bergerak dari yang ada sekarang. Ya tunggu saja aplikasinya.

13 Manifesto Slankisme:
kita harus
1. Berjiwa kritis
2. Berjiwa sosial
3. Penuh solidaritas
4. Saling setia
5. Selalu merdeka
6. Hidup sederhana
7. Mencintai alam
8. Manusiawi
9. Berani untuk beda
10. Menjunjung persahabatan
11. Punya angan yang tinggi
12. Menjadi diri sendiri
13. Membuka otak dan hati kita karena kesempurnaan hanya punyanya tuhan
Read More......

Sabtu, 17 Mei 2008

Semarang Jauh

Selang 4 hari setelah "bermain-main" di lokasi penambangan pasir di kali Gendol, Merapi. Tiba-tiba aku harus ke Semarang. Perjalanan waktu yang membawa ke sana. Kesempatan pertama ini aku tak sendirian, bersama Eta.

Jumat, 8 Mei. Mandi berkali-kali memberi inspirasi. Kadang terpikir hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ada-ada saja ide-ide baru yang muncul, terkadang menemukan realitas. Bukan karena hal-hal di atas, aku mengajak Eta ke Semarang menjelang sore itu. Aku harus mengikuti kuliah tambahan dulu jam 3, kenapa harus ada kuliah tambahan? Kurang kerjaan!
Aku sudah gelisah duluan memikirkan jalan ke Semarang. Rencananya setelah Eta menyetujui kepergian ini, kita akan pakai motornya (jelas motorku tak dapat diandalkan). Belum semudah itu, kesulitannya kita harus ke Solo dulu ngambil STNK motor Eta. Kesepakatan terakhir sebelum aku meninggalkannya sejenak demi kuliah yang membosankan dan tak kuperhatikan sama sekali.

Pertanyaan-pertanyaan:
- Dari Solo bisa langsung ke Semarang, tak harus balik lagi ke Jogja?
- Kalau bisa, lebih jauh mana langsung dari Solo atau balik lagi ke Jogja?


Aku tanyakan ke salah seorang teman, jawabannya: dari Solo bisa langsung ke Semarang tanpa harus balik lagi ke Jogja. Mengenai jauhnya jarak, atau lamanya waktu tak ada jawaban pasti. Jelasnya dia tak tahu. Dia malah bilang belum lama dia ke Malang, ada sekitar 10 jam.

Aku mengakhiri sendiri perkuliahan sore itu, waktu menunjukkan pukul setengah lima ketika aku mohon diri untuk diperbolehkan keluar duluan. Eta sudah siap ketika aku berada di rumahnya lagi. Memulai perjalanan Jogja-Solo (Sukaharjo) jam 6. Setelah beres-beres di kostku, mengambil pakaian secukupnya dan perlengkapan. Setelah beli obat Flu Eta.Setelah beli jajanan pasar karena aku sangat lapar, setelah mengisi bensin. Jam 7 lewat sedikit sampai di rumah Eta. Perbincangan dirinya dengan orang tuanya yang menemani penungguanku. Satu jam lewat untuk interaksi antara orang tua dan anaknya yang kuliah di kota berbeda cukup sudah. Meninggalkan rumah Eta, kita sudah mengantongi STNK, dan sobekan peta dari atlas. Peta Jawa Tengah. Petunujuk peta, untuk mencapai Semarang dari Solo, harus melewati Boyolali, Salatiga.

Makan di kawasan Solo baru sekalian mencari informasi-informasi. Penting: ke Semarang kira-kira 2 jam dari Solo. Tak begitu lama. Dalam bayanganku, sekitar 3 jam lebih, melihat jarak di peta yang begitu jauh. Tak hanya sekali bertanya, tapi berkali-kali dan jawabannya sama. Informasi teman Eta, smsnya ke Eta ketika sedang jalan dari Jogja ke Solo. Mas-mas penjual rokok, bapak-bapak jualan apa gitu, mas-mas tempat kita makan. Dan tak lupa untuk mbak dan mas yang tak dikenal yang selalu kutanya ketika berhenti di persimpangan berhias lampu merah, kuning hijau.Sedikit jalan terang menuju Semarang.

Dingin makin lama makin menyergap kita berdua hingga menggigil. Merokok sebentar untuk menghilangkan kedinginan. Memasuki kota Salatiga kita berhenti sejenak. Perjalanan masih jauh, hingga akhirnya petunjuk jalan ke Semarang semakin dekat. Di depan hotel Plaza kita menginjakkkan kaki pertama kali di Semarang. Ink yang telah sedari tadi ku hubungi datang menjemput. Jadilah kita nginap di kos Ink malam itu.

Selama di Semarang tak banyak tempat-tempat wiasata yang kita kunjungi. Mutarin jalanan Semarang. Tahu universitas Dipenogoro. Kesimpulan sejauh yang aku rasakan, aku tak melihat atmosfer perkuliahan yang bagus. Mungkin karena hanya melihat di permukaan. Udaranya yang panas, khusus di tembalang makanannya kurang sangat memuaskan. Dan aku benar-benar merasa beda dengan Jogja, memang pantas Jogja dibilang kota pendidikan. Aku merasakannya saat itu. Akhirnya aku berkesempatan juga bertemu Katik, teman dari kecil hingga sekarang. Dia sedikit bercerita tentang problem-problemnya, ketidaknyamanannya kuliah di sini. Terus rencana mengulang SPMB lagi tahun ini. Targetnya UI. Butuh adaptasi panjang aku rasa untuk benar-benar cocok dan menikmati kehidupan di tempat yang berbeda. Masalah teman menjadi penting di sini, wajarlah dia baru setahun di Semarang. Awal-awal aku di Jogja aku juga merasa agak stres menjalani adaptasi itu. Terbayang kampung halaman yang jauh sekali. Tapi perjalanan waktu membuat diriku bisa menyatu dengan kehidupanku lagi. Aku kembali menjadi pemilik jiwa dan ragaku. Katik hanya butuh waktu sedikit lagi dan selalu belajar. Cari kegiatan yang positif dan jangan terlalu sok-sokan. Kalau niat hidup untuk terus belajar semuanya akan terasa ringan.
Lalu Suhan Jagara. Aku dan dia satu SMP, satu SMA. Kenal tapi tak begitu dekat. Banyak perkembangan dari dirinya. Bukan sekali ini saja aku dengar tentang dirinya. Dulu Ink dan Katik telah pernah cerita. Tapi sekarang aku melihatnya langsung. Dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro. Aktif di KAMMI atau HMI ya, vokal dan terkenal di kalangan kampus sebagai aktivis muda. Proyek, seminar dan pertemuan dengan orang-orang penting. Selain itu masih banyak yang bisa dibanggakan darinya. Berbeda saja jika mengingat masa SMA dulu, berkembang jauh. Ink dan Katik waktu awal cerita tentang Suhan dulu ya sama tidak menyangkanya.
Begitulah kehidupan kawan, seperti yang Eta bilang, perjalanan waktu bisa mengubah seseorang.

Malam minggu itu, aku dan Eta dibawa Ink menemui Suhan. Bertemu ketika dia sedang mengkoordinir rapat. Dia menyambutku, aku jadi terharu. Seperti biasa jika ada teman bertamu ke tempat kita, apalagi itu untuk pertama kalinya, ada hasrat untuk mengajak kota-kota. Dengan otoritasnya Suhan mengakhiri rapat, demi aku. Aku dan Eta diajak putar-putar, dan ditraktir karaoke-an. Suhan baru dapat proyek survey dari CSIS, lembaga kepunyaan Indra J. Piliang. Duitnya tak tanggung-tanggung. Ink yang diajak Suhan pun ketiban pulung. Ink berubah juga sekarang, dia ingin aktif di lembaga kemasyarakatan. Seharusnya Katik bisa meniru, kalau tidak akan stres selamanya.
Kita baru punya kesempatan banyak bicara saat makan di burjo. I love Jogja...kau masih menghadirkan tempat yang eksotis yang tak kutemui di kota lain, Semarang ini salah satunya. Burjo yang berbeda dengan burjo di Jogja, Suhan bilang burjo yang kita singgahi ini tempatnya kawula muda mangkal. Setelah dugem di lantai enam (Hugos maksudnya), para clubber menghabiskan malam panjangnya di sini. Apa? di tempat ini! Eta bilang saat dia burjo tiba-tiba dia kangen suasana kali Code. Walaupun tak sedikitpun suka tempat itu, tapi ke-eksotisannya yang membuat Jogja begitu indah. Yah begitulah..bisa dibayangkan.
Aku banyak bertanya pada Suhan. Mengenai pertemuannya dengan orang dan tokoh-tokoh yang dapat disebut punya nama di Indonesia, setidaknya para pengamat politik, ekonomi dan sebagainya atau aktivis yang sering masuk koran. Titik balik saat dia bisa memaknai dunianya sekarang, beranjak dari perbandingan jika dia masih di kampung, dia tak dapat membayangkan. Masih seperti dulu, tempat dan zaman serta rekonstruksi pemikiran yang masih feodal. Dia bicara menggebu-gebu, dia menguasai apa yang dia bicaraka. Dia tahu kapasitas dirinya. Menyadari dia akan lebih banyak berkembang ke depan. Jika tak hari sudah terlarut malam, percakapan ini tak akan habis. Aku melihat rona-rona kelelahan dari mata yang mengantuk itu. Aku tak akan memaksanya menemani ku dan Eta jalan-jalan melihat Semarang di malam minggu ini lagi. Dia masih beraktivitas besok. Salaman hangat untuk perpisahan sesaat ini. Aku mengundang dia ke Jogja membalas kunjunganku suatu waktu. Mudah-mudahan saja dia 'orang minang' berikutnya.

DP mall, Ciputra Mall, Lawang Sewu, kampus Undip. Beberapa tempat yang aku dan Eta kunjungi di Semarang. Banyak tempat yang belum sempat kita elaborasi lebih jauh. Karena ini bukan terakhir kali kita ke Semarang, suatu saat akan kembali lagi menyusuri jalanan berbukit-bukit ini. Jalan pulang lebih panjang dan memakan banyak waktu dibanding jalan pergi. Semarang-Ambarawa- Temangung (hanya lewat) -Magelang. Kita sempat menikmati srabi di daerah apalah, opak juga.

Magelang, menjadi tempat pemberhentian berikut. Tak tanggung-tanggung kita sembahyang di klenteng yang berposisi di kilometer 0. Akulturasi budaya, aku rasa. Pulang ke Jogja, sampai pas maghrib.

Untuk melakukan perjalanan yang jauh harus dilakukan persiapan yang jelas, pakaian atau perlengkapan lainnya. Uang jelas menjadi sesuatu yang harus ada. Jangan pas-pasan. Pelajari jalan dan tempat-tempat wisata.
Secara keseluruhan walaupun agak kacau, tapi perjalanan ke Semarang aku dan Eta ini cukup bagus. Setidaknya kita bisa belajar dari Semarang. Bandung, Jakarta, Malang, Surabaya, dan Bali masih menunggu kita Ta!
Read More......

Kamis, 15 Mei 2008

Kali Gendol

Beberapa perjalanan yang tak terangkum sekarang coba dingat dan disusun kembali

Lepas tengah malam setelah menunggu jam pemberangkatan itu sendiri, di kantor Himmah, sebuah media jurnalistik mahasiswa UII. Bersama Rie Salam mulai bergerak dari kos sebelum jam 11 tanggal 3Maret itu. Rencanannya kita akan bergerak mencari fokus bahasan pada penambang pasir. Lebih jelasnya, Rie diberi mandat untuk melakukan tugasnya sebagai jurnalis, dengan mencari berita tentang kaum perempuan (khusus kalangan orang tua/mbok-mbok). Kapasitasku disini hanya menemani, dan sekaligus mencoba belajar serta mencuri ilmu. Masuk ke perkancahan dunia jurnalistik riil. Format pencarian berita dan aktualisasinya tak begitu jelas. Dengan dasar aku tak mau mencampuri terlalu banyak. Disebabkan ketakutan aku akan merepotkan.
Daerah Muntilan menjadi tujuan perjalanan ini, pada perkembangan situasi tujuan berubah ke lereng gunung Merapi, kawasan Kaliadem. Pagi-pagi sekali, saat waktu belum menunjukkan pukul 3 kita sudah membelah jalan. Mereka-reka jarak hingga menyentuh tujuan. Kita terdampar di jalanan Kali Kuning yang dinginnya begitu menusuk, dengan rimbunnya pohon di kiri kanan. Di depan kabut menghadang dengan jelas, saat aku menoleh ke belakang, hanya kepekatan malam yang begitu gelap memancar dari mataku. Proses penyelamatan diri kita lakukan dengan mencari tempat persinggahan, hingga arah penunjuk jalan memberi tahu sesaat kita akan sampai di kawasan juru kunci gunung Merapi.

Ketika di sana kopi panas menjadi suatu kebutuhan yang sangat demi mengatasi kedinginan hati dan kebekuan pikiran ini. Sesekali Rie mencoba mengorek informasi sesuai kebutuhannya. Sebagai gambaran lokasi jelas yang akan dituju belum ada. Jadilah pagi itu kegiatan bertanya-tanya.
Sekonyong-konyongnya lewat di depan mataku, Mbah Maridjan. Bersebelahan dengan warung tempat kita duduk ternyata rumahnya Mbah Maridjan. Tak terpikirkan sebelumnya olehku kalau aku akan bertemu dengannya. Sebagai seorang pemuda nun jauh di sumatera yang bersekolah di Jogja, hal ini adalah suatu ketakjuban luar biasa. Faktor pertama aku tak pernah tertarik akan semua ini, maksudnya Maridjan. Kapasitas ataupun kepopulerannya. Lalu, aku merasakan ini adalah mozaik kehidupan yang akan menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup ini. Kedua faktor itu yang akhirnya menghadirkan unsur kejutan.
Di kaki gunung, aku tiba-tiba merasa kecil dan hina. Dekat sekali suara adzan menggema di telinga. Menyerukan waktu sesaat untuk hadir kehadirat kuasaNya. Spirit beribadah langsung menyergap sanubariku. Mengesampingkan, kekotoran dan kesucianku selama ini. Aku sudah cukup suci untuk menyembahNya? Itu menjadi pertanyaan yang akan selalu mengikuti jejak langkah ini. Tersadar akan rasa hina, jika aku tak shalat Subuh. Aku melangkahkan kaki ke masjid yang tak jauh dari rumah Maridjan dan warung itu. Kubiarkan Rie menunggu. Selesai prosesi ibadah ini, aku menyalami mbah Maridjan. Sesaat aku keluar masjid, memakai alas kaki lagi, mbah Maridjan mengeluarkan kata-kata padaku. Itu sudah cukup sudah.

Atas petunjuk seorang bapak ketika giliran Rie shalat, kita sampai di lokasi penambangan pasir. Banyak orang di sana, banyak truk. Lembah bebatuan, curam, jalan yang terjal. Tak lama aku memposisikan diri sebagai asisten Rie. Membawakan tas kamera, buku catatannya, mengikuti wawancara. Hingga akhirnya ku biarkan dia sendiri. Kehadiranku mungkin agak mengganggu. Aku tiduran di susunan batu-batu. Aku tertidur sesaat. Sehari semalam tanpa tidur. Bergelimang di lokasi ini, cukup lama, kantuk tak tertahankan lagi.
Setelah data-data dan foto-foto yang dikira Rie cukup, kita keluar dari kancah dunia pertambangan ini. Kondisi di sana memprihatinkan jika tak bisa dibilang menyedihkan. Roda perekonomian yang menjurus pada kebutuhan hidup terus berputar. Hidup harus terus berjalan. Pendidikan anak-anak tentu menjadi hal paling prioritas. Boleh mengenyampingkan perasaan sesaat. Orang tua pada dasarnya akan melakukan apapun demi anaknya.

Sesekali kita harus menempatkan diri sebagai orang tua. Punya keluarga, anak-anak sebagai tanggungan hidup. Perjalanan pulang ke kota, dipenuhi pikiran ini.
Pagi-pagi jam 9 itu aku dan Rie beristirahat sejenak di rumah Eta.
Read More......

Rabu, 14 Mei 2008

Terus Berjalan

Sayang...aku baru sadar ternyata kita melangkah jauh
meninggalkan detak detik kekasaran hati
sementara aku dan kamu masih merasakan sendiri
kekerdilan pikiran, kesombangan hati
terhanyutkan hembusan angin dari pohon
setiap jalan jauh kita lewati
menyongsong matahari menyambut bulan
menemani bintang, itu yang kita kerjakan
sayang...
aku berpuisi atau aku menyanyi
mengudarakan kepingan-kepingan masa lalu
sementara masih jauh permukaan masa depan


Susunan kata-kata Eta masih bisa kulihat setiap saat. Selalu kuamati dan masih berdesir perasaan ini padanya. Kegagalan selama ini bagi setiap orang selalu menjadi penyakitan. Kesalutan pertama dari sekian banyak yang aku banggakan dari seorang Eta, adalah caranya menyikapi kegagalan. Kegagalan tak membuatnya takut akan kegagalan berikut, tapi membuat dirinya menjadi seorang yang futuristik. Eta tak mencoba-coba bermain dengan perasaannya sendiri. Penentuan perasaan berangkat dari setiap kesempatan yang selalu datang. Suatu pertanda keinginan, tak mesti selalu menjadi beban.
Sekarang Eta bilang, aku menjadi orang baik. Kehadiran unsur-unsur baik melepaskan setiap prasangka dan tindakan keragua-raguan. Aku merasakan sendiri ketakutan akan kehilangan sosok seseorang pada diri Eta. Padaku Eta mengajarkan bagaimana seharusnya bersikap realistis. Sekarang malah terjadi kebalikan, aku berpikir dengan hati dan Eta dengan logika. Terakhir Eta bicara tentang sikap orang tuanya. Cita-cita yang mulia, masih bisa diwujudkan. Untuk tempat yang lebih jauh, cita-cita merubah peradaban, mempengaruhi persepsi orang lain.
Dalam waktu yang tak panjang dalam kebersamaan kita, aku dan Eta mengalami banyak hal. Pergolakan-pergolakan emosi, pertikaian-pertikaian hati, permainan-permainan kata, hingga rasa. Membuat kita banyak belajar.
Read More......

Sedikit dan Belum Selesai

Pantai Baron dan Dona

Prosesi pengenangan untuk Dona selesai. Malam menjemput, aku dan Eta hadir di tengah gelapnya lautan. Di bibir pantai ku tautkan bibirku dengan bibirnya. Romansa yang dipenuhi hembusan angin membelai lembut kita berdua. Tapak kaki kita mencengkram keras pasir-pasir, pantai menghadirkan sensasi yang berbeda.

Kita meraba-raba di tengah kegelapan mencari motor. Mungkinkah hilang? Tadi parkir dimana? Aku sudah cemas duluan, menghilangkan nafsu makan. Akhirnya ketemu juga, hehehe...Kita bergegas meninggalkan pantai Baron, tempat dimana dulu Dona pergi dan tak akan pernah kembali. Perjalanan pulang kali ini lebih tidak mengenakkan. Gelap, hanya sesekali berpapasan dengan orang lain, hanya lampu kendaraan yang memberi kami petunjuk harus kemana. Sepanjang jalan tak habis-habis pohon-pohon pinus menyapa kehadiran kita. Memberikan kesan mistis yang sangat. Lama sekali hingga kita baru menyentuh daerah perkotaan.

Ternyata dunia begitu sempit, saat menanyakan jalan ke Jogja. Jalan di Wonosari bercabang dan membingungkan, ini karena pertama kalinya aku ke sini. Meminimalisir kemungkinan melenceng jauh dari jalan yang sebenarnya, aku bertanya ke bapak-bapak di pinggir jalan. Hoho... logat bahasa Indonesia sangat aku kenal dan tak asing di telinga. Belum beberapa patah kata dia berujar, aku langsung menebak dia orang Padang. Hmm... tak salah, tanpa komando kita langsung terhanyut berbahasa minang di tempat yang begitu jauh dari daerah asal kita. Aku merasakan unsur-unsur persaudaraan yang begitu kental, rasa senasib sepenanggungan. Rasa rindu kampung halaman bahkan sekaligus rasa muak. Petunjuk yang begitu jelas hingga kepuasan ini terasa lebih dari segalanya. Aku dan Eta tak akan membuang banyak waktu karena perjalanan pulang ini belum akan selesai. Kita pamit pada bapaknya, aku sempat berjanji kalau aku ke sini lagi, aku akan menyempatkan waktu mengunjunginya.
Kita berhenti untuk makan, tidak enak sekali. Sangat tidak enak, aku menyesal memilih tempat itu. Dari luar sepertiya bagus dan nyaman. Mahal sekali dan aku berpikir apakah ini tak terlalu kapitalis sekedar untuk makan. Kalau mahal tapi enak tak apa, ini tak sama sekali. Eta agak gila, karena kesal dia mengambil remote tv rumah makannya. Kebetulan kita duduk dekat tv. Eta mengganti saluran tv, memperbesar volume hingga sekeras-kerasnya. Hanya kita berdua di sana, sebelumnya ada sebuah keluarga bapak, ibu dan tiga anaknya. Setelah mereka pergi, rumah makannya menjadi milik kita. Aku mengangkat kaki tinggi-tinggi, membuang abu rokok di lantai. Kotor sekali! Aku mau mencuri asbak, tapi dilarang Eta, asbaknya jelek dia bilang begitu. Tak habis kita pergi.

Argo Dumilah mengubah semua kekesalan kita. Sedikit membuat emosi dan kepenatan mereda. Baru pertama kalinya aku di sini. Bagus sekali, Jogja penuh dengan lampu-lampu malam. Berkedip-kedip seakan melawan terang satu-satu bintang di atas langit sana. Lesehan di sebuah warung, menikmati pemandangan jauh di bawah sana.

"Sekarang sedang berada di...apa namanya?"
"Argo Dumilah"
"Salah satu tempat objek wisata di Jogja ya?"
"Bukan sih kalau objek wisata itu kan ada tiket masuknya, apa ya?"
"Tempat yang fashionable"
"Tempat yang enak banget, tempat dimana kita bisa melihat Jogja dari bukit, dari apa namanya?"
"Dari daerah ketinggian, disini itu kita bisa melihat lampu-lampu hmm...banyaklah pokoknya, jadi kelihatan eksotis"
"Eksotis..."
"Trus paling ujung ke oranyean-oranyean gitu nah"
"iya an ya?oranye mah karena lampu gitu an, kaya senja gitu"

Sekelumit rekaman perbincangan dengan Eta, tak lengkap memang.
Read More......

Hanya Ketidakjelasan Makna

Hawa perkuliahan kembali terasa selasa, 29 April jam 1 siang. Filsafat Komunikasi, mata kuliah saat itu membuat euforia keinginan untuk menimba ilmu kembali meluap-luap. Pekan-pekan yang membosankan sebelumnya hilang pada hari itu. Biasanya hanya berangkat ke kampus, dosennnya datang telat. Lalu mengisi kuliah dengan beberapa penjelasan singkat. Tak pernah habis waktu untuk 2 sks yang telah ditetapkan. Selalu pulang lebih cepat. Kemungkinannya sibuk sekali seorang profesor seperti bapak Lasyo ini. Sehingga mengampu kuliah tak pernah maksimal.
Presentasi kelompok, yang telah diberi tema para filsuf dan teori komunikasi kefilsafatannya inilah yang membuat semua kekecewaan tadi hilang. Kelompok angkatan atas yang membuat segalanya berbeda. Berawal dari seorang bernama Zen, nama lengkapnya tak diketahui. Ia mengajukan pertanyaan ketika salah satu kelompok yang presentasi melemparkan kesempatan bertanya, menambahkan atau mengulas kepada forum.

Pembahasan saat itu adalah Ferdinand de Sausere dan teori filsafat komunikasi menurutnya. Sejauh yang aku tahu Zen aktif di Bulaksumur, media jurnalisme kampus. Menurutku dia seharusnya jadi dosen saja. Cara dia bertanya lebih kepada menjelaskan dengan sangat komprehensif. Usia dan kecakapan setelah beberapa lama bergumul dengan filsafat dan kehidupan? mungkin. Orang pintar di Filsafat setelah Rifki menurutku. Angkatan atas juga, entah telah menyelesaikan kuliahnya atau belum. Aku sebatas mengenal dia saja, dia juga kenal diriku tentunya. Kita sering berpapasan, dan melemparkan senyum sambil menganggukkan kepala dengan hormat. Berlanjut dengan aku menyapanya, dan terlibat percakapan formal yang pendek. Sejujurnya aku ingin dekat dengannya, mencoba berinteraksi lebih jauh, tapi tak pernah terjadi sampai sekarang. Yang membuatku bertanya-tanya adalah kenapa dia begitu padaku, sedangkan pada yang lain tidak. Aku agak terasa istimewa, apakah dia melihat sisi kecerdasanku?hahaha.
Read More......

Di Dua Puluh Tiga Maret

Dua anak manusia dalam perjalanannya

Awalnya menemukan persamaan-persamaan yang membuat kita nyaman satu sama lain. Lalu berubah menjadi kegamangan-kegamangan yang membuat kita mengerti kalau semua ini harus dijalani sepenuh hati. Pertikaian-pertikaian hati, pergolakan-pergolakan emosi, penyadaran-penyadaran logika membuat kita pernah jauh dan saling mendekati. Kepribadian-kepribadian dalam perbedaan tak akan pernah terselesaikan . Semakin jauh kita melangkah semakin terlihat perbedaan-perbedaannya. Tapi semua sirna tanpa pernah kita kehendaki, pencarian-pencarian arti kehidupan? Perasaan kasih sayang kah?
Jika aku melihat ke dalam matanya, aku menemukan sebuah jawaban dari oase selama ini. Jawaban atau pertanyaan? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan atau pertanyaan dari jawaban-jawaban? Aku ingin dia mengutarakan sesuatu...

Kepada ibu-ibu penjual pisang rebus beserta ubinya dan perlengkapan lainnya

"Bu, beli pisangnya, satunya berapa?
"seribu!"
"ha? satunya seribu?"
"ndak, segininya seribu" sambil mengangkat dua buah pisang dalam satu tandan kecil
"ya udah dua aja Bu,"
"saya kasih ubinya satu "
"makasih ya bu, hati-hati pulangnya!'

Ku melihat mata yang terkejut, ibu penjual pisang rebus merindukan suatu mas yang tak ada kepenatan. Ibu itu lelah dengan semua yang dia lakukan. Sayangnya tak bisa menikmati masa muda dengan layak. Aku melihat diriku, mengenakan kemeja cardinal seharga seratus tiga puluh ribu, dilapisi jaket murahan di barang second, menggunakan jeans bermerk lee, walaupun bekas tapi gaya sekali. Kakiku di tutupi sepatu quiksilver berwarna coklat. Terasa hangat, ibu itu hanya menggunakan sandal jepit tipis. Walaupun beralas kaki tapi bagiku tetap saja bertelanjang kaki. Diterpa dingin, dimainkan debu jalanan.
Read More......