Rabu, 13 Agustus 2008

Seandainya, Djenar Maesa Ayu, Garin Nugroho, Jajang C Noer di 3rd Jogja-NETPAC Asian Film Festival

Senin 11 Agustus supervisor tempat saya bekerja memberi informasi besok selasa saya kerja masuk pagi. Kekurangan personel penyebabnya, di jadwal saya masuk malam. Ternyata ini memberi berkah yang luar biasa. Setelah saya libur minggu tanggal 10, dan menghabiskan masa pakansi itu dengan menikmati ajang musik A Mild Soundrenaline bersama Eta, akan saya ceritakan belakangan.
Pagi selasa dengan mata yang sangat mengantuk ditambah tak sempat mandi saya paksakan ke tempat kerja, saya masih sempat sms supervisor, pemberitahuan sepertinya saya akan telat, saya memberi alasan saya masih di kampus menyelesaikan beberapa urusan. Sebenarnya tak ada urusan apapun di kampus, hanya ingin menyempatkan diri ke Koperasi Mahasiswa untuk membeli majalah Tempo. Sejak kemarin saya menyambangi Kopma, tapi yang dicari belum kunjung datang, demikian juga pagi ini. Segera ke tempat kerja, untung saya belum telat. Syukurlah tak memperpanjang daftar kedisiplinan saya. Pekerjaan masih seperti itu-itu saja, ada return-an majalah dan tabloid dari penerbit Quint. Sebagian besar telah lengkap, cuma kurang 1 majalah Her World edisi Juli. Tak hanya saya yang mencari tapi telah dikerahkan juga bala bantuan dari yang lainnya. Beberapa orang yang berbeda berusaha mencari masih juga belum bertemu. Seluruh bagian toko sampai gudang, kasir dan kantor telah diperiksa tak juga tampak. Apa mungkin lepas dari pengawasan, sehingga ditilap pengunjung? Sepertinya itu juga tak mungkin. Beberapa hari sebelumnya, saya kebagian tugas me-return majalah, tabloid dan komik terbitan m&c, masih ada yang kurang. Lagi-lagi itu masih kurang 1 kuantiti lagi, komik excel 02. Sepertinya tak beruntung, walaupun yang lain ikut membantu. Sedangkan return-an dari Diva Pres sudang lengkap semua. Tinggal dikirim atau orang dari penerbit bersangkutan yang akan datang mengambil.

Jam 14 lewat 16 menit saya mengisi absen pulang. Dan besok saya dapat kesempatan libur lagi. Rencananya saya dan Eta akan ke Taman Pintar, memuaskan hasrat kita melihat anak-anak kecil. Pulang saya menyambangi Kopma lagi, beruntung majalah Tempo edisi khusus Tan Malaka telah ada. Harganya naik Rp.1500, biasanya edisi mahasiswa ini dilabel dengan harga Rp.15.000. Tak apalah dari pada membeli dengan harga biasa Rp. 25.000, hemat sepuluh ribu rupiah tentunya.

Eta mengingatkan supaya dibelikan makan siang, sehingga ke situlah saya dulu sebelum ke rumahnya. Nasi padang dengan lauk ayam balado dari tempat "uni" siap dibawa pulang. Ketika sampai di rumah Eta, dia kutemui sedang sibuk mengutak-atik komputernya. Belum makan dari pagi. "Gimana ga gampang sakit, makan yang teratur dong On!"

Sore ketika matahari telah berkunjung, malam akan menyingsing kita sudah punya rencana sebelumnya. Tempat-tempat yang akan kita kunjungi malam ini adalah Malioboro Mall dan mencari tempat penjualan akuarium beserta ikannya. Eta katanya akan mencoba memelihara ikan di rumahnya. Katanya juga urusan nguras menguras air diserahkan kepada saya. Loh?? Kita sudah sampai di tempat tujuan pertama, di Malioboro Mall kita akan ke ATM Lippo dan Matahari. Ke Anjungan Tunai Mandiri mengambil uang mingguan Eta dan ke Matahari melihat tas. Tas saya sudah sobek, besar dan tak bisa ditutupi lagi dengan pin. Kalau saya punya uang berlebih nanti, apakah itu uang tabungan atau uang gaji, saya berencana membeli sebuah tas. Riskan juga membawa laptop kemana-mana dengan tas yang sudah sudah sobek itu. Tas Navy Seal yang kata teman saya sedang diskon di Matahari. Ternyata sampai di sana diskonnya telah abis, harganya kembali normal di angka dua ratus tiga puluh sembilan rupiah. Ya suatu saat lah. Eta menyempakan melihat-lihat tas juga, bahkan singgah ke Planet Surf, gila tas Billabong atau Quik Silver dibanderol satu juta ke atas. Buat apa tas 1 juta?? Dengan 1 juta bisa membantu Eta mewujudkan cita-citanya ke Padang. Hmm travelling ke Padang adalah prioritas utama dalam to do list Eta. Ransel juga, demi menunjang perjalanan Eta dalam usahanya menjadi seorang backpaker.

Selepas dari Malioboro Mall kita rencananya akan ke Djendelo Cafe di Toga Mas Galeria. Aku menawarkan kita memutar haluan dulu ke Taman Budaya, sekalian dekat dari malioboro apa salahnya. Lagian sedang ada event juga di sana, 3rd Jogja-NETPAC Asian Film Festival 9-13 Agustus. Tak ada salahnya karena besok hari terakhir, mana tahu ada yang menarik.
Sampai di sana kita masih celangak celinguk acaranya di gedung mana, di halaman TB ada pergelaran gamelan. Banner acara yang di sponsori LA Lights ini baru kelihatan saat kita melangkah menuju utara gedung.
Ini yang luar biasa, tanpa di duga kita sempat melihat Djenar Maesa Ayu dan Jajang C Noer. Hahaha, saya dan Eta tertawa, tak meyangka dua orang hebat itu sedang nongkrong di taman mengobrol dengan beberapa orang. Kita lewatkan saja, cukuplah untuk memandang dua wajah mereka dari dekat, yang biasanya cuma bisa dilihat di televisi atau film. Tapi kami benar-benar terkesima, hahah katro' banget yah?

Di dalam gedung dari informasi sedang diputar sebuah film Iran. Saya minta brosur acaranya saja. Kebetulan jam 8 malam ini, di LIP (Lembaga Indonesia Prancis) Sagan akan diputar film _9808. Saya baca dari koran Tempo dua hari yang lalu, film ini bercerita tentang peristiwa 98 dan diuntai juga sejarah 10 tahun setelah itu sampai 2008 sekarang. Eta dan saya memutuskan akan menonton film itu, waktu belum menunjukkan jam 8 masih cukuplah untuk perjalanan ke LIP di Sagan. Nah, sewaktu keluar dari gedung Taman Budaya 1 Djenar dan Jajang masih ada di tempat kami lihat tadi. Saya dan Eta tak menyia-nyiakan kesempatan itu, kami dekati Djenar dan bilang ingin bersalaman dengannya. Djenar menyambut baik, dan tangan Djenar dingin, saya bilang saya suka film Mereka Bilang Saya Monyet-nya, dengan tertawa dia jawab "kan belum diputar?". Eta bilang di bioskop waktu itu, Djenar balas lagi, "kan cuma diputar di Blitz?" (tahu dia di Jogja ga ada blitz, hehehe). Saya berusaha menyelamatkan "kita nonton di Bandung waktu itu mbak!". Cukup sekianlah percakapan hangat dan singkat antara kami dengan Djenar. Tiba-tiba seorang Jepang meminta saya tolong fotokan dia dan beberapa temannya dengan Djenar, Jajang, dan ada juga Garin Nugroho! Wahhh...beruntung sekali saya dan Eta melihat orang-orang hebat dari dekat. Jadilah saya menjepret Garin, Jajang, Djenar, si orang Jepang yang punya kamera, beberapa bule eropa, ketua festival film dan siapa lagi yang tak saya ketahui. Dengan latar belakang spanduk besar acara foto itu sempat diulang, saya kurang lama menekan tombolnya. Si orang jepang bilang "push it with long time" entah benar dia bilang itu atau tidak yang penting saya mengerti harus menekan lebih lama tombol kameranya. Huhuhu...oon banget saya, tak mengerti English dengan lancar. Mau les Inggris belum ada waktu, dulu SMP tak serius saya les bahasa Inggris, menyesal saya. Beruntung sekali anak SD sekarang sudah belajar bahasa Inggris dan Teknologi Informasi. Pergunakan dan manfaatkanlah sebaik-baiknya adek-adekku, huhuhu...

Sesi foto-foto telah selesai, si orang Jepang dan Djenar mendekat ke arah saya, melihat hasilnya. Sepertinya good job, hehehe..
Garin Nugroho juga mendekat, saya dan Eta mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, saya dan Eta bersalaman dengan Garin, dia cuma bertanya "dari manakah?" "Dari Jogja Mas", jawab saya. Eta dan Saya masih terperangah dan speechless sehingga tak mampu berkata-kata di hadapan Garin. Saya dan Eta hanya mohon pamit, tak lupa juga dengan Djenar.

Benar-benar malam yang luar biasa, bertemu artis musisi pemain band dan penyanyi di soundrenaline kemarin biasa saja sepertinya. Tapi ini beda sekali. Saya dan Eta mencerocos tak jelas, senang tak kepalang, tak berhenti-hentinya mengeluarkan kekaguman. Dalam diskusi kita dari Taman Budaya hingga LIP, dapatlah saya terangkan sedikit.

Sedikit terbersit keinginan berfoto dengan mereka, padahal entah kapan lagi kesempatan itu datang. "Aku sempat ingin berfoto dengan Djenar An, tapi kenapa ga sanggup bilang ya?", kata Eta. Biasanya Eta cuma bisa membaca tulisan Djenar di blognya, menonton karya filmnya, atau membaca buku Djenar (Kayla, MBS) di Gramedia, sampai-sampai buku itu lecek. Lucu juga kalau diingat. Kita datang ke Gramedia, membuka sampul plastik buku dengan trengginas, membaca, kalau belum selesai dilipat halaman bukunya untuk tanda, lalu di sembunyikan di bagian paling susah diambil orang lain. Beberapa hari lagi kita datang, membaca lagi. Hahaha..tambah biadab jika bagus dan mau beli bukannya beli di Gramedia, tapi di Toga Mas dengan diskonnya yang lumayan. Gramed mahal sih! Hehehe. Nah sekarang orangnya di depan malah tak sempat didokumentasikan.

Setelah saya pikir, saya menemukan jawaban untuk menetralisir permasalahan foto memfoto ini. Menurut saya dan Eta esensinya bukan pada penting atau tidaknya tentang kesempatan berfoto itu, tapi makna dari pertemuan ini. Jabat salam hangat dari Djenar dan Garin terasa sangat akrab Di taman budaya bertemu, mereka tak menunjukkan keangkuhan, tak seperti artis lainnya. Saya coba membayangkan kalau di sana ada Laudya C Bella, Rafi Ahmad, Fedi Nuril atau siapa lagi. Mungkin jelas berbeda. Maaf kalau terasa subjektif. Menurut saya orang-orang yang berkecimpung di dunia film, seperti Garin, Djenar atau Jajang yang lebih mengedepankan idealisme sebuah film, dari pada aspek komersil lebih merakyat, tidak jaga image terhadap sekitar. Di taman budaya mereka berselonjor mengobrol dengan rekannya, ketika kami mendekati mereka pun menyambut sangat hangat, sangat dekat. Tak ada kesan sombong. Begitulah orang idealis menurut saya. Jadi berjabat tangan dalam konsep salam itu dalam islam dan hubungan sosial pun lebih mulia, saling mendoakan keselamatan masing-masing. Sejauh apa foto-foto? Paling untuk menimbulkan kebanggaan saja. Pembaca mungkin berfikir kami bersikap seperti ini karena melewatkan kesempatan itu, dan mencari alibi untuk tidak menyesali. Dari kami sedikitpun tidak ada mencari pembenaran.

Yang saya sayangkan tentu tak memanfaatkan pertemuan ini dengan mengobrol lebih lama. Kami sudah takjub duluan, pertemuannya juga tak terencana, tak terduga akan terjadi. Pertanyaan saya masih tersimpan, untuk mas Garin: "film tentang Slanknya udah selesai atau masih dalam proses pengerjaan? Kapan rencananya diputar?" Ya itu saja, sebagai seorang slankers yang Slank akan difilmkan dan sutradaranya ada di depan saya, tapi tak terjadi karena sudah speechless duluan. Untuk Djenar, apa ya? saya tak terlalu mendalami soal dia, hmm mungkin Eta, dia lumayan dekat dengan tulisan dan karya Djenar. Mungkin akan dijelaskan Eta di blognya www.arletafenty.co.cc

Begitulah kisah yang sangat membanggakan dari saya dan Eta. Kampungan? bisa jadi. Tapi kami tak pernah merasa kampungan. Pemikiran dan kesempatan itu anugerah yang luar biasa. Ketemu artis segitunya, gue aja yang bergelut dengan artis-artis ga gitu-gitu banget. Mungkin ada yang berfkir seperti itu. Tapi bagi kami, Djenar, Garin, Jajang bukan artis, mereka manusia, mereka hidup, berfikir, berkarya tak ada bedanya dengan manusia lain. Tapi mereka lebih istimewa karena mereka berkarya. "Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi." (Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara Jilid II, 1948).
Kalau ada yang masih terfikir lebih jauh tentang ini, akan saya ulas lebih dalam lagi.

Akhirnya kami sampai di LIP (Lembaga Indonesia Prancis) di daerah Sagan. Langsung saja mengisi buku tamu dan menunggu beberapa menit. Panitia mempersilahkan masuk ke ruang audio karena film akan diputar. Tak begitu ramai di dalam. Kami memilih duduk agak di depan, karena Eta tak membawa kaca mata. Satu setengah jam kami menikmati kumpulan film-film pendek. Dengan beberapa tema dan latar belakang yang berbeda. Ada yang lucu, ada yang menyedihkan. Orang tua korban yang tewas waktu peristiwa semanggi masih mencari keadilan dan kebenaran sampai sekarang. Permasalahan nama dan keturunan Cina juga dibahas dalam 2 atau 3 film. Trauma masa lalu saat kerusuhan 1998 sampai pengharapan selama 10 tahun berjalan setelah peristiwa atau yang orang bilang reformasi. Bekas-bekas aktivis dalam kehidupannya sekarang menjadi salah satu pembahasan yang menarik. Lalu diselipkan juga film tentang pemberantasan korupsi seorang kepala sekolah di SMA 3 Surakarta oleh murid-muridnya. Dengan misi satu Solo harus tahu mereka mengundang juga media dan elemen masyarakat dalam aksinya. Sangat menyentuh. Tapi menurut saya mereka belum merasakan jadi orang tua aja, saat idealisme masa muda terkikis realis masa tua. Saat orang punya anak bini, mereka lebih memikirkan anak bini mau dikasih makan apa? Tidak bisa dibilang pragmatis. Maaf kalau lagi-lagi saya subjektif.

Ketika film selesai ternyata di belakang saya duduk mas Kiki, senior saya di Filsafat sekarang sudah lulus dan mencoba jadi pengajar di Filsafat sepertinya. Kami sempat beramah tamah dan saling bersalaman. Dia bersama seorang cewek senior saya di Filsafat juga. Tak lama saya dan Eta pamit duluan keluar. Mas Kiki orang pintar, salah satu dari orang yang saya kagumi, ada Sarfah Fahri Salam dan lainnya.
Hari yang berwarna.
Read More......

Jumat, 08 Agustus 2008

Refleksi Singkat

Satu pertanyaan dalam hidup yang terus menggoda. Terlebih sebagai orang muda. Besok kamu mau jadi apa?
Dua jawaban yang satu sama lain masih saja dipermasalahkan.

Jawaban yang pertama adalah saya ingin punya banyak uang. Reaksi yang hadir adalah saya dianggap sebagai orang yang materialistis, semua yang saya lakukan demi uang, saya adalah budak uang. Bukanlah uang yang mengatur saya, tapi saya yang mengatur uang. Kebahagiaan tak dapat sepenuhnya dinilai dengan uang banyak, tanggapan dari yang mengajukan pertanyaan. Ini menjadi pemikiran tersendiri bagi saya.

Semua orang berkeinginan untuk tercukupi kebutuhan materinya. Semua orang ingin kaya. Kaya dan miskin itu harus ada. Pernyataan moralisnya orang kaya, yang punya banyak uang tak boleh dengan sewenang-wenang memperlakukan orang yang tak punyai seperti orang kaya yang punya. Orang miskin itu harus ada, jika tak ada orang miskin dan semua kaya, maka akan kembali ke titik nol dalam pergerakan materi. Tak ada yang kaya, karena semuanya miskin.
Kecukupan materi menjadi salah satu pencapaian kecukupan kebahagiaan. Orang dengan uang banyak, bisa memilih apa yang mereka senangi apa yang mereka kehendaki. Manusia punya rasa ke(moralis)an dan ke(humanis)an tersendiri, individu lebih tahu tentang dirinya sendiri, jadi dia dapat mempergunakan kebebasan yang mereka punya dengan kehendak sendiri. Individu menginsyafi adanya batasan-batasan dalam berkehendak. Kadar penggunaan logika setiap individu yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Emosional dan nurani menjadi penyeimbang kaidah berfikir logika masing-masing individu.
Uang mempermudah akses pribadi, termasuk di dalamnya proses pengembangan diri. Tanpa uang manusia bukan apa-apa. Uang dan dalam cakupan luas ternyata vital dalam kehidupan manusia.


Jawaban yang kedua adalah saya ingin menjadi intelektual. Teman saya mengingatkan, intelektual tak banyak duit. Dan awas hati-hati terjebak menjadi intelektual karbitan. Di sekeliling kita banyak dapat kita lihat. Menjadi intelektual yang moralis atau intelektual humanis? Susah untuk memilih satu di antara dua hal tersebut. Pilihannya harus jatuh pada salah satunya. Sering diingatkan kita jangan menjadi manusia yang sok suci, sok merasa benar, sok beragama. Tak secuilpun tak mungkin melakukan tindakan yang melanggar hukum dan norma. Lebih baik menggunakan daya pikir itu seoptimal mungkin, agar terhindar dari sifat hipokrit. Kesalahan diri sendiri yang pernah dilakukan sebaiknya dibagi ke orang lain, tapi pada kenyataannya kita takut malu, takut merasa tak suci. Kita dipaksa menjadi manusia tanpa dosa. Dan pada akhirnya menjatuhkan orang lain dalam hukuman sendiri. Memperkosa hak orang lain, merenggut kemerdekaan berpikir orang lain. Dan kita sempurna menjadi manusia bebal.
Banyak kekurangan kita sebagai manusia. Kita kurang mendengar, kurang cakap menganalisa, kuarang mampu berpikir. Karena munafik dan merasa selalu benar, selalu berada di jalan yang lurus, yang tanpa kita sadari tak ada jalan yang lurus tanpa lubang, tanpa belokan tanpa turunan. Seringkali di situ kita terantuk dalam kemaluan mengakui, hingga semakin banyak kemunafikan yang terkumpul. Tak mampu mendengar membuat kita lemah, menjadikan kita buta.
Individu yang tak pernah menyesal melakukan pilihan yang dia yakini tak mengurangi kepunyaan orang lain adalah mereka yang bertanggung jawab. Kebalikan dari itu adalah individu yang menganggap cerita individu lain telah salah bertindak.
Menjadi manusia yang idealis lalu berubah menjadi realistis adalah perubahan yang tak mudah. Banyak cemooh tentunya dari apa yang kita punya dalam keidealisan sebelumnya. Tapi realistis membuat kita tahu jalan hidup itu seperti apa.

Jawaban paln realistis dari gabungan dua jawaban di atas adalah saya akhirnya memilih menjadi penulis. Langsung saja saya diingatkan. Kamu jangan bercita-cita jadi penulis, nulis banyak tak tentu arah, nulis sedikit salah, tidak menulis kena marah. Begitulah nasib penulis. Lalu?
Read More......

Sabtu, 02 Agustus 2008

Pemberitahuan

Malam itu hp ku bergetar, tak ayal nama Fahri tertera di layar ponsel, rupanya dia mengirim pesan.
"An dirimu kerjakah? aku ada temen dr jakarta, dia ada keperluan S2 di UGM, bingung mau kuinapkan dimana ya, di tempat Eta bisa ga ya? Nuwun"

Tak lama berselang, hanya tiga menit saat aku akan konfirmasikan hal ini ke Eta, dia sudah duluan mengirim pesan.
"Sayang aku takut di rumah sendiri"

Kebetulan sekali, Eta punya teman di rumahnya malam ini. Itu pun kalau dia bersedia menerima teman Fahri menumpang di rumahnya untuk malam itu. Aku informasikan hal ini ke Eta langsung. Ternyat Eta menyambut dengan tangan terbuka, jadilah pekerjaan ku malam itu ku sambil-sambilkan dengan mengirim pesan ke Fahri dan Eta. Kesepakatannya selesai aku kerja aku langsung menyusul Fahri dan temannya ke kost.

Setelah absen dan briefing singkat seperti biasa ku pacu sepeda motor tua, sesampai di kost tak kutemukan Fahri dan temannya itu. Saat aku hubungi mereka sedang makan di Klebengan. Ku susul dan tak dapati mereka juga, akhirnya melalui pesan singkat aku disuruh tunggu di sana dulu. Memang tak lama tapi berteman dingin malam yang menyesak sungguh tak sedap.

Dari kejauhan lampu motor Fahri menyorot arahku lalu berhenti tepat di sampingku. Dalam keremangan cahaya, aku dikenalkan pada temannya yang bernama, Atun. Dari sana kita bertiga menuju rumah Eta.

Sesampainya di sana Eta menyambut dengan sumringah. Tamu-tamu itu dipersilahkan masuk, sementara aku menyingkirkan binatang yang disebut aneh oleh Eta di kamar mandinya. Binatang yang kutenggarai kepiting atau bisa juga laba-laba ini berhasil ku enyahkan.

Setelah mereka duduk dengan menyesuaikan diri sebaik-baiknya. Berteman vannila late panas kita berempat membuka obrolan. Mbak Atun ini bekerja di LSM yang bergerak di bidang politik bernama Demos. Kesempatan ke Jogja dalam rangka mengikuti seleksi S2 di UGM keesokan hari. Melanjutkan sekolah berkat beasiswa dari kantornya. Menurut berita yang ku dapatkan dari Fahri mbak Atun dulu S1 nya di IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah) lalu S2 di Universitas Indonesia. Dan sekarang mengambil S2 lagi di UGM. Menurut Fahri lagi kesempatan ini adalah hasil kerja sama UGM dengan kantor mbak Atun. Tujuannya nanti S3 di Oslo, Norwegia. Hebat banget!
Dari perbincangan yang terjadi, mbak Atun ini telah menjelajah nusantara, ke Papua, Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Nusa Tenggara, pelosok jawa, bahkan ke Padang! Aku teringat kata-kata "Bangku kuliah tak mengajarkan tentang nasionalisme, jelajahi lah negerimu, untuk menimbulkan kebanggaan pada negerimu". Senada dengan Pram "menulislah untuk peradaban!".
belum selesai.......
Read More......