Senin, 19 Januari 2009

Termehek-Mehek Mewujudkan Keinginan?

Juwita duduk di depan meja lipat yang dipenuhi tumpukan kertas, isinya angka-angka dan coretan-coretan kecil. Tugas rangkaian listrik dari kuliahnya di Politeknik Kesehatan Jakarta II. Sesekali tangannya menari-nari dengan pulpen di atas kertas. Badan dicondongkan ke depan dengan mata yang terkadang dipejamkan. Dia bergerak dengan mengangkat meja lipat bergambar barbie, lalu meraih kertas kosong yang digunakan untuk menghitung bilangan jawaban soal tugasnya.

Baru beberapa bulan di Jakarta, belum genap setahun. Sebentar lagi ujian semester pertamanya di bangku kuliah. Dulu, sekolah di daerah, berkilo-kilometer dari Jakarta. Lulus SMAN 1 Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Hijrah ke Jakarta meninggalkan nenek dan kakeknya. Dari kecil dibesarkan oleh mereka membuat dia sedih dan berat untuk pergi. Tapi tawaran dari kakak Ibunya yang bekerja di Pusdiklat Depkes Jakarta, membuat dia berangkat.

Lahir di Banjarmasin delapan belas tahun yang lalu, tapi tak mengerti kenapa di akta kelahiran-nya ditulis Wonogiri, 4 Juni 1990.

“Saya anak tunggal, kira-kira umur 1 tahun bapak ibu saya cerai mas, saya juga ga tau gimananya, taunya dari cerita saudara atau tetangga aja,” ucapnya kepada saya. Ia tampaknya mulai malas melayani soal-soal di hadapannya. Sambil berdiri ia masih menyambung “itupun saya udah gede baru ngerti bapak-ibu cerai, terus umur 2 atau 3 tahun mungkin, ibu saya ke Jakarta”. Semenjak itu dia dibesarkan dan disekolahkan atas usaha kakek dan nenek, sesekali kiriman datang dari ibunya.

Terakhir ketemu ibunya lebaran kemaren, disusul ke kampus. Sekitar setengah jam di dekat warung pedagang kaki lima, ngobrol kabar satu sama lain dan berbagi cerita tentang apa saja yang menjadi pengobat kerinduan ibu dan anak. Dia bercerita lepas saja. Langsung saya tanya, “kapan terakhir kali ketemu bapak?”.

Air mukanya tidak berubah ketika jawabannya cukup mengejutkan saya. Selama hidupnya dia belum pernah ketemu sekalipun dengan bapaknya. Hanya foto-foto pernikahan orang tuanya ketika di Kalimantan yang mengenalkan dia dengan wajah bapaknya.

“Ada sih mas, keinginan untuk ketemu ayah saya. Ga tau kapan,” senyum mengembang dari bibir merahnya.
“Pernah ungkapin ke siapa tentang keinginan itu?”saya memandangnya dalam-dalam.
“Just only one Allah, mas. Saat shalat ya, adalah minta buat bisa diketemuin sama bapak..”, ujarnya dengan penuh pengharapan.

Saya terdiam dan mencoba merasakan kerinduan yang hadir dalam suasana ini. Tiba-tiba”Kenapa ga ikut Termehek-mehek aja kamu?, saya mengusulkan.
“Ga penting, acara ga penting. Acara yang isinya nangis-nangis doang. Membuka aib orang aja, ga mendidik. Ga baik, ya kadang baik kalo ga bikin ribut, tapi tetap aja ribut ujung-ujungnya,” rentetan kata emosi dari dirinya membuat saya permisi sesaat.


Tidak ada komentar: