Senin, 19 Januari 2009

Persepsi Mas Raka

Pagi minggu, dekat kawasan Graha Saba Pramana konsentrasi kerumunan massa dan kendaraan tumpah ruah. Orang-orang joging diantara berbagai macam kuliner dijajakan. 500 meter ke arah utara, ada perempatan lampu merah. Orang-orang lebih mengenal dengan nama perempatan MM UGM. Utara perempatan menuju Kaliurang atas. Timur ke arah kehutanan UGM. Di sebelah barat ke jalan Sardjito, Rumah Sakit Umum Dr.Sardjito dan kampus Fakultas Teknik UGM melalui jalan ini. Di sisi timur kanan perempatan ada pos polisi, di depan pos sebuah plang terpancang “Polisi Sektor Bulaksumur”.

Rambutnya panjang hingga ke bahu, keseluruhannya hitam walau beberapa helai telah berubah menjadi putih. Pandangan matanya tajam, sesekali lidahnya membasahi bibir. Kumis tebal dan janggut yang dibiarkan panjang menambah kesan sangar. Tubuhnya tidak terlalu besar, malah cenderung kurus tapi kekar dan hitam legam terbakar matahari. Hem biru yang kancingnya dibiarkan terbuka melapisi badannya. Ditambah rompi hijau hitam bersaku di bagian bawah, dipungung rompi tertulis Harjo.

“Maaf mas agak telat dari janji kita kemaren, biasalah hari minggu jadi agak nyantai”, katanya ketika saya langsung mendekatinya. Perempuan di sampingnya menyunggingkan senyum. Tak berbeda jauh penampilannya. Kaos putih hitam dilapisi rompi yang sama bertulis Harjo di punggungnya. Tak ketinggalan manset hitam terpasang dari lengan hingga pergelangan tangannya.

“Jadi gimana mas, mau langsung coba jualan? Udah agak siang sebaiknya langsung aja”, ujarnya sambil menyerahkan beberapa eksemplar koran hari itu. “Koran Tempo 1000 rupiah, Harjo 2000, Kompas dan KR masing-masing 3500 dan 2500 rupiah”,sambungnya.
“Nanti kita pisah, saya dan istri saya di sini mas di utara, sekarang udah setengah sembilan jam sebelas kita kumpul lagi sekalian istirahat”, tangannya sibuk memisahkan koran-koran sambil memberi instruksi dengan cepat.

Tak punya pilihan saya langsung memisahkan diri dari mereka, menuju ke utara perempatan. Dua setengah jam ke depan saya akan mencoba menjadi seorang penjaja koran di jalanan. Sekitar 60 detik saya menawarkan dagangan ke orang-orang yang berhenti, sebelum berjalan lagi. Dan menunggu tiga sisi lainnya sebelum traffic light di posisi saya lampu merahnya menyala kembali. Sesekali saya melempar pandang kepada mas Raka, begitu namanya ketika mengenalkan diri kemaren. Tubuhnya timbul tenggelam diantara mobil dan sepeda motor. Istrinya lebih banyak mengambil tempat di sisi trotoar.

Matahari sebentar lagi akan di atas kepala, saya semakin sering menoleh ke arah seberang. Hingga koran di tangan seorang di seberang bergerak-gerak ke kiri dan kanan. Saya berdiri tegak dan lambaian tangan mas Raka menyuruh saya menuju ke tempatnya. Setengah berlari dengan koran yang masih tersisa di tangan dalam hitungan 10 detik saya sudah berada di dekatnya.

“Gimana mas?capek ya?”,tanyanya sambil mengambil posisi duduk di pagar trotoar.
“Lumayan, maaf ga kejual semua mas”, dengan menyerahkan sisa koran dan lembaran duit dari koran yang terjual saya menjawab.
“Yo ra opo-opo to mas, lagian kan mas hanya ingin merasakan gimana jualan koran to? Ga enak to mas?”, ujarnya sambil melirik istrinya. Si istri tersenyum-senyum saja.
“Ga apa-apa kok mas, sekalian bisa langsung masuk ke inti tentang tujuan saya”, saya menjelaskan panjang sekali lagi kepada mas Raka, bahwa saya ingin mewancarainya. Karena ingin menulis cerita tentang kehidupan penjual koran, suka duka di jalanan, keluarga dan sebagainya. “Owalah mas, saya kira mas ingin ikutan jual koran dari pagi sampai pulang, ra ngerti kalo cuma mau wawancara wae”, dia bicara dengan mimik menyesal.

Tidak ada komentar: