Senin, 19 Januari 2009

Sekelumit Kisah STAN

Pertengahan Januari ini, seorang teman menempuh waktu 30 menit dari Bintaro ke Kebayoran Baru. Acara pertemuan, mumpung saya lagi di Jakarta. Dia teman sekelas waktu SMA. Sekarang kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) jurusan Administrasi Perpajakan. Selain itu, ada juga jurusan Akuntansi Pemerintahan, Bea dan Cukai, Piutang Lelang Negara, Pajak Bumi Bangunan Penilaian dan Pembendaharaan Negara. Saya menunggunya di depan Rumah Sakit Pertamina Pusat.

Dari sana kami ke kantor Pantau di Kebayoran Lama. Ada janji wawancara dengan Siti Nurrofiqoh, staf Pantau. Saya masih harus menunggu mbak Fiqoh datang. Sambil menunggu, saya dan teman duduk di atas gedung kantor Pantau sembari menikmati secangkir kopi. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya kuliah di STAN. Untuk masuk kampus ini standar tesnya tinggi sekali, kemampuan matematika harus kuat. Matematika bagi sebagian anak sekolah adalah momok.

Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Malah saya iri sama anak UI, ITB. UI mungkin lebih bagus dibanding STAN, analoginya jika output UI 200, STAN 110. Itu dengan input yang sama.”
Yang dimaksud output disini adalah dunia kerja, yang mengacu kepada kemampuan analisis. Di UI dan Trisakti juga ada jurusan pajak. Mereka lebih ke teori, STAN lebih unggul untuk pemahaman aplikasi keilmuan. Komposisi mahasiswa laki-laki dan perempuan berbanding 1:3. Memang ada prioritas untuk kaum “adam”.
“Kenapa begitu?”tanya saya.
“Mutasi pekerjaan. Laki-laki lebih gampang untuk berpindah-pindah dibanding perempuan.”

Secara garis besar ada dua macam pelajaran di sana, hitungan dan hafalan. Akuntasi dan Pajak, termasuk jurusan yang paling susah dalam pelajaran hitungan. Sama seperti mahasiswa fakultas hukum yang menghafal begitu panjang barisan undang-undang, mahasiswa STAN tak kalah banyak menghafal tentang pajak. Berkutat dengan angka-angka menjadi makanan sehari-hari. Sangat jarang membahas “dunia luar”, kalaupun ada biasanya mereka berdiskusi tentang dinamika Departemen Keuangan. Mengenai kebijakan yang dikeluarkan terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Karena muaranya setelah mereka lulus akan ditempatkan di Departemen Keuangan, misalnya di Departemen Pajak, Bea Cukai, KPPN atau BKF. Tapi bisa juga di instansi non-Depkeu, seperti BPKP, BPK atau Bapeppam. Sistem kuliahnya bisa dibilang santai tapi ujiannya sangat sulit.
“Pernah awak kuliah hitungannya 3 SKS, seharusnya 4 kali pertemuan, tapi cuma dijadikan 2 jam. Pas ujian, beuhh …,” Renrefli tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah.
“Ya karena tuntutan IPK harus di atas 2.75 bia indak di DO, terpaksa belajar keras setiap sebelum ujian”, sambungnya.

Kebanyakan mahasiswanya adalah orang jawa, hampir sebagian besar. STAN itu untuk orang jawa. Ini isu yang kebanyakan berkembang di kalangan mahasiswa non-jawa. Karena stereotipe sudah terlalu lama dikuasai orang jawa. Renrefli pernah bertanya kepada salah seorang temannya yang baru lulus saat test ketiga kalinya. Orang tuanya lebih senang dia jadi birokrat dengan kuliah yang setelah lulus langsung dapat kerja. Dia menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah budaya jawa, yang menganggap kerja di kantor pemerintahan itu lebih baik.
Kalau benar begitu saya berfiir mungkin ada hubungannya dengan sejarah kolonial Belanda. Penetrasi terhadap budaya jawa. Saya teringat cerita Pram, khususnya beberapa bagian di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.


Tidak ada komentar: