Rabu, 15 April 2009

Ingin Jadi Wartawan

Dilahirkan jauh di Sumatera, selesai SMA merantau ke Jogja. Belum pernah keluar jauh dari Padang. Sembari memikirkan seperti apa daerah yang akan saya tinggali, saya bergairah. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menerima saya untuk menjadi mahasiswa. Satu hal yang paling menarik adalah ketakjuban melihat kereta. Saya naik kereta dari Jakarta ke Jogja, kereta eksekutif malam, pertama kali. Saat SD guru-guru mengajarkan bahwa di Indonesia ada alat transportasi berupa kereta. Tapi saya tak melihat kereta di daerah saya. Mungkin sama dengan guru-guru di Papua, Aceh, Maluku dan lainnya mengajarkan ”ini Budi, ini Ani”. Mereka belajar kereta, becak, Budi, Ani dan lainnya yang tidak ada di sekitar mereka. Saya merasa ada pendidikan yang anti realitas saat itu.

Saya menikmati sekali perjalanan, dan sekarang tersadar. Saya menikmati realitas yang tidak nyata. Di balik kaca kereta disuguhi pemandangan, sawah-sawah terbentang, jika siang hari mungkin ada petani yang sedang mencangkul sawahnya. Lalu jalan-jalan luas yang kelihatan samar-samar. Lampu-lampu rumah yang temaram.

Beberapa saat yang lalu, sebelum menuliskan ini. Saya dan pacar saya mengantarkan teman ke stasiun, dia akan berangkat ke Jakarta. Pacarnya juga ikut mengantar. Kita duduk-duduk di pelataran stasiun Lempuyangan selama satu setengah jam. Bercerita banyak, salah satunya teman itu bercerita tentang kereta.

”Banggalah naik kereta ekonomi, karena saat pemberontakan buruh-buruh di Jawa dari Cirebon hingga Solo, Sragen, orang-orang pada naik kereta ekonomi,” katanya.


Kita bertiga mendengarkan ceritanya tentang Ben Anderson, Kahin, tentang sejarah pergerakan dan nasionalisme. Seorang penulis Ceko, Rudolf Mrazek menuliskan dengan bagus tentang ironi kereta di Indonesia. Dia mengenalkan istilah ”Mooi Indies”. Saat naik kereta kita disuguhkan pemandangan yang indah. Pegunungan, manusia dan segala tingkah polahnya, rumah-rumah dan sebagainya. Dari kaca jendela kereta, hanya dari kaca jendela. Tapi realitasnya, keringat petani yang bercucuran belum tentu dapat dirasakan pahitnya. Begitulah ”Hindia yang Molek”.

Membaca Pram, membuat saya tertarik menjadi manusia. Yang berguna, yang berpikir dan yang menulis.

Perjalanan kuliah saya biasa-biasa saja. Ujian, ke kampus, sesekali berdiskusi dengan teman-teman. Suatu ketika kost saya didatangi seseorang. Dia menumpang di kamar teman kost saya. Karena satu kost, kita lama-lama kenal. Lalu mulai ngobrol, banyak hal. Kebetulan kita sama-sama suka baca buku, jadinya nyambung. Lama dia tinggal di kost, hingga malah menjadi warga kost.

Saya suka karena bukunya banyak. Sering pinjam, kadang juga untuk mengerjakan tugas. Waktu yang pendek itu perlahan membuat saya semakin kenal dirinya. Dia wartawan, dan saya pernah menemani dia liputan. Pagi-pagi jam tiga kita pernah ke Kali Gendol, menunggu para penambang pasir. Saat dia wawancara, saya tertidur di batu besar. Lalu pertama kali kita jalan bareng ke luar, masih sangat lekang dalam pikiran. Saya diajak ke sebuah rumah di Patehan. Saya mengenal Muhidin M. Dahlan di sana, akhirnya saya mengenal bukunya juga. Sekarang kita berteman di Facebook. Marjinal, grup punk di Jakarta juga dikenalkan malam itu.

Sepanjang hari saya sering melihat kartu pers-nya yang tergantung di depan kaca. Mungkinkah saya menjadi wartawan? Itu pikir saya saat itu. Caranya bagaimana, saat saya tanyakan ke dia.

”Kamu selesaiin kuliahmu, dapatkan ijazah dan coba lamar ke media-media. Jangan sepertiku yang ga punya ijazah. Selamanya menjadi wartawan kurcaci,” jawabnya.

Butuh waktu lama kalau menunggu selesai kuliah. Intensitas menulis saya tingkatkan lagi. Biasanya saya menulis di blog. Macam-macam, cerita keseharian, masa lalu, puisi. Tapi jarang menulis tentang hal yang agak serius. Ya, mungkin semacam menulis dalam konteks wawancara atau liputan tentang sesuatu.

Pernah teman saya itu kedatangan temannya lagi, perempuan. Saya dikenalkan, namanya Syafa’atun. Umurnya 32 tahun. Atun menginap di rumah pacar saya. Di luar mengikuti acara pokoknya di UGM, semacam seminar atau pelatihan, kami menyempatkan hangout. Makan-makan dan karaoke. Saya mengantar Atun ke bandara, dia balik ke Jakarta.

Bulan berikutnya Atun sering ke Jogja, dan pasti bertemu kita lagi. Ini membuat kita makin dekat. Teman saya dan Atun ini kenal saat kursus penulisan di Jakarta sekitar tahun 2006.

Saya mengingatkan Atun jika ada informasi tentang kursus penulisan kirim e-mail ke saya. Akhir tahun 2008 saya dapat e-mail. Isinya tentang kursus menulis. Saya jajaki informasi di e-mail dan menghubungi contact person di sana. Negosiasi tentang biaya kursus jadi hal penting. Saya dapat potongan 50 % untuk pembayaran biaya kursus.

Medio Januari 2009 saya berangkat ke Jakarta. Akhirnya belajar jurnalistik juga secara resmi, pikir saya. Kurang lebih dua minggu di sana. Minggu pertama saya diajar Janet Stelle, Profesor dari George Washington University, spesialis sejarah media. Lalu minggu ke dua dengan Andreas Harsono.

Pembahasannya macam-macam. Yang paling pokok kursus ini mengacu kepada Literary Journalism, tetapi tak lepas dari unsur-unsur jurnalisme secara umum. Dasar-dasar dan etika jurnalisme, teknik intervieu dan sebagainya. Saya rasa ini sangat kompleks. Suasana belajar cair. Ada juga penugasan yang diberikan, bahan diskusinya banyak dari tugas yang kami bikin. Pesertanya ada 13 orang, latar belakang yang berbeda, dan saya termuda.

Pulang dari Jakarta, rasanya penuh dan banyak ide-ide untuk menuliskan berbagai hal. Tapi selalu gagal karena tidak ada jalur yang jelas, maksud saya di sini, saya tidak ada institusi. Jadi pertanggungjawaban kerja tidak jelas. Saya coba reportase sendiri, yang jadi penghalang dana untuk liputan. Apalagi jika akan membahas hal-hal yang sensitif, membutuhkan dana yang tidak sedikit.

”Aku Fahri Salam,” begitu teman saya itu mengenalkan dirinya, dulu. Saya menjabat tangannya.

Di Jakarta saya sempat bertemu dengan Fahri sewaktu kursus. Dia mendorong saya untuk mencoba menjadi orang yang praktis. Dia menyarankan agar saya banyak belajar dulu di lapangan. Banyak menulis, mencari kantong diskusi, banyak membaca dan mencoba memulai menulis di koran, untuk rubrik opini mungkin. Tapi saya tidak mau, saya mau masuk ke dalam industri media ini. Saya membulatkan tekad untuk menjadi wartawan. Wartawan yang independen dan tidak menerima amplop.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

GODD!!!
i really never imagine i will meet u in this blue nowhere :)
nice writing brooooo :)
remember me ?? ;)
visit my blog also catatanetja.wordpress.com :D