Selasa, 29 April 2008

Sehari setelahnya

Membaca koran Tempo yang sudah kadaluarsa sehari. Koran bertanggal 27 April 2008, Minggu. Baru aku baca hari ini, Senin. Pas hari minggunya aku sih sudah niat mau beli tapi sampai malam pun,hingga tak seorang penjual koranpun terlihat aku tak membelinya juga. Ternyata aku terkaget-kaget setelah baca di halaman C1 dalam halaman profil. Ada foto seorang penulis katanya, Judulnya Dari Buku, ke Blog, lalu ke Buku. Profil Raditya Dika, susah amat mengetik namanya. Berita di paragraf awal, dan aku rasa metode penulisan profil ini menggunakan metode paragraf deduktif. Raditya Dika mengeluarkan buku ke empat alias terbaru. Entah kebetulan aku sedang membaca buku pertamanya, hihihi baru baca sekarang dengan sepenuh hati. Dulu sih pernah tapi tak begitu menghayati. Buku yang sangat lupus sekali ini meminjam dari seorang teman. Aku agak lupa pernah baca secara lengkap, buku ke dua atau ketiganya? Soalnya agak mirip-mirip gitu judulnya.

Mungkin bisa dicari kemiripan dan jangan cari perbedaannya. Jelas sekali berbeda sih, tapi aku kok menemukan kesamaan judul. Agak sulit membedakannya. Ah pusing! Buku ke dua: Cinta Brontosaurus. Buku ke tiga: Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa. Sepertinya yang ke tiga deh,tapi entahlah. Buku ke empat dengan judul yang sangat aneh: Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang. Aneh sekali, dan aku akan meminjam kepada orang yang ku kenal, tanpa sedikit pun membelinya. Aku berencana untuk mengoleksi buku-bukunya Pramudya Ananta Toer. Itu prioritas utama.

O ya, jadi begini. Sangat menyejukkan sekali kata-kata Raditya Dika dalam profilnya di Tempo itu.
- Radith rutin menulis satu jam sehari sebelum tidur. Meskipun kadang hasilnya buruk, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. "Menulis itu harus diasah dengan pembiasaan," katanya.
Dalam menulis, Radith tak percaya pada mood. "Orang yang bilang menunggu mood sebenarnya alasan untuk tidak menulis," katanya. Bahkan ketka tak ingin menulis, Radith mengungkapkan perasaannya itu dengan menulis juga-
Kata-kata terakhir itu sih sebenarnya yang menyejukkan. Menginspirasi setiap orang. tak terlalu berlebihan atau malah "lebay" sekali. Selamat saya ucapkan kepada Raditya Dika atas kemunculannya di koran Tempo minggu. Menurut saya sesuatu yang prestisius sekali.

Lalu ada berita lainnya, yaitu tentang Ahmadiyah. Kenapa harus Ahmadiyah? Karena saya akan membuat paper tentang Ahmadiyah. Sebagai salah satu tugas Filsafat Pancasila II yang diampu oleh dosen favorit saya Prof.Dr. Kaelan... Tak tahu gelar di belakangnya. Jadi saya akan membuat paper yang rancak, tidak tanggung-tanggung seperti biasanya, karena ini demi dosen favorit saya. Dulu saat kuliah Pendidikan Pancasila saya dianugerahkan nilai A. Dan paper yang saya bikin adalah satu dari tiga paper yang diminta olehnya langsung untuk dipresentasikan. Presentasi tunggal sangat menyenangkan. Banyak yang bertanya untuk penjelasan lebih lanjut atau sekedar mendebat pernyataan saya. Itu lebih baik, dan saya senang karena ada apresiasi dari forum. Biasanya banyak yang senang jika presentasi tak ada yang bertanya. Kemungkinannya ada dua, forum memperhatikan, mengerti dan paper kita sangat lengkap dan sempurna, jadi tak ada yang perlu diragukan apalagi dipertanyakan. Atau forum tak memperhatikan, tak peduli, bahkan cenderung mengabaikan dan menganggap remeh paper yang kita presentasikan. Kebanyakannya, ya forum tak mengurus remeh temeh apa yang kita bicarakan. Menyedihkan bukan? Karena alasan itu lah akhirnya saya mendaulat beliau sebagai dosen favorit saya. Eta pernah mengikuti kuliahnya. Dan saya berencana mendapatkan nilai A di akhir semester untuk kuliah Filsafat Pancasila II.
Sebelumnya saya ingin membahas dan menganalisis tentang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) tapi tak jadi. Karena saya tak punya buku refensi tentang kasus BLBI. Dulu ada seminar tentang BLBI bersama Marwan Batubara, setiap peserta diberi buku tentang BLBI karangan Marwan Batubara tersebut. Saya sengaja datang terlambat dan tak masuk ruangan seminar, karena saya mau mengurus dan menunggu di luar saja. Kebetulan yang mengkoordinasi BEM KM UGM. Setelah seminar selesai menteri Humas dan Media BEM kelihatan memiliki buku itu. Sekarang kalau mau pinjam rasanya tak enak, soalnya saya sudah nonaktif di BEM. Terakhir membaca bukunya Marwan Batubara adalah tentang kasus blok cepu. Sepertinya itu, tapi saya ragu lagi. Hmm...mungkin tentang Exxon Mobil (benar ga tulisannya, agak lupa gitu), kayaknya. Dia berhasil menggugah semangat nasionalisme saya. Kalau untuk mencari referensi berita di koran mungkin bisa dikumpulkan, lagian di situs berita tak sulit untuk mengumpulkannya. Masalahnya sekarang, aku butuh buku referensi.
Berhubung dari tahun lalu aku punya satu buku tentang Ahmadiyah, judulnya Teologi Kenabian Ahmadiyah, ditulis oleh A. Fajar Kurniawan. Menurutku bukunya cukup komprehensif dan objektif dalam menelaah aliran Ahmadiyah. Akibatnya beberapa minggu ini, setiapa membaca koran mataku jarang luput dari tulisan Ahmadiyah. Salah satunya ya di koran Tempo ini. Sebenarnya hanya cukilan berita dalam Majalah berita Mingguan Tempo untuk edisi 28 April - 1 Mei. Wawancara dengan Amien Rais: Ahmadiyah punya hak hidup. Karut-marut persoalan Ahmadiyah memasuki babak baru setelah Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat menerbitkan rekomendasi bahwa organisasi itu menyimpang dari islam dan diminta menghentikan kegiatannya. Pemerinah sedang menggodok keputusan untuk menindaklanjuti rekomendasi itu. Di tengah pro dan kontra yang kembali bergulir, bekas Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais menawarkan jalan tengah karena Ahmadiyah punya hak hidup.
Yah kira-kira begitulah, dan sepertinya aku akan membeli majalahnya. Aku jadi sedikit berfikir kalau manusia punya hak untuk hidup, berarti juga punya hak untuk mati! Untuk mati kapan saja sepertinya tak mungkin. Sama seperti kelahiran dan kehidupan manusia tak punya pilihan untuk dilahirkan dan dihidupkan. Tiba-tiba saja hadir di dunia. Manusia juga tak punya pilihan untuk mati sesuai keinginan, maksud saya menentukan hari kematian. Tak bisa menunda sedikit waktu barangkali. Tapi bagaimana dengan bunuh diri? Manusia bisa menentukan kapan dia akan mati. Ada pengaruh yang menghalangi jika akan bunuh diri, benarkah? Kalau tuhan belum mengizinkan (bagi yang percaya tuhan) maka belum akan mati. Beberapa saat yang lalu aku sempat menonton Long Road To Heaven. Cerita tentang kasus bom Bali. Cukup menarik, dan aku tertarik pada eksekutor pemboman di depan Sari Club tersebut. Guncangan, pertikaian dan permainan moralitas apa yang berkecamuk dalam diri mereka. Ada dua orang. Entah filmnya sama persis dengan kejadian sebenarnya aku juga masih ragu. Tapi untuk membuat film, apalagi seperti ini tentu membutuhkan riset yang sangat kuat dan mendalam. Terlepas dari kebenaran jalan cerita dan kejadian pastinya, tapi film ini menyajikan sisi lain. Seorang supir taksi yang penuh dengan penderitaan mendalam kehilangan saudara. Kebencian yang sangat pada pelaku pemboman, tapi menerima kenyataan dengan sebaik-baiknya cara. Wartawan luar negeri yang gigih meliput berita kasus sidang salah satu pelaku pemboman. Bule yang sangat benci pada pribumi. Pelaku kesehatan yang panik. Banyak hal yang menarik di film ini.
Read More......

Dona dalam kenangan semua Orang

Minggu, 27 April 2008

Kita masih belum tahu mau apa di rumah siang-siang. Mungkin kita akan ke pantai, sejenak untuk refreshing. Kita tak langsung bergerak, masih menyempatkan diri untuk bermalas-malasan. Pukul tiga lewat barulah kita bersiap-siap itupun buru-buru, Eta menyempatkan diri untuk mandi, katanya cuma gebyar-gebyur sebentar saja karena gerah sekali. Ke rumah seorang teman pinjam duit. Eta mengeluh karena masih pilek, dan harus minum obat. Kita singgah di apotik K-24 beli obat. Di ujung jalan Gejayan sehabis dari pasar yang dipinggir jalan itu, beli makanan ringan dan air mineral, Eta tak bisa langsung telan obatnya, harus ada makanan yang menyertainya. Di toko makanan, sepertinya usaha orang Cina, aku masih sempat tanya-tanya jalan ke pantai Baron pada orang-orang di situ. Aku belum pernah ke Baron, Eta pernah tapi lupa jalanya. Sedikit petunjuk: lewat Janti, Ring Road, nanti ada Kids Fun, lurus saja. Perempatan ke dua setelah perempatan Blok O ada pos polisi. Aku tanya polisi, dikasih tahu bagaimana menuju pantai Baron.

Perasaanku tak enak terhadap polisinya, pernyataannya tentang Baron itu jauh sekali dan bertanya apakah akan menginap membuat tak nyaman. Bertanya ke polisi tak harus menyertakan uang pertanyaan kan? Di perempatan itu belok kiri, dan lurus saja. Nanti sampai di Wonosari belok kanan. Petunjuk ke Baron sangat jelas tak akan sulit menemukannya. Jam 4 kita meninggalkan Jogja. Tolol sekali hampir 2 tahun di Jogja aku tak tahu jalan ke Baron. Perjalanannya jauh sekali, medannya berat dan berliku, naik turun, jalannya kecil, berbelok-belok. Jauh sekali, mungkin karena belum pernah kali ya? Akhirnya sampai di Wonosari setelah melewati perbukitan. Di pinggir jalan ada pasar, aku membeli kembang dua ribu rupiah. Banyak! sekantong plastik kecil. Perjalanan dilanjutkan, menurut petunjuk mbah-mbah penjual kembang, sebenarnya bukan mbahnya yang bilang tapi wanita misterius di sampingnya. Katanya nanti ketemu toko Amigo, belok kanan, lurus saja. Sepanjang jalan tak hentinya aku melihat tugu kecil kuning di pinggir jalan. Kalau tugu itu direbahkan seperti tenda pramuka. Berisi petunjuk jarak yang harus ditempuh hingga ke tempat tujuan. Masih ada sekitar 20 km lagi. Alamak! masih jauh.
Aku melayang, berpikir, tak habis pikir. Dona jauh sekali mainnya, sampai sejauh ini. Aku hanya memikirkan itu dari tadi. Akhirnya sampai di pantai Baron. Kesan pertama ku terhadap pantai yang jauh sekali ini, Eksotis dan Mengerikan. Ada aliran sungai di pantai itu. Aku sedikit coba mencicipi airnya, ternyata tidak asin, kok tawar ya? Mungkin air sungai, aku pengen coba air lautnya. Tapi untuk mencapai pinggir lautnya harus melintasi sungai. Kelihatannya tidak dalam tapi tetap aja takut. Keinginan itu tak pernah terwujud mungkin suatu saat nanti kalau ramai-ramai. Sore yang indah di tepi pantai, tubuh kita diterpa angin laut yang sejuk. Sayangnya mendung walaupun di ujung langit masih agak terang kemerahan. Mungkin kalau tak terhalang bukit karang matahari sorenya masih terlihat. Otomatis tak ada sunset. Aku ingin sekali melihat sunset, bersama Eta. Kita naik ke salah satu bukit karang, dari kejauhan terlihat mercusuar yang sudah berputar-putar memancarkan cahaya ke seluruh penjuru. Tak terlalu terang sih sebenarnya. Sangat tak terang, tapi bagus. Naik ke bukitnya kita menapaki tangga bambu. Seperti naik gunung, walaupun hanya beberapa ratus meter. Kita memilih duduk di atas batu. Merokok di pantai itu enak. Sampai malam dan kegelaoan menjelang kita masih di sana. Mataku tak terpuaskan karena tak bisa memandang laut lepas. Saat kita turun, ternyata melenceng agak jauh dari tempat kita naik tadi. Agak aneh, dan memang gelap sekali. Untung tak tersesat jauh, tak terbayangkan kalau sampai memutari bukit, tak turun-turun. Yang ada dalam kepala saat kondisi mencekam itu mencari jalan ke bawah. Semakin ke bawah semakin baik. Semakin gelap. Lega sekali akhirnya menyentuh permukaan tanah di laut.

Waktu mengantarkan kepada prosesi mengenang 40 hari kepergian Dona. Aku berdiri di pinggir air laut, memandang jauh ke depan. Memasrahkan diri, mengingat wajah Dona, menggali setiap kejadian yang pernah kita lalui. Di tempat ini, Dona menghembuskan nafas terakhirnya, di pantai Baron. Digulung ombak yang tak dapat di tahan. Ombak-ombak menari di depan mata, mencoba melahap apa saja yang menghalanginya. Di tempat ini, setelah melewati jarak yang jauh dari Jogja, melewati bukit dan desa-desa. Dona bersiap-siap melepaskan semua kepenatannya, Dona pergi setelah melalui jalan panjang yang melelahkan, pencarian arti yang sebenarnya. Dia kembali padaNya, mohon ampun atas dosanya. Siang yang memasuki malam, malam yang memasuki siang. Tubuhnya telah dimasuki air dan bercampur dengan pasir pantai ini.

Al-Fatihah...
Allahummaghfirlahaa, Warhamhaa, Wa'afihi Wa'fuanha, Wa'akhrimm nuzullahaa, Wawasyi'madqallahaa, Waja'alil Jannata mashwahaa...
Allahummalatahrimna Ajrahaa, Whalataftimna ba'dahaa, Wagfirlanna Walahaa...
Ya Allah hari ini aku di sini mengenang Dona, Empat puluh hari waktunya telah berlalu, setelah kembali padaMu. Berikanlah kelapangan tempat baginya di sisiMu. Ampunilah semua dosanya, karuniakan baginya sorgaMu. Tunjukanlah bagi kami yang masih menunggu hariMu jalan yang benar, jalan yang Engkau ridhoi, termasuk dalam golongan orang-orang yang beriman.
Bersama Eta, Ori, Adik, Gepeng, Heru, Rezi, Ginda, Dena, Esa kami di sini mengenang semua tentang Dona...Semoga damai di sana
Amiin..
Al-Fatihah...

Kuserakkan kembang di tempat ku berdiri.
Read More......

Lomba Menulis sms Cepat

Tanggal 25-29 April di Mandala Bhakti Wanitatama ada pameran buku dan teknologi informasi. Aku dan Eta telah kesana pas hari pertama, bukan saat pembukaaan tentunya. Selepas maghrib kita sudah mengitari tempat tersebut, rencananya Eta akan membeli buku tentang matematika komputer. Ha? kira-kira begitulah. Pastinya aku juga tak tahu konkrit bukunya seperti apa. Tidak judulnya, tidak juga pengarangnya, tidak juga penerbitnya. Sampai semua stand dikunjungi buku yang diinginkan tak juga bertemu. Malah pusing, karena jalannya mutar-mutar. Lumayan bagus, buku-buku di pamerannya. Sayang aku sedang tidak "berpunya" saat itu. Sangat-sangat tidak berduit. Bahkan satu kos-an semuanya dilanda kemiskinan. Bokek berjemaah seperti diungkapkan seorang teman, yang dengan penuh keprihatinan mengutarakan kata-kata yang sangat menyakitkan itu tentunya.

Setidaknya kalau masih ada dua orang, bahkan mungkin satu orang saja yang punya duit berlebih sehingga dapat dipinjami. Orang itu tentu sangat bahagia mungkin, karena punya banyak piutang dimana-dimana. Salah satu cara menabung yang baik adalah meminjamkan uang kepada teman. Anggap saja kita menyimpankan uang kepunyaan kita kepada orang lain, dan suatu saat akan balik lagi. Walaupun dalam jangka waktu yang lama, syukur-syukur sebentar. Tak apa, sesuai prinsip awal anggap saja menabung. Tapi sepertinya jadi masalah jika kita juga mencari utangan ke teman yang berbeda. Utang ditagih, dan berharap-harap cemas, piutang kita akan dikembalikan. Malah jadi gali lobang tutup lubang.
Karena itulah akhirnya tak bisa membawa pulang dua atau tiga buku dari pameran ini, sampai pameran ini selesai, sepertinya tak akan ada buku tambahan. Pameran buku adalah saat dimana kita mendapatkan buku-buku murah. Harganya sedikit lebih murah dibanding di Toga Mas, dan yang pasti lebih murah dibandingkan GRAMEDIA. Tapi malam ini sepertinya sama saja, tak berbeda jauh. Mungkin yang dapat dibanggakan dari suatu pameran adalah kita dapat mencari buku yang jadul sekali. Buku yang sangat lama. Buku yang sudah bertahun-tahun di lemari dan berbau ngengat. Bau buku seperti itu khas sekali, seperti pertama kali membuka roti kaleng dari plester yang membalurinya, lalu dicumbu dengan sepenuh hati. Di Padang namanya roti kaleng, di Jawa aku tak tahu. Soalnya belum pernah beli. Suatu saat aku akan membelinya bersama Eta.
Sepertinya membeli buku komputer itu harus yang terbaru, semakin baru semakin baik dan lengkap. Beda agaknya dengan membeli buku sosial humaniora. Semakin dulu kala semakin dicari, jika didapatkan hati akan berbunga-bunga. Buku Madilog, Tan Malaka ku belum kembali, tertinggal bersama seorang seniorku waktu SMP dan SMA. Aku merasakan gelagat dia tak akan mengembalikan bukunya. Jikalau sempat aku pulang aku akan melacak keberadaannya dan meminta buku itu kembali. Bukunya kan susah dicari!!!!!!!! Aku mendapatkannya juga dari turunan seseorang yang tak pernah kukenal. Mungkin aku keturunan kesebelas dari pemiliknya pertama dulu. Aku mencoba membantu Eta mencari buku yang dibutuhkannya itu. Penerbitnya apa? Andi Offset jawab Eta. Mohon maaf kalau terdapat penulisan nama dan gelar. Andi Offset punya stand yang lumayan luas, dan dijejali banyak buku. Tak satupun buku daripada kebutuhan Eta. Kalau penerbit buku teks wajib zaman SD, apa hayo?? Benar jika ada yang menjawab Balai Pustaka. Di SMP pun masih ada sepertinya. Buku balai pustaka tidak dijual dan diperbelikan. Milik Pemerintah. Setiap tahun ajaran baru buku bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dipinjamkan perpustakaan sekolah. Saat aku SD masih dipakai, SD zaman sekarang tak tahu. Banyak buku Erlangga atau Grasindo, atau apalah. Sepertinya agak bagusan. Sebelum penerimaan raport buku yang di tempatku disebut buku wajib itu harus dikembalikan lagi ke perpustakaan dan mendapat imbalan secercah kertas tanda bebas pustaka. Fungsinya untuk mengambil raport. Waktu aku SMP ditambah dengan menjilid soal-soal ujian saat Ujian Semester. Menyebalkan sekali kelihatanya dari sekarang. SMP dan SMA dendam ku terhadap buku teks pelajaran yang bagus semakin menjadi-jadi. Tak dapat ditahan-tahan akhirnya aku mencuri buku-buku di perpus, tak hanya buku Balai Pustaka tapi semua buku yang bagus menurutku. Kebanyakan sastra dan roman-roman lama. Chairil Anwar, Hamka, Mochtar Lubis, Nur.ST Iskandar, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana dan kolega-kolega penyastra lainnya aku tawan di rumah. Putu Wijaya dan Taufiq Ismail lainnya tak luput dari target operasi Intelectual crime ku. Aku berdalih kenapa bukunya tidak diperjualbelikan, kalau dijiual pasti aku beli. Karena tak dijual aku curi saja. Dan bukunya kan tak cuma satu, ada beberapa eksemplar, sekolah tak akan rugi. Itu hanya hipotesa dariku, sebenarnya aku sadar sekali tindakan ku salah. Karena aku belajar di filsafat aku ragu itu salah apa benar. Tapi esensi dan fungsi filsafat adalah mencari kebenaran. Aku belum betul-betul mendapatkan "berfilsafat". Dengan kekerasan hati aku belum bilang itu salah. Dan belum berhak juga mendapat hukuman. Elegan sekali gaya dan penampilanku saat melakukan aksi pendosa itu. Dengan tatapan khas ku, dengan tidak banyak omongku, dengan ke-Rangga-an ku, dengan ketakutan-ketakutanku, dengan semua ketidakpercayaanku pada semua orang di sekolah terlebih di SMA aku melangkah anggun dengan buku yang kuselipkan di dalam celanaku. Rasakanlah! hahaha! Aku melihat dalam bayanganku, cara menatapku dulu sama dengan tatapan Eta sekarang. Penuh ke-skeptis-an. Indah, indah sekali. Eta ditambah dengan cemberut di bibir mungilnya. Eta cantik sekali. Aku pernah bilang ke Eta "Ta aku panggil kamu SEA (laut) ya? nama panggilan untukmu dariku!" "kenapa?", jawab Eta. " Bagiku kamu itu seperti laut, lepas, luas dan tak bisa ditebak. Kamu penuh kedamaian selalu menyejukkan cocok lah kalau laut warnanya biru.Yang paling penting laut itu indah. Sama sepertimu di mataku" "Aku sebenarnya mau manggil kamu pantai, tapi sepertinya tak enak diucapkan. Beach kan bahasa Inggrisnya. Nanti pengucapannya malah jadi bicth. Masa' aku panggil kamu bicth ".
Dari awal saat melihat baliho dan spanduk Pameran Buku dan TI ini, aku dan Eta sudah berniat akan mengikuti training jurnalistiknya. Pada kenyataannya, telah diputuskan kita tak akan mengikuti pelatihan jurnalistik tersebut karena kontribusinya sangat mahal, lima puluh ribu rupiah. Kecewa, tapi tak terlalu, karena ini bukan yang terakhir kalinya, Jogja masih diantri untuk training-training berikutnya. Tapi hal ini mengajarkan hal penting bagiku, yaitu berhemat. Menabung dan berhemat, ya itu! Menabung sepertinya tak mungkin, apa yang mau ditabungkan? Semuanya cukup sampai kedatangan uang berikutnya, tak banyak berlebih. Tapi sepertinya bisa kok, ada titik terang di setiap keinginan. Sangat misterius jika tak bisa dibilang bisa. Eta bahkan juga akan menabung. Aku lihat di blognya, tulisan tentang menabung. Untuk selanjutnya setiap uang di tangan akan ada perincian yang jelas, anggarannya harus jelas jangan sampai kecolongan dan terombang-ambing seperti sekarang.
Ada acara menarik dan kreatif sekali. Lomba menulis sms cepat, bagi pemenangnya akan disediakan hadiah menarik. Mudah-mudahan bukan payung cantik. Setelah aku dan Eta bertanya ke information. Kata informasi itu keren sekali. Mungkin sama dengan kata Kangen. Jadi Informasi=Kangen. Sebuah handhone adalah hadiah yang menarik itu. Sebuah handphone moto... Saya tak bisa menyebukan secara lengkap karena saya terikat kontrak dengan Sony Ericsson sampai rusak. Mungin diperpanjang hingga masih bisa digunakan untuk sms atau menerima telfon, hmm kebetulan menelfon, sepertinya jarang sekali terjadi. Putus kontrak ketika keypadnya benar-benar tidak berfungsi lagi, speaker pecah sehingga suara tukang telfonnya bercabang tiga, atau layarnya sudah tak penuh. Temanku ada hpnya yang layarnya tak penuh. Setiap mengirim sms pasti bagian atasnya kosong, perkiraanku 3 kali memencet tombol ke bawah, informasi darinya baru kita dapatkan. Nah kadang informasi itu ada unsur-unsur ke-kangen-an. Akhirnya aku menemukan korelasi antara kata informasi dan kata kangen. Eta semangat sekali ingin ikut, sampai mau latihan dulu. Sekarang tanggal 28 April, besok hari terakhir pamerannya. Entah besok lombanya masih diadakan atau tidak aku tak tahu. Kesempatan terakhir adalah besok, selasa 29 April 2008. Eta sepertinya tidak terobsesi pada pencapaian tercatat dalam rekor MURI sebagai pembuat sms tercepat. Eta itu orangnya penasaran, dan suka hal-hal yang lucu. Yah salah satunya ini, lomba sms tercepat. Tak terbayangkan betapa menggemaskannya jika Eta jadi mengikuti lombanya.
Read More......

Solo ke 2

Ke Solo lagi bersama Eta. Tiba-tiba aja, walaupun hampir tak jadi.Menurutku tak akan jadi masalah kalau di antara kita mengerti satu sama lain. Penyatuan persepsi itu terkadang memang sulit, perbedaan mendasar berputar-putar dalam ke-bias-an.
Aku hanya berusaha mendorong Eta untuk lakukan apa yang diinginkan. Tak akan seperti pungguk merindukan bulan, karena apa yang diinginkan itu dekat sekali, tak terlalu jauh.

Hanya kaki yang perlu di langkahkan lebih jauh. Sementara aku meninggalkan sesuatu diantara apa yang semestinya aku tinggalkan dan apa yang seharusnya tidak aku tinggalkan. Eta meninggalkan apa yang seharusnya dia tinggalkan. Faktor prioritas tentunya. Permainan-permainan perasaan terus saja belum tentu akan berakhir. Selalu mudah untuk memulai sesuatu yang baru. Kekuatan yang paling besar ketika bisa menghabiskan ketetapan waktu saat mengatasi ketakutan. Perasaan tak diterima dalam lingkungan, selalu ditolak untuk melakukan serangkaian kreasi-kreasi baru. Semuanya tertumpuk di pendaran idea-idea, mengkompromikan rasa dan kesempatan. Sangat sulit saat mentransformasikannya ke materi dan immateri.
Konkritnya dulu aku punya keinginan untuk mengadakan sebuah musikalisasi puisi. Tak ada orientasi apapun, tak juga demi mencari sensasi, tak untuk penggalangan dan sosial. Sesekali kita juga harus berpikir pragmatis. Untuk mengadakan kegiatan kecil ini, dana yang dibutuhkan tak kecil. Kalaupun ada hasilnya, untuk menutupi ongkos pengadaan dan perlengkapan mungkin tak cukup. Keuntungan materi tak akan didapat. Lebih dari itu kepuasan ekspresi jauh lebih penting. Hal-hal yang memberi keuntungan kemudian dapat dianggap bonus saja.
Read More......

Aku

aku tak punya sikap sekarang, bukannya tak berani mengambil sikap tapi tak tahu harus bersikap. Yah terkadang dan seringkali hidup memang sangat aneh. Sudah dekat tapi selalu terasa jauh, sudah di sisi tapi seakan mati. Dia yang mengubah sedikit ritme kehidupanku. Aku bukan orang yang berada di jalan yang benar sebelumnya, dan bukan juga orang yang berada di jalan yang salah. Aku melaju di koridor yang ku tentukan sendiri, merasa tak pernah terombang-ambing, tapi mungkin saja sedang di oper kesana kemari. Selalu merasa jemu, selalu merasa ada yang kurang, selalu merasa belum tepat posisinya. Itu saat aku belum bersamanya.

Ketika aku menghadirkan diri dalam dirinya, dia menerobos jauh ke dalam hati. Apakah benar? Hanya dia yang tahu. Dia membawa kesejukan, membawa angin segar dalam hidupku. Dia menumpahkan sumpah serapahku, semuanya tanpa ada yang harus tersisa, untuk hari esok mungkin. Tapi tidak baginya, hari ini semuanya harus habis. Kegamangan-kegamanganku, dia mempelajari sesuatu untuk media pelajari itu. Aku tak pernah menyelesaikan perkataanku, karena dia tahu apa yang akan aku katakan, walaupun aku agak mengecewakan seperti menghindari, tanpa perlu suatu pembahasan yang tak tergantung dalam bingung.
Dia selalu benar, tak ada keegoisan, makanya aku semakin segan dan bertambah-tambah pemujaanku terhadapnya.

Ingat suatu yang konkrit, saat dia memberiku makan. Dia memasakkan apa yang ku makan. Energi setelah aku makan aku transformasikan ke dalam formula-formula pikiran. Bagaikan sebuah jeruk jatuh dari pohon kelapa beberapa meter dari rumahnya.
Read More......

Andrea Hirata

MP Book Point, Jalan Kaliurang, Yogyakarta
19 April 2008

Selepas shalat Isya, Andrea Hirata hadir di hadapan orang-orang yang mengeluarkan duitnya lebih dari dua puluh ribu rupiah untuk mendapatkan sebuah tiket demi pertemuan ini. Prosedurnya satu buku terbitan Bentang untuk satu tiket. Tanpa paksaan pun aku merelakan empat puluh ribu rupiah demi sebuah tiket, Eta lebih dari enam puluh ribu, padahal kondisi keuangan kita sekarang sedang sulit, kemungkinan sampai akhir bulan tak akan ada perubahan. Malam ini orang tua Eta datang, mudah-mudahan ada tambahan duit buatnya. Aku akan coba minta ke orang tua ku, dengan berbohong tentunya. Tapi sepertinya tidak, aku akan bilang untuk memperbaiki motor. Dan bukan kebetulan lampunya mati setelah acaranya selesai, sesaat meninggalkan MP Book Point. Hujan mungkin jadi penyebabnya. Sepertinya tak penting untuk dibahas.

Tak ada getaran yang istimewa. Tampang Andrea terawat, rapi, putih, tak ada bekas jerawat di wajahnya. Orang di depanku inilah yang pernah berpacaran dengan orang Jerman, Katya namanya. Oleh Katya dipanggil baby. Menurut Andrea sendiri Katya membuat dirinya merasa ganteng. Ceritanya ada di Edensor. Ketika ada yang menanyakan mana yang lebih cantik Katya atau A Ling, Andrea memilih A Ling.

Sleeping Giant, menurutnya pembaca buku di Indonesia karakternya seperti itu. Kadang kala aktualisasi karya bisa menjadi snow ball effect. Kira-kira seperti itu. Dia berbicara melompat-lompat, tidak jelas arah tujuannya. Dia mengaku lelah dengan semua aktivitas dan jadwal yang diatur manajemennya. Kebosanan yang teramat sangat harus menghadiri semua undangan bedah buku Laskar Pelangi. Telah lebih setahun, ketika Laskar Pelangi mulai dihadirkan di sekolah, kampus, toko buku atau instansi pemerintah. Pertanyaan lucu ketika Andrea dicibir karena tak merasa di kapitaliskan oleh penerbit. Andrea menjawab dengan pembahasan tentang idealisme, idealis menulis tentunya. Kalau tidak ingin dianggap kapitalis, karena merasa menjadi penulis yang idealis, jangan pernah memberikan tulisan kepada penerbit. Tulis sendiri, terbitkan sendiri, baca sendiri. Terbitkan 10 eksemplar dan berikan pada teman. Eksklusive sekali karena diterbitkan untuk kalangan terbatas. Aku menangkap kesan emosional dari Andrea, dan sedikit basa basi tentunya dengan memberikan pujian kepada penerbit bentang.

Mungkinkah teori pribadi Andrea akan benar. Dia mengungkapkan masa depan sasra berada di tangan ilmuwan, bukan sastrawan. Kalaupun Laskar Pelangi bisa disebut karya yang tendensius, Andrea mengharapkan setelah proses flmnya selesai. Satu-satunya harapan adalah saat penonton pulang ke rumah, lalu bercermin dan menyadari ternyata dia (perempuan) cantik. Pertanyaan-pertanyaan seputar film sama sekali tak banyak. Andrea hanya bercerita tentang peran buaya yang sampai sekarang belum ada yang mengisi. Bukan berarti buayanya diperankan manusia, tapi caranya bercerita tentang casting untuk mendapatkan buaya yang cocok untuk filmnya itu demikian lucu. Sama dengan caranya bercerita dalam novelnya. Udik, lugu, lucu, penuh kepolosan.

Andrea mencoba membawa kepada per-prasangkaan yang baik, ini hubungannya dengan pertanyaan apa Andrea tak merasa dikapitaliskan penerbit. Dia memaparkan 40% penjualan sebuah buku diambil oleh outlet atau toko buku, hanya 10% untuk penulis dan 30%untuk percetakan. Sisanya yang 20% untuk penerbit. Andrea mungkin tak kapitalis dalam hubungannya dengan penerbit. Tapi kapitalis karena popularitas. Ini pengertiannya lain, konsekuensi sebuah ketenaran tentu kesibukan, tak bisa dihindari. Bahkan Andrea sempat hadir dalam acara Indonesian Movie Award belum lama ini. Bergandengan dengan Mira Lesmana mengumumkan nominasi dan pemenang sebuah kategori penghargaan. Andrea telah memasuki ranah selebritas. Jangan mengartikan arti kata kapitalis tadi dengan sempit. Hanya kekhawatiran Andrea berubah karena terkontaminasi dunia keartisan, hilang keluguan dan kesederhanaan. Kepedulian Andrea pada dunia pendidikan dan kemajuan bangsa mengatsi semua kemungkinan buruk. Betapa tidak, mungkin penting sekali saat Andrea bilang dunia buku jangan sampai seperti dunia televisi.

Pertanyaan yang tak sempat diungkapkan, walaupun sudah ber-kongkalingkong dengan MC acara nya:
- Bagaimana kondisi ibu sekarang? Saya dan tentu semua yang di sini ikut mendoakan ibu anda berangsur pulih dan baik-baik saja.
- Saya terkejut melihat kehadiran anda di Indonesian Movie Award kemarin. Selamat anda memasuki dunia selebritis. Hati-hati!

Tak ada sesi book signing, selesai dan menutup kata-katanya Andrea berlalu kabur begitu saja.
Read More......

Minggu, 13 April 2008

Slank

Jiwa Slanker's ku terbakar saat melihat berita di TV siang ini, Rabu 9 April 2008. Anggota DPR memprotes lagu Slank yang dinilai mencederai kredibilitas lembaga rakyat tersebut. Lagu yang di permasalahkan adalah "Gosip Jalanan" didalam album PLUR. Bukan di kali ini saja Slank mengarang lagu yang mencoba melihat realitas dalam kehidupan dinegara, masalah sosial, politik dan fenomena dalam kelangsungan kehidupan bangsa ini. Sebelum Gosip Jalanan di album PLUR yang dirilis sekitar tiga tahun lalu itu, sudah ada juga lagu sejenis yang coba mengungkapkan kepedulian terhadap kondisi bangsa terkait dengan pemerintah atau "orang-orang di atas sana". "Hey Bung", "Feodalisme", "Birokrasi Complex" di album Generasi Biru(1994). Walaupun tak langsung mengenai titik "kesadaran" seperti lagu "Gosip Jalanan", setidaknya interpretasi dari tiga lagu di atas cukup untuk menjadi alat kritik.


Perhatikan lirik lagu Gosip Jalanan:

Pernah kah lo denger mafia judi
Katanya banyak uang suap polisi
tentara jadi pengawal pribadi

Apa lo tau mafia narkoba
keluar masuk jadi bandar di penjara
terhukum mati tapi bisa ditunda

Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir2 berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan

Kacau balau ... 2x negaraku ini ...

Ada yang tau mafia peradilan
tangan kanan hukum di kiri pidana
dikasih uang habis perkara

Apa bener ada mafia pemilu
entah gaptek apa manipulasi data
ujungnya beli suara rakyat

Mau tau gak mafia di senayan
kerjanya tukang buat peraturan
bikin UUD ujung2nya duit

Pernahkah gak denger triakan Allahu Akbar
pake peci tapi kelakuan bar bar
ngerusakin bar orang ditampar2

Konser mini Slank di halaman gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 26 Maret 2008 pukul 13.30 tersebut membuat DPR sebagai lembaga legislatf meradang. Aksi konser grup Slank ini sengaja diadakan karena undangan dari pihak KPK untuk mengampanyekan anti korupsi. Salah satu bait lagu yang dianggap langsung menuding kehormatan DPR, ditanggapi oleh anggota DPR dengan akan mengajukan tuntutan terhadap Slank. Entah kenapa tuntutan itu urung dilaksanakan. Takut dengan massa Slank yang jutaan, takut dengan opini masyarakat yang sebagian besar mendukung Slank atau memang takut karena salah?
Slank hanya mencoba memaparkan realita yang ada dalam kehidupan "bangsa" ini, kita tak usah munafik, tidak hanya Slank satu-satunya. Ada yang lebih vokal dan Vulgar mengejek kehormatan orang lain, yang coba menghancurkan integrasi bangsa ini. Bahkan yang berani menjual kehormatan bangsa! Slank hanya berkreasi dengan caranya sendiri. Salah dan tidak beradab menurut DPR, ajari Slank dan kami slankers untuk bisa beretika. Ajari diri untuk coba beretika, untuk lebih peduli kepada rakyat, untuk tidak jadi bebal, untuk tidak tidur waktu sidang rakyat, untuk tidak sibuk smsan menjalankan bisnis waktu sidang rakyat.
Lalu melebar ke permasalahan kata-kata "selangkangan", "lendir". Salah satu anggota DPR heran dengan Slank yang dimanageri oleh seorang wanita berjilbab. Mempertanyakan apa tidak diajari untuk membuat lirik yang santun. Bertanya pada anggota keluarga, semua famili, menjalankan bisnis dengan halal, berusaha dengan jujur, tak korupsi, tak menginjak-injak kepentingan orang lain, tak mengorbankan orang lain, tak mencemari lingkungan, bertanya anak laki-laki apa tak menghamili perempuan, bertanya apa anak perempuan tak hamil di luar nikah.
Ah pusing!

Momen yang tepat saat hangatnya kasus ini, tiba-tiba ada anggota DPR yang ditangkap karena dugaan penyuapan. Seperti yang dibilang anggota DPR, biar masyarakat yang menilai lirik-lirik lagu Slank. Persepsi masyarakat langsung terbentuk saat hal ini terjadi. Percaya atau semakin tak percaya? Masyarakat disuruh menilai sendiri, hihihi... Topik minggu ini SCTV dalam fotingnya "apakah anda percaya Slank atau DPR?" 99,0.. memilih SLank, 0,.. DPR dan 0,.. memilih tidak tahu. Hmmmm... bagaimana ya? Album Plur tahun 2004, lirik lagu "Gossip Jalanan" ternyata terlalu eksplisit dan menyinggung etika, terang-terangan menohok kubu legislator.
Read More......

Selalu

aku tak punya sikap sekarang, bukannya tak berani mengambil sikap tapi tak tahu harus bersikap. Yah terkadang dan seringkali hidup memang sangat aneh. Sudah dekat tapi selalu terasa jauh, sudah di sisi tapi seakan mati. Dia yang mengubah sedikit ritme kehidupanku. Aku bukan orang yang berada di jalan yang benar sebelumnya, dan bukan juga orang yang berada di jalan yang salah. Aku melaju di koridor yang ku tentukan sendiri, merasa tak pernah terombang-ambing, tapi mungkin saja sedang di oper kesana kemari. Selalu merasa jemu, selalu merasa ada yang kurang, selalu merasa belum tepat posisinya. Itu saat aku belum bersamanya.


Ketika aku menghadirkan diri dalam dirinya, dia menerobos jauh ke dalam hati. Apakah benar? Hanya dia yang tahu. Dia membawa kesejukan, membawa angin segar dalam hidupku. Dia menumpahkan sumpah serapahku, semuanya tanpa ada yang harus tersisa, untuk hari esok mungkin. Tapi tidak baginya, hari ini semuanya harus habis. Kegamangan-kegamanganku, dia mempelajari sesuatu untuk media pelajari itu. Aku tak pernah menyelesaikan perkataanku, karena dia tahu apa yang akan aku katakan, walaupun aku agak mengecewakan seperti menghindari, tanpa perlu suatu pembahasan yang tak tergantung dalam bingung.
Dia selalu benar, tak ada keegoisan, makanya aku semakin segan dan bertambah-tambah pemujaanku terhadapnya.

Ingat suatu yang konkrit, saat dia memberiku makan. Dia memasakkan apa yang ku makan. Energi setelah aku makan aku transformasikan ke dalam formula-formula pikiran. Bagaikan sebuah jeruk jatuh dari pohon kelapa beberapa meter dari rumahnya.
Read More......

Sabtu, 05 April 2008

Being

Perjalanan hidup yang paling menggetarkan sampai saat ini sedang beputar-putar mengelilingiku. Tak pernah aku sangka akan mengalami banyak hal seperti yang aku hadapi sekarang. Semuanya berjalan tanpa pernah bisa aku bayangkan, jangankan untuk membayangkannya, memikirkannya pun tak pernah. Sungguh aku merasakan rasa sayang yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ada perasaan pasrah dan begitu tenang tentang semua ini. Aku merasa jiwaku telah menyatu sehingga tak sedikit pun berfikir tentang materi, substansi dan realitas semu. Yang ada aku sedang berada dalam realita-realita yang tak terjangkau, melebihi batas daya kemampuanku. Hingga suatu saat apakah aku akan menemui potongan mozaik-mozaik kehidupan atau tidak di suatu masa pada masa depan. Aku masih menatap ke depan jauh mengejar apa yang seharusnya aku cari.

Di usia ku yang ke dua puluh sekarang, aku mencari-cari jawaban apakah sudah pantas waktunya padaku untuk menikah? Apalagi yang harus kucari dalam hidup ini. Itu dasar pertimbangan yang belum tentu benar jika aku tanyakan ke orang tua, atau sahabat-sahabat ku. Menikah tidak semudah yang pernah aku pikirkan tidak seperti yang pernah alami, walaupun sekian banyak pengalaman yang telah kulalui.
Aku coba memikirkan aspek-aspek "kesulitan" itu. Tanggapan orang-orang di kampungku, apa yang mereka pikirkan kalau seandainya itu terjadi. Bisa-bisa mereka berfikiran kalau telah terjadi sesuatu denganku, untuk menutupi kekeliruan yang ku perbuat maka dilangsungkanlah pernikahan di usia yang masih sangat muda. Di belakang tentu ada pergunjingan tentang itu semua, bersusah payahlah orang tuaku menutup telinga dari panasnya bisik dan gosipan yang bakal tersebar luas. Kredibilitas keluarga baik-baik akan tercoreng dan betapa malunya orang tuaku atas apa yang aku perbuat.
Masih bisakah aku untuk melanjutkan proses kreatif. Maksudku dalam hal ini adalah interaksi dalam organisasi. Sampai saat ini aku terlalu menikmatinya. Ternyata jiwa dan karakterku ada di organisasi. Katakanlah seperti BEM sekarang. Kalau aku menikah apakah semua ini akan menjadi penghalang dalam tujuan yang belum tercapai dan sampai pada akhirnya.
Lalu kehidupan setelah menikah itu seperti apa, aku juga tak tahu. Tak pernah aku baca buku segala petunjuk ataupun kumpulan bunga rampai segala hal tentang pernikahan. Yang ku tahu, aku hanya melihat beberapa orang di sekelilingku. Sepertinya dari penglihatanku itu, begitu teraturnya hidup. Satu hal yang mengintari adalah tangung jawab. Pantaskah aku memikirkan ini semua? Aku semakin bingung, sangat bingung. Aku melankonis, aku patah, aku bodoh, aku akan ditertawakan orang di sekitarku. Tapi apakah ada kesalahan tentang semua ini? Dalam kepala ku sekarang terbayang untaian kata yang akan aku terima. Seseorang berkata padaku “aku saja yang dua, empat, lima bahkan tujuh tahun usianya di atas Mu, tak pernah punya pikiran untuk menikah. Ha? Sedangkan kau? Ada-ada saja kau, pantaslah kau bercermin! Selesaikan saja lah kuliah mu dulu! Sekolah yang benar! Orang tua Mu jauh-jauh menyekolahkan kau bukan untuk menikah, bukan untuk memikirkan hal yang demikian. Saranku, kau cuci saja otakmu! Kau coba pergi ke pantai, atau naik gunung. Siapa tahu kamu insyaf dengan pikiran bodohmu! Ingat orang tua Mu!" Atau
“An, An, hahaha…pikiran Mu itu lo! Hahaha….mbok yang benar-benar saja. Tapi diam-diam aku salut juga padamu. Kecil-kecil dah mau nikah. Hahaha…”

Aku masih ingat ketika aku dan Boeli ngobrol di bus pulang dari Cisalak. Aku tanya, “Boel, kenapa engkau nggak punya pacar?” “dilarang dokter,” katanya sambil senyum. Kami sama-sama tahu siapa dokter itu. Dia adalah perjuangan kami. Dengan Jopie juga aku pernah berdialog yang sama di Kebayoran. “Aku kira pada akhirnya kita harus memilih, apakah kita mau menjadi pastor atau domine. “Aku katakan pada dia bahwa aku tidak ingin punya pacar dalam keadaan sekarang, karena aku tidak ingin membawa pacarku dalam kehidupan keras dan kejam. Dan aku tak mau terikat, agar aku bisa terus dinamis. Aku hanya mau pacaran kalau dia mengerti dengan keadaanku. Bahwa bagiku perjuangan lebih penting daripada materi. Dan jika tidak kebetulan kita tak akan menemui wanita semacam ini. “Mungkin kita tak pernah cross path dengan wanita seperti itu”. Aku kemudian menceritakan tentang Ripto dan isterinya. “Mereka adalah mahasiswa Unpad. Rito adalah manusia tipe saya juga. Dan suatu ketika dia jatuh cinta dengan rekannya, seorang mahasiswi. Ripto berhasil mengubah sifat-sifat pacarnya sehingga pacarnya menjadi pendampingnya yang setia. Mereka sekarang sudah kawin. Pernah aku ketuk kamar tidur mereka jam dua belas malam karena ada suatu soal. Dan isterinya tidak marah. Ketika suaminya ditangkap karena soal-soal rusuh di kalangan mahasiswa, isterinya tidak mengeluh dan tetap tenang. Secara kelakar pernah aku katakan padanya bahwa aku iri padanya dan senag sekali kalau aku bisa dapat isteri seperti isterinya. Dan ia hanya senyum saja. Jopie terdiam, mungkin dia lagi in the mood (Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran).

Beberapa hari yang lalu aku pernah berdebat dengan Supardjo, seorang fanatik Katolik tapi bagiku baik. Aku mempertahankan bahwa tujuan perkawinan sebenarnya ialah nafsu. Mereka bukan hendak melanjutkan keturunan atau tugas dari Tuhan. Tapi hal itu dibantah dengan keras olehnya. Dia tidak mau mengakui bahwa wujud manusia tidak lebih tinggi dari anjing. Aku kira tak usah dijelaskan pendirian Supardjo kawanku yang baik itu. Karena pendiriannya umum dan sesuai dengan pendapat gereja Katolik.
Aku kemukakan alasan-alasan sebagai berikut: Kalau kita bersetubuh apakah yang dipikir, puas atau keturunan. Aku yakin 99% memikir yang pertama. Bagiku mustahil pendirian yang kedua, walaupun aku tak sangkal. Perkawinan bagiku identik dengan perhubungan kelamin. Jadi identik pula dengan nafsu. Manusia itu sadar akan hal ini. Tetapi mereka malu dan segan mengakui fenomen ini. Mereka malu disamakan dengan kemenakannya. Jadi bagiku tak ada tujuan perkawinan buat apa yang disebut cinta dengan variasi-variasinya yang nonsens. Jadi perkawinan didorong oleh naluri biologis. Dia tak dapat membantah tetapi dia yakin kebenaran pendiriannya. Bagiku cinta bukan perkawinan. Kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta = nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar bila kawin. Aku pun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, adan aku yakin itu bukan nafsu. Aku jadi ingat omongan si Bun Som. Dia pernah bilang bahwa dia punya kawan. Kawan itu jatuh cinta dengan gadis yang merupakan ideal type-nya. Lalu dia bilang pada Bun Som: “Aku tak mungin mengawininya, sebab kalau kau kawin aku tak tega menyetubuhinya. Paling banyak aku cium”. Dia tak mungkin mengadakan hubungan kelamin sebab baginya Ubermensh-nya (istilah yang dipopulerkan oleh filsuf Jerman Freidich Wilhem Nietzche (1844-1990) yang artinya seseorang superior yang diidealisir, manusia yang dominan yang diangap sebagai tujuan terakhir perjuangan untuk tetap hidup; seseorang yang memeliki kekuatan”superhuman”) suci dan mau dikotori. Aku yakin inilah cinta sejati (Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran).

Tak aku telan mentah-mentah, sungguh aku merasa sangat tertarik. Kata-katanya begitu masuk menusuk. Interpretasi seperti apa, aku juga tak mengerti harus bagaimana menempatkannya. Yang jelas aku begitu menikmatinya. Aku masih ingat waktu bang Fahri Salam berkata padaku. Saat itu kita sedang duduk di kamarku, sayup-sayup mengalun lagu Belum Ada Judulnya Iwan Fals. Bang Fahri sempat berbicara seperti sedikit menerangkan tentang cerita di lagu itu. Lagu yang menumpahkan semua kegelisahan, kekecewaan, atau jangan-jangan mungkin ada sedikit pengkhianatan. “Bagaimana kalau kau bikin skripsi tentang lagu ini? Ya kau mesti mengkaitkan dengan unsur-unsur filosofis, jangan sampai melenceng jauh ke estetika sastra dan musik. Tapi jadikan sastra dan musikalitas itu sebagai koridornya” katanya padaku. Menarik aku pikir. “Kegelisahan dalam lagu Belum Ada Judul-nya Iwan Fals korelasinya dengan aliran vitalisme Nietzche” hahaha judul yang menarik, menggugah semangat. Aku balik bertanya pada bang Fahri, “kenapa tidak kau saja yang menelitinya, bang?” “Ah! Aku tak seperti kau, tak punya dana untuk melakukan perjalanan jauh, lalu hidup di seputaran Jakarta sampai aku mendapatkan datanya. Tak mungkin sebentar, butuh hari yang panjang”. Sempat dia menghela nafas dan berfikir akan mengeluarkan kata-kata berikutnya. “Aku bukan mahasiswa, kau mahasiswa, kau masih dikirim duit oleh orang tuamu. Cukuplah untuk ke Jakarta mencari-cari Iwan Fals. Hahaha…” “Ya nanti aku coba bang!” Penutupnya “Ah, jangan terlalu kau pikirkan itu, santai saja”.

“Kalau kita ingin terlibat dalam percaturan global. Maka akarnya
adalah tanah kelahiran kita. Ketika orang Itali di New York, mereka
akan bangga sebagai orang Sisilia. Kita harus punya dedikatif hidup
pada tanah kelahiran kita. Dan ini bukan etnosentris. Akar terdalam
seseorang adalah, pertama ibunya, kedua tanah kelahirannya. Itulah
kenapa saya memasukan daerah-daerah di Sumbar. Untuk menjadi besar,
orang tak boleh durhaka pada ibunya, pertama ibu kandung kedua tanah
kelahirannya.
Kita juga tidak bisa lepas dari konteks historis, Orang Minang
terlibat dalam pembentukan republik ini. Itu kutukan sejarah yang
tidak bisa kita hindari. Yang terus membebani kita sangat besar,
sehingga kita menjadi kerdil saat ini.

Saya juga mau menulis tentang PRRI. Masih banyak yang belum terungkap.
Ini tantangan buat anak-anak Padang. Karena PRRI adalah model otonomi
daerah yang diingkari Jakarta. Sumbar tidak pernah melepaskan diri
dari NKRI, yang ingin diganti adalah pemerintahnya. Penumpasan PRRI
dikenal sebagai operasi Agustus. Sebagai orang minang, kita tidak
boleh bangga dengan operasi itu. Karena membuat orang Minang mati
secara kultur. Saya ingin tanyakan, apa yang diajarkan buku-buku
sejarah pada kita soal ini. Pada 1958 itu, PRRI jauh lebih benar dari
pada RI ( wawancara Harfianto Afgani dengan Es Ito, penulis buku Negara Kelima dan Rahasia Meede)”.

Kembali ke bahasan menikah tadi. Jelaslah sekarang aku kurang sekali akan pengalaman, kurang tanya jawab. Aku rasa semua orang pada dasarnya punya sifat iri melihat kemapanan orang lain. Dalam hal ini kesuksesan, mungkin. Seorang penulis mungkin saja iri melihat tulisan atau buku rekannya “berhasil”. Terkadang ada rasa ketidaksenangan melihat ada perkembangan dalam pribadi dan kecakapan dan keahlian orang lain. Positifnya jangan dijadikan ketidaksenangan, tapi coba melihat apa yang kurang dalam diri sendiri. Mencari kelemahan dan kekurangan diri, melihat celah-celah untuk mengembangkan diri lebih banyak lagi. Orang lain bisa, kenapa aku tidak. Mungkin seperti itu, kira-kiralah, pastinya juga tidak tahu.
Read More......

Yang Telah Lama Hilang ( Ade)

Tertata begitu teratur bagai benang terjalin
Tenang menyejukkan jiwa
Suaranya mengobati kegelisahan yang selama ini menyelimuti
Membuat senyuman menjadi begitu berarti
Tak dari dulu seandainya aku tahu
Tak kan mampu menatap walau hanya sekejap
Terlalu indah lebihi temaram senja
Sangat suci bertahta cakrawala


Melengkapi penemuan jadi diri
Hilang kejenuhan memberi gundah gulana
Sementara aku masih takut membayangkan
Keesokan hari masihkah menghadirkan waktu

Tolonglah aku dewiku
Penyejuk iman pendorong raga
Melindungi dari sengatan berdebu
Resapi kehadiran yang sebentar pergi
Dan berlalu
Berjanjilah takkan pernah
Saat kau dan aku tak sanggup menghadapi
Tiba saatnya kita mengadu ke yang punya kuasa
Hingga setua-tuanya kita sebagai pendosa kita masih berdoa

Percayalah waktu kan berhenti untuk menunggu

Hari ke Lima
di Februari 08
Toan Soe Diro
Read More......

Lupa Akan Rasa Tulus

Kalau ku ingat waktu yang telah lalu
sakit...sayang
menghujam perih menikam kejam
kubiarkan angin malam lebih menusuk hingga hilang semua duka
sambil ku dendangkan lagu kesakitan
terlanjur sudah kau rasuki diriku hingga ku tak mampu berlari menjauh
darimu
menghujam luka meninggalkan dendam


kala semakin ku langkahkan kaki kecil ini
melupakan semua entah itu
sepanjang malioboro
seputaran stasiun tugu
dan rumah kecil sebelum memasuki godean.

Angin tak jua kunjung berhenti menerpa
Menampar kebodohan yang hinggap di pipiku
Bibir ini masih basah

Sapu tangan yang kuberi tanda cinta
Masihkah ada sebab kau pernah beretorika
Kain kecil persegi panjang berwarna biru muda
Meluapkan semua asa dan tidak bisa kau lupa

Belum sempat kita memadu kasih
Hanya masih tersesat jauh ke langit
Suatu saat aku akan tagih semuanya

Hari ke sebelas Februari
Toan Soe Diro
Read More......

Jumat, 04 April 2008

pernah sekaLi

aku melangkah lebih jauh meninggalkan dirimu
melepaskan setiap detik kebersamaan dulu
yang sempat kita nikmati bagai sebuah candu
tanpa tahu aku sebenarnya telah tertipu


kau pernah bilang kata sayang itu bisa di definisikan dengan
takut meninggalkan dan takut ditinggalkan
Bang Fahri juga sempat bilang menulis lah dengan kalimat aktif
hmmm...apa itu?

kau ingat saat menunggu pagi di stasiun karena aku takut membawamu ke kosanku
dan kau pun takut membawaku ke rumahmu
waktu itu benar-benar menunggu hingga matahari menjelang
lalu kita susuri jalanan dengan dingin yang sangat membekap
esoknya kita menunggu seseorang yang dijemput kematian
melewatkan malam di masjid tempat disemayamkan mayatnya
sampai melepasnya ke bandara untuk tiba lagi di rumah orang tuanya
dengan mati tak bernyawa

dua malam ku peluk tubuhmu ku dekap erat
tak ku daratkan ciuman saat itu, belum datang keberanian atas hasrat
Aku sayang kamu karena tak ingin meninggalkan apalagi sangat takut untuk di tinggalkan
Read More......