Minggu, 24 Mei 2009

Lane Bicara Pram

Saya menggunakan lift untuk sampai ke lantai lima sebuah gedung. Tangganya unik, melingkar menyerupai bangunannya. Gedung ini bernama Gedung Lengkung Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Ada yang istimewa siang itu. Di sini akan diselenggarakan seminar dengan judul “Pramoedya Ananta Toer di Asia Tenggara”. Acara ini diselengarakan oleh Human Rigths and Democracy in Southeast Asia Studies (HARD-SEAS) bekerja sama dengan Sekolah Pasca Sarjana UGM. HARD-SEAS merupakan program S2 Ilmu Politik dengan konsentrasi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Asia Tenggara, kerja sama dengan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara-Universitas Gadjah Mada.

Program ini menarik karena berdiri dan berkembang secara kolaboratif dengan institusi terkait dalam Universitas Gadjah Mada, dan juga dengan institusi Internasional. Misalnya, Universitas Oslo (Norwegia), Universitas Colombo (Srilanka), Universitas Walailak (Thailand), Universitas Sidney (Australia), dan Universitas Nasional Singapura (Singapura).


Seperti lazimnya permulaan kuliah di awal semester, diadakan kuliah umum. Pengajar tamu kaliber internasional, seperti Dr. Oliver Pye dari Universitas Bonn didatangkan. Untuk tim pengajar dari UGM sendiri antara lain ada Prof. Dr. Mohtar Masoed, Cornelis Lay M.A., Dr. Nicolaas Warouw, Heribertus Jaka Triyana, SH., LL.M dan lainnya. Prof. OlleTornquist dari Universitas Oslo dan Budi Santoso, SH., LL.M dari Independent Legal Aid Institute (ILAI) didatangkan sebagai pengajar tamu.

Debbie Prabawati, peneliti DEMOS Jakarta dan mahasiswa HARD-SEAS mengatakan, ”Program ini mampu menggabungkan dunia akademis dan dunia aktivis yang bergerak di ranah sosial dan politik. Para pengajar kebanyakan terlibat dan mempunyai pengalaman langsung dengan dunia gerakan sosial politik sehingga topik-topik yang disampaikan dalam kuliah selalu aktual.”

Lewat prakarsa HARD-SEAS, pertengahan Mei ini datanglah Max Lane untuk berbicara mengenai Pram dan Asia Tenggara. Ia dikenal sebagai penerjemah karya Pram ke dalam bahasa Inggris. Dan juga mencurahkan pikirannya untuk meneliti sosok salah seorang sastrawan di negeri ini.

Saya masuk ke dalam ruangan seminar. Kursi-kursi merah sebagian besar telah terisi. Kebanyakan mahasiswa, dari buku tamu saya lihat hampir seimbang antara mahasiswa S1 dan S2 UGM. Jurusannya macam-macam. Juga ada beberapa dari berbagai institusi lain.

Orang-orang yang baru datang mondar-mandir mencari tempat yang pas untuk duduk. Lewat beberapa menit dari pukul 13.00, moderator memulai acara. Mulanya sedikit penghantar, tak lama langsung mengundang Max Lane maju ke depan untuk presentasinya.

Badan tinggi itu berjalan ke depan, rambutnya putih. Tubuh tambunnya langsung mengambil posisi di mimbar coklat muda. Sedikit mengangkat mikrofon lalu mulai bicara. Bahasa Indonesianya lancar.

Pandangan saya lurus ke depan, ke arah mimbar. Sempat tergoda untuk memperhatikan ruangan yang sejuk dan rapi ini. Yang membikin unik, lengkungannya itu. Saya teringat dengan kelas saya di fakultas. Beda jauh memang, saya pikir kalau kuliah di sini, enak!

Burung garuda, lambang Negara Indonesia tergantung gagah di dinding. Agak ke bawah, terpampang foto Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, foto pasangan ini tak akan bersanding lagi. Sudah pecah kongsi. Sekolah, kantor-kantor pemerintah dari kelurahan hingga departemen-departemen akan meluangkan sedikit waktu untuk melakukan pergantian foto presiden dan wakilnya yang baru. Salah satu dari mereka masih berkesempatan nampang lagi, bisa juga tidak dua-duanya jika pasangan Megawati-Prabowo menang pilpres.

Dinding kiri kanannya berlubang-lubang. Kalau mata memandang agak lama bisa membuat pusing. Lima orang yang pernah menjabat direktur program Pasca Sarjana, fotonya dipajang di bagian atas. Ichsanul Amal yang sekarang menjadi Ketua Dewan Pers adalah salah satunya.

Max Lane memulai presentasinya dengan mengutip pernyataan Pram saat berpidato dalam pelantikannya sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD). ”Satu kekeliruan pendiri bangsa menamakan bangsa ini dengan nama Indonesia,” kata Pram. Alasannya, kata “Indonesia” merupakan nama warisan dari penjajah kolonial.

Nama India untuk Indonesia sekarang ini, berasal dari perburuan rempah-rempah Maluku mulai akhir abad 15 oleh bangsa-bangsa Barat, yang menyebabkan seluruh dunia non Barat dijajah oleh Barat. Rempah-rempah yang ditemukan di India hampir sama dengan yang ditemukan di Indonesia. Dalam kekuasaan Belanda, Indonesia dinamai India Belanda. Dan untuk mengakali agar pribumi tidak mengasosiasikan dengan India, nama ini ditulis: Hindia. Politik permainan kata. Nama “nusantara” atau “dipantara” yang dilahirkan melalui sejarah panjang bangsa ini (masa Majapahit dan Singosari) yang seharusnya dipakai oleh para pendiri bangsa.

Perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan tidak didapatkan dalam masa yang singkat. Butuh waktu panjang dan melelahkan, hingga kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Pram setuju dengan konsep kebangkitan nasional yang disampaikan oleh Soekarno. Ada tiga hal, yang pertama adalah manifesto komunis, yang bisa menghilangkan perbedaan kelas dalam masyarakat. Lalu deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat. Dan yang terakhir, tulisan-tulisan dan gerakan yang dipelopori oleh Sun Yat Sen. Pemikiran-pemikiran Sun Yat Sen mampu memberikan pencerahan tentang nilai-nilai nasionalisme dan kebebasan.

Sun Yat Sen merupakan anak orang kebanyakan, kebetulan seorang dokter, naik panggung menjadi presiden dan pemimpin negeri langit Tiongkok. Begitu tulis Pram dalam Rumah Kaca. Berdirinya Republik Tiongkok pada 1911 akibat proses revolusi dan bersatunya Tiongkok, menimbulkan arus nasionalisme yang kuat. Di belahan bumi Asia lainnya, di STOVIA, sekolah dokter Jawa, salah seorang terpelajar Pribumi sangat dipengaruhi bahkan menjadi pengagumnya. Ia berkhayal mempersatukan bangsa-bangsa di Hindia dan perantauan, sebagaimana yang telah dilakukan Sun Yat Sen dengan bangsanya.

Pramoedya Ananta Toer merupakan sejarahwan yang paling radikal sekaligus pelopor pembaharuan dalam menganalisis ke-Indonesiaan. Ia memulai penelitian tentang Indonesia dengan mempelajari Kartini. Hasilnya, dia menelorkan novel “Panggil Aku Kartini Saja”. Ini seharusnya ada dua jilid, tapi yang ke dua tidak diterbitkan. Pram menemukan Kartini pernah menulis, bahwa ada mahasiswa STOVIA yang menulis dalam bahasa Melayu. Tapi Kartini tidak menyebut nama. Lalu, Pram akhirnya mencari sendiri siapa nama itu . Ia menemukan orangnya adalah Tirto Adhi Soerjo, yang kemudian diasosiasikannya dalam tetralogi Buru sebagai tokoh Minke.

Lane, masih semangat menjelaskan hal ini. Lalu sedikit masuk menyinggung masalah pendidikan sastra di Indonesia. Dia kelihatan jengkel.

“Mengapa Kartini dan Tirto Adhi Soerjo hilang dalam sejarah Indonesia, hilang dalam buku pelajaran sejarah sekolah?” Lane bertanya.

Dia heran, bagaimana bisa orang yang mendirikan surat kabar yang bisa dikatakan sebagai permulaan di Nusantara tidak masuk dalam buku sejarah yang diajarkan pada anak sekolah? Atau jika itu tidak cukup, bagaimana dengan berdirinya Sjarikat Priayi lalu Sjarikat Dagang Islam? Bukankah ini cukup fundamental untuk sebuah nama patut dicatat dalam sejarah bangsa?

Menurut Lane, Pram sendiri telah menemukan jawabannya. Penulis sejarah banyak menyelewengkan dan melakukan kebohongan dalam menulis sejarah! Terkadang berbagai macam kepentingan bermain di belakang.

Lane menangkap ada yang aneh dari bangsa ini terhadap sosok Pramoedya Ananta Toer. Hingga sekarang belum ada pencabutan terhadap pelarangan buku Pram. Tetapi anehnya di toko buku buku Pram banyak beredar. Oleh penerbitnya masih dicetak ulang. Terlihat memang, orang Indonesia belum sadar dan taat hukum. Hadirin tertawa geli.

Lalu, kenapa larangan terhadap buku-buku Pram belum dicabut? Max Lane menilai masih terdapat ancaman terhadap status quo dan stabilitas nasional.

“Saya takut dengan kata-kata status quo ini,” ungkap Lane, sambil menghela nafas. Disambut tawa peserta seminar lagi.

Menurut Pram salah satu sifat dalam membentuk nation adalah “bahasa bersama” yang dikembangkan dan hidup dalam sastra. Lalu menjadi “sastra bersama”. Ini menjadi salah satu kesimpulan yang dapat ditangkap Max Lane dari pemikiran Pram dalam karyanya. Kebudayaan Indonesia ditulis dalam bahasa bersama yaitu bahasa Melayu. Lane kemudian memberikan penjelasan dengan mengajukan analogi.

Jika di Malaysia ada penulis seperti Pram, maksudnya jika ada penulis yang mampu menangkap esensi kebangkitan Malaysia, dalam bahasa apa ia akan menulis? Di Malaysia, Lane pernah tanya ke orang Cina. Dia menjawab tulisannya akan ditulis dalam bahasa Cina. Hal yang sama jika ditanyakan kepada etnis Melayu atau India. Maka mereka akan menjawab dalam bahasa yang sesuai dengan etnisnya. Bahasa nasional Malaysia adalah bahasa Inggris. Tapi di Malaysia bahasa Inggris bukan konsensus atau “bahasa bersama”. Jadi tidak ada keseragaman jawaban bahasa, sehingga di Malaysia sastra bersama tidak kuat.

Dengan sedikit bercanda, Lane bercerita. Dia naik pesawat Air Asia dari Singapura ke Jogja. Diundang untuk berbicara oleh program akademis yang khusus membahas Asia Tenggara. Dengan sedikit berat, dia harus memasukkan unsur itu dalam tema besarnya.

Dia menggambarkan sosok Pram, bahwa Pram merasa bahwa dia sepenuh-penuhnya adalah orang Indonesia. Bukan orang Jawa. Pada umumnya sikap Pram bisa dikatakan “kejam” terhadap Jawa. Bahkan Pram bisa disebut sangat terobsesi dengan Nusantara atau Indonesia. Konsep kebudayaan yang berakar dan berkembang melalui bahasa tadi, menjadikan novel-novel Pram sebagai proses dari revolusi anti kolonial. Dan ini menjadi lebih luas melalui perspektifnya. Negara-negara di Asia Tenggara adalah hasil dari revolusi dari anti kolonial.

Perspektif-perspektif ini yang akhirnya menjadi satu pertanyaan, sejauh mana novel Pram dibaca di kawasan Asia Tenggara?

Apresiasi yang paling terang, melihat peran karya Pram dalam lingkup Asia Tenggara adalah saat Pram mendapat penghargaan dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina. Penghargaan dalam “for Journalism, Literature, and Creative Art, in recognitation of his illuminating with brilliant stories the historical awakening, and modern experience of the Indonesian people”. Walaupun penghargaan ini menimbulkan sedikit kontroversi. Saat itu, Mochtar Loebis yang lebih dulu menerima penghargaan serupa mengancam akan mengembalikannya.

Orang-orang Filipina banyak membeli buku-buku Pram dalam edisi bahasa Inggris.

“Sayangnya kebanyakan orang membeli dalam bentuk.. Apa ya bahasa Indonesia piracy?” Lane tersendat memberi penjelasannya.

“Bajakan!” jawab peserta, seraya melepas tawa dan senyum.

Pram banyak menuliskan tentang Filipina dalam novel-novelnya. Tema yang diangkat masih berkisar tentang nasionalisme. Lebih tua dari Tiongkok, Pribumi Filipina memilih presidennya yang pertama, Emilio Aguinaldo. Tahun 1897! Republik Pertama di Asia.

Sama dengan kaum terpelajar Hindia yang menggantungkan harapan kepada kaum liberal “murni” Belanda di negeri Belanda. Kaum terpelajar pribumi Filipina pun menggantungkan harapannya kepada kaum liberal Spanyol. Yang suatu saat para penjajah bermurah hati mengangkat mereka menjadi anggota parlemen, menikmati hak-hak sipil di bawah kekuasaan penjajah, dan boleh melakukan sesuatu untuk bangsa sendiri di tanah air sendiri. Itu adalah mimpi!

Seperti halnya Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Priaji di Hindia, kelompok kecil dengan impian besar, di Filipina, kaum terpelajar juga ikut bermimpi dengan menerbitkan surat kabar. Pribumi Filipina menerbitkan surat kabar sendiri, La Solidaridad dengan Dr. Jose Rizal sebagai pemukanya. Bahkan La Liga Filipina, sebuah organisasi pergerakan, juga didirikan olehnya.

Demikian juga di Singapura, penerbit Penguin Grup Australia yang mencetak novel-novel Pram dalam bahasa Inggris banyak diminati masyarakat ini. Orang Singapura suka dengan nilai-nilai dalam buku Pram. Nilai humanisme yang mendalam dan terlebih nilai bebas sendiri (independent) tidak bergantung pada penguasa (pemerintah).

“Beberapa waktu belakangan ini saya sering menetap di Singapura. Saya agak senang sekarang, sebentar lagi saya akan meninggalkan negara ini,” ungkapnya.

Secara konstitusi, Singapura adalah negara yang menggunakan sistem politik demokrasi parlementer. Tapi kuatnya pengaruh Lee Kuan Yew menyebabkan Singapura bukanlah sebuah negara yang ideal bila dilihat dari sisi demokratisasi. Sebab praktik politik otoriter dan pembatasan kebebasan pers bukan hal yang rahasia lagi di Singapura. Walaupun Lee Kuan Yew sudah mengundurkan diri dari kancah politik, tapi pengaruhnya masih sangat besar dalam budaya politik. Siapa yang menjadi Perdana Menteri dan Presiden Singapura, harus mendapat “restu” dari pimpinan seangkatan mantan Presiden Soeharto ini.

Tampilnya PM Gooh Tjoh Tong dan PM BG Lee yang dilantik 12 Agustus 2004 ini adalah “karya” Lee Kuan Yew. Lee dianggap sebagai seorang otoriter yang condong kepada kaum elit. Lee sendiri pernah dikutip mengatakan bahwa ia lebih suka ditakuti daripada disayangi rakyatnya. Dengan mengawinkan kapitalisme dengan sistem politik otoriter yang memberangus kebebasan sipil, membatasi partisipasi politik, termasuk mengendalikan kemerdekaan pers ia begitu dominan.

Lee melaksanakan beberapa peraturan keras guna menekan kaum oposisi dan kebebasan berpendapat, misalnya penuntutan perkara pemfitnahan hingga membangkrutkan musuh-musuh politiknya. Pada suatu perkara misalnya, setelah putusan pengadilan yang condong kepada Lee digulingkan oleh Dewan Penasihat, pemerintah menghapuskan hak untuk naik banding kepada Dewan. Selama Lee menjabat sebagai Perdana Menteri (1965–1990), ia memenjarakan Chia Thye Poh, mantan anggota Parlemen partai oposisi Barisan Sosialis, selama 22 tahun berdasarkan UU Keamanan Dalam Negeri. Chia bebas pada tahun 1989. Untuk memberikan wewenang penuh kepada para hakim dalam keputusan mereka, Lee menghapuskan sistem juri dalam pengadilan Singapura.

Ini satu hal yang aneh, di negara yang dilarang memfilmkan atau memfotografikan kegiatan politik. Buku-buku Pram sangat diminati. Pendambaan masyarakat sana terhadap nilai-nilai kebebasan adalah jawabannya.

“Saya takut jangan-jangan capres-cawapres Indonesia sekarang, akan meniru cara pemerintahan Lee Kuan Yew. Tanda-tanda ke arah itu telah terlihat,” sambung Max Lane. Candaan yang serius ini mengenai peserta lagi.

Seperti yang ditangkap Lane dari Pram, ada elemen demokrasi yang perlu diperhatikan. Proses pergerakan itu dari bawah, bukan dari atas, dan perubahan sebagai hasilnya harus menyapu bersih. Ini relevan dengan kesimpulan yang dilihat Max Lane dari sosok dan karya Pram. Bahwa Indonesia adalah makhluk baru yang merupakan hasil dari kreativitas pergerakan rakyat Indonesia sendiri. Bukan kemerdekaan dan kebebasan yang didapatkan sebagai hadiah dari penjajah. Tetapi proses kreatif itu belum tuntas. Kreasi Indonesia baru ini harus diselesaikan dengan revolusi demokratis yang tuntas dan sepenuh-penuhnya.

Karena kebudayaan Indonesia bukan datang dari wayang, tari-tarian Bali, atau ukiran-ukiran Dayak dan sebagainya. Tapi mempunyai keunikan yang lebih besar. Indonesia merupakan hasil dari Revolusi Prancis, kemerdekaan Amerika Serikat, kebangkitan Jepang, perjuangan Cina lewat Sun Yat Sen, Pergerakan Filipina dengan Dr. Jose Rizal. Indonesia merupakan “Anak Semua Bangsa”.

Tantangan ke depan pun tak kalah sulit. Menentukan pemimpin bangsa. Karena di tangan-tangan mereka nasib masyarakat sebagai bagian bangsa dipertaruhkan. Kelas borjuis tidak mampu memimpin Indonesia. Tirto Adhi Soerjo tidak mampu bertahan dan lenyap dengan menyedihkan. Nyai Ontosoroh juga tidak, hanya bisa survive dengan hidup di Prancis. Orang dari kalangan bawah seperti Hadji Misbach, Siti Soendari atau Mas Marco Kartodikromo, yang bisa memimpin Indonesia.

Max Lane turun dari panggung disambut tepuk tangan meriah dari peserta. Lebih kurang satu jam dia bicara. Beragam tanggapan dan pertanyaan dilontarkan oleh peserta seminar.

Ainur salah satunya, dia tidak yakin dengan Lane. Hanya 1% dari penduduk Indonesia yang membaca Pram. Di toko buku, novel-novelnya Pram display-nya selalu dalam jumlah banyak. Dan selalu dicetak ulang, terutama tetralogi Buru yang termasyhur itu. Keyakinan semu ini membuat dia jadi berpikir. Sebenarnya persoalannya adalah, waktu membaca orang Indonesia yang memang kurang. ***
Read More......