Selasa, 29 April 2008

Sehari setelahnya

Membaca koran Tempo yang sudah kadaluarsa sehari. Koran bertanggal 27 April 2008, Minggu. Baru aku baca hari ini, Senin. Pas hari minggunya aku sih sudah niat mau beli tapi sampai malam pun,hingga tak seorang penjual koranpun terlihat aku tak membelinya juga. Ternyata aku terkaget-kaget setelah baca di halaman C1 dalam halaman profil. Ada foto seorang penulis katanya, Judulnya Dari Buku, ke Blog, lalu ke Buku. Profil Raditya Dika, susah amat mengetik namanya. Berita di paragraf awal, dan aku rasa metode penulisan profil ini menggunakan metode paragraf deduktif. Raditya Dika mengeluarkan buku ke empat alias terbaru. Entah kebetulan aku sedang membaca buku pertamanya, hihihi baru baca sekarang dengan sepenuh hati. Dulu sih pernah tapi tak begitu menghayati. Buku yang sangat lupus sekali ini meminjam dari seorang teman. Aku agak lupa pernah baca secara lengkap, buku ke dua atau ketiganya? Soalnya agak mirip-mirip gitu judulnya.

Mungkin bisa dicari kemiripan dan jangan cari perbedaannya. Jelas sekali berbeda sih, tapi aku kok menemukan kesamaan judul. Agak sulit membedakannya. Ah pusing! Buku ke dua: Cinta Brontosaurus. Buku ke tiga: Radikus Makankakus: Bukan Binatang Biasa. Sepertinya yang ke tiga deh,tapi entahlah. Buku ke empat dengan judul yang sangat aneh: Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang. Aneh sekali, dan aku akan meminjam kepada orang yang ku kenal, tanpa sedikit pun membelinya. Aku berencana untuk mengoleksi buku-bukunya Pramudya Ananta Toer. Itu prioritas utama.

O ya, jadi begini. Sangat menyejukkan sekali kata-kata Raditya Dika dalam profilnya di Tempo itu.
- Radith rutin menulis satu jam sehari sebelum tidur. Meskipun kadang hasilnya buruk, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. "Menulis itu harus diasah dengan pembiasaan," katanya.
Dalam menulis, Radith tak percaya pada mood. "Orang yang bilang menunggu mood sebenarnya alasan untuk tidak menulis," katanya. Bahkan ketka tak ingin menulis, Radith mengungkapkan perasaannya itu dengan menulis juga-
Kata-kata terakhir itu sih sebenarnya yang menyejukkan. Menginspirasi setiap orang. tak terlalu berlebihan atau malah "lebay" sekali. Selamat saya ucapkan kepada Raditya Dika atas kemunculannya di koran Tempo minggu. Menurut saya sesuatu yang prestisius sekali.

Lalu ada berita lainnya, yaitu tentang Ahmadiyah. Kenapa harus Ahmadiyah? Karena saya akan membuat paper tentang Ahmadiyah. Sebagai salah satu tugas Filsafat Pancasila II yang diampu oleh dosen favorit saya Prof.Dr. Kaelan... Tak tahu gelar di belakangnya. Jadi saya akan membuat paper yang rancak, tidak tanggung-tanggung seperti biasanya, karena ini demi dosen favorit saya. Dulu saat kuliah Pendidikan Pancasila saya dianugerahkan nilai A. Dan paper yang saya bikin adalah satu dari tiga paper yang diminta olehnya langsung untuk dipresentasikan. Presentasi tunggal sangat menyenangkan. Banyak yang bertanya untuk penjelasan lebih lanjut atau sekedar mendebat pernyataan saya. Itu lebih baik, dan saya senang karena ada apresiasi dari forum. Biasanya banyak yang senang jika presentasi tak ada yang bertanya. Kemungkinannya ada dua, forum memperhatikan, mengerti dan paper kita sangat lengkap dan sempurna, jadi tak ada yang perlu diragukan apalagi dipertanyakan. Atau forum tak memperhatikan, tak peduli, bahkan cenderung mengabaikan dan menganggap remeh paper yang kita presentasikan. Kebanyakannya, ya forum tak mengurus remeh temeh apa yang kita bicarakan. Menyedihkan bukan? Karena alasan itu lah akhirnya saya mendaulat beliau sebagai dosen favorit saya. Eta pernah mengikuti kuliahnya. Dan saya berencana mendapatkan nilai A di akhir semester untuk kuliah Filsafat Pancasila II.
Sebelumnya saya ingin membahas dan menganalisis tentang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) tapi tak jadi. Karena saya tak punya buku refensi tentang kasus BLBI. Dulu ada seminar tentang BLBI bersama Marwan Batubara, setiap peserta diberi buku tentang BLBI karangan Marwan Batubara tersebut. Saya sengaja datang terlambat dan tak masuk ruangan seminar, karena saya mau mengurus dan menunggu di luar saja. Kebetulan yang mengkoordinasi BEM KM UGM. Setelah seminar selesai menteri Humas dan Media BEM kelihatan memiliki buku itu. Sekarang kalau mau pinjam rasanya tak enak, soalnya saya sudah nonaktif di BEM. Terakhir membaca bukunya Marwan Batubara adalah tentang kasus blok cepu. Sepertinya itu, tapi saya ragu lagi. Hmm...mungkin tentang Exxon Mobil (benar ga tulisannya, agak lupa gitu), kayaknya. Dia berhasil menggugah semangat nasionalisme saya. Kalau untuk mencari referensi berita di koran mungkin bisa dikumpulkan, lagian di situs berita tak sulit untuk mengumpulkannya. Masalahnya sekarang, aku butuh buku referensi.
Berhubung dari tahun lalu aku punya satu buku tentang Ahmadiyah, judulnya Teologi Kenabian Ahmadiyah, ditulis oleh A. Fajar Kurniawan. Menurutku bukunya cukup komprehensif dan objektif dalam menelaah aliran Ahmadiyah. Akibatnya beberapa minggu ini, setiapa membaca koran mataku jarang luput dari tulisan Ahmadiyah. Salah satunya ya di koran Tempo ini. Sebenarnya hanya cukilan berita dalam Majalah berita Mingguan Tempo untuk edisi 28 April - 1 Mei. Wawancara dengan Amien Rais: Ahmadiyah punya hak hidup. Karut-marut persoalan Ahmadiyah memasuki babak baru setelah Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat menerbitkan rekomendasi bahwa organisasi itu menyimpang dari islam dan diminta menghentikan kegiatannya. Pemerinah sedang menggodok keputusan untuk menindaklanjuti rekomendasi itu. Di tengah pro dan kontra yang kembali bergulir, bekas Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais menawarkan jalan tengah karena Ahmadiyah punya hak hidup.
Yah kira-kira begitulah, dan sepertinya aku akan membeli majalahnya. Aku jadi sedikit berfikir kalau manusia punya hak untuk hidup, berarti juga punya hak untuk mati! Untuk mati kapan saja sepertinya tak mungkin. Sama seperti kelahiran dan kehidupan manusia tak punya pilihan untuk dilahirkan dan dihidupkan. Tiba-tiba saja hadir di dunia. Manusia juga tak punya pilihan untuk mati sesuai keinginan, maksud saya menentukan hari kematian. Tak bisa menunda sedikit waktu barangkali. Tapi bagaimana dengan bunuh diri? Manusia bisa menentukan kapan dia akan mati. Ada pengaruh yang menghalangi jika akan bunuh diri, benarkah? Kalau tuhan belum mengizinkan (bagi yang percaya tuhan) maka belum akan mati. Beberapa saat yang lalu aku sempat menonton Long Road To Heaven. Cerita tentang kasus bom Bali. Cukup menarik, dan aku tertarik pada eksekutor pemboman di depan Sari Club tersebut. Guncangan, pertikaian dan permainan moralitas apa yang berkecamuk dalam diri mereka. Ada dua orang. Entah filmnya sama persis dengan kejadian sebenarnya aku juga masih ragu. Tapi untuk membuat film, apalagi seperti ini tentu membutuhkan riset yang sangat kuat dan mendalam. Terlepas dari kebenaran jalan cerita dan kejadian pastinya, tapi film ini menyajikan sisi lain. Seorang supir taksi yang penuh dengan penderitaan mendalam kehilangan saudara. Kebencian yang sangat pada pelaku pemboman, tapi menerima kenyataan dengan sebaik-baiknya cara. Wartawan luar negeri yang gigih meliput berita kasus sidang salah satu pelaku pemboman. Bule yang sangat benci pada pribumi. Pelaku kesehatan yang panik. Banyak hal yang menarik di film ini.

Tidak ada komentar: