Sabtu, 05 April 2008

Being

Perjalanan hidup yang paling menggetarkan sampai saat ini sedang beputar-putar mengelilingiku. Tak pernah aku sangka akan mengalami banyak hal seperti yang aku hadapi sekarang. Semuanya berjalan tanpa pernah bisa aku bayangkan, jangankan untuk membayangkannya, memikirkannya pun tak pernah. Sungguh aku merasakan rasa sayang yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ada perasaan pasrah dan begitu tenang tentang semua ini. Aku merasa jiwaku telah menyatu sehingga tak sedikit pun berfikir tentang materi, substansi dan realitas semu. Yang ada aku sedang berada dalam realita-realita yang tak terjangkau, melebihi batas daya kemampuanku. Hingga suatu saat apakah aku akan menemui potongan mozaik-mozaik kehidupan atau tidak di suatu masa pada masa depan. Aku masih menatap ke depan jauh mengejar apa yang seharusnya aku cari.

Di usia ku yang ke dua puluh sekarang, aku mencari-cari jawaban apakah sudah pantas waktunya padaku untuk menikah? Apalagi yang harus kucari dalam hidup ini. Itu dasar pertimbangan yang belum tentu benar jika aku tanyakan ke orang tua, atau sahabat-sahabat ku. Menikah tidak semudah yang pernah aku pikirkan tidak seperti yang pernah alami, walaupun sekian banyak pengalaman yang telah kulalui.
Aku coba memikirkan aspek-aspek "kesulitan" itu. Tanggapan orang-orang di kampungku, apa yang mereka pikirkan kalau seandainya itu terjadi. Bisa-bisa mereka berfikiran kalau telah terjadi sesuatu denganku, untuk menutupi kekeliruan yang ku perbuat maka dilangsungkanlah pernikahan di usia yang masih sangat muda. Di belakang tentu ada pergunjingan tentang itu semua, bersusah payahlah orang tuaku menutup telinga dari panasnya bisik dan gosipan yang bakal tersebar luas. Kredibilitas keluarga baik-baik akan tercoreng dan betapa malunya orang tuaku atas apa yang aku perbuat.
Masih bisakah aku untuk melanjutkan proses kreatif. Maksudku dalam hal ini adalah interaksi dalam organisasi. Sampai saat ini aku terlalu menikmatinya. Ternyata jiwa dan karakterku ada di organisasi. Katakanlah seperti BEM sekarang. Kalau aku menikah apakah semua ini akan menjadi penghalang dalam tujuan yang belum tercapai dan sampai pada akhirnya.
Lalu kehidupan setelah menikah itu seperti apa, aku juga tak tahu. Tak pernah aku baca buku segala petunjuk ataupun kumpulan bunga rampai segala hal tentang pernikahan. Yang ku tahu, aku hanya melihat beberapa orang di sekelilingku. Sepertinya dari penglihatanku itu, begitu teraturnya hidup. Satu hal yang mengintari adalah tangung jawab. Pantaskah aku memikirkan ini semua? Aku semakin bingung, sangat bingung. Aku melankonis, aku patah, aku bodoh, aku akan ditertawakan orang di sekitarku. Tapi apakah ada kesalahan tentang semua ini? Dalam kepala ku sekarang terbayang untaian kata yang akan aku terima. Seseorang berkata padaku “aku saja yang dua, empat, lima bahkan tujuh tahun usianya di atas Mu, tak pernah punya pikiran untuk menikah. Ha? Sedangkan kau? Ada-ada saja kau, pantaslah kau bercermin! Selesaikan saja lah kuliah mu dulu! Sekolah yang benar! Orang tua Mu jauh-jauh menyekolahkan kau bukan untuk menikah, bukan untuk memikirkan hal yang demikian. Saranku, kau cuci saja otakmu! Kau coba pergi ke pantai, atau naik gunung. Siapa tahu kamu insyaf dengan pikiran bodohmu! Ingat orang tua Mu!" Atau
“An, An, hahaha…pikiran Mu itu lo! Hahaha….mbok yang benar-benar saja. Tapi diam-diam aku salut juga padamu. Kecil-kecil dah mau nikah. Hahaha…”

Aku masih ingat ketika aku dan Boeli ngobrol di bus pulang dari Cisalak. Aku tanya, “Boel, kenapa engkau nggak punya pacar?” “dilarang dokter,” katanya sambil senyum. Kami sama-sama tahu siapa dokter itu. Dia adalah perjuangan kami. Dengan Jopie juga aku pernah berdialog yang sama di Kebayoran. “Aku kira pada akhirnya kita harus memilih, apakah kita mau menjadi pastor atau domine. “Aku katakan pada dia bahwa aku tidak ingin punya pacar dalam keadaan sekarang, karena aku tidak ingin membawa pacarku dalam kehidupan keras dan kejam. Dan aku tak mau terikat, agar aku bisa terus dinamis. Aku hanya mau pacaran kalau dia mengerti dengan keadaanku. Bahwa bagiku perjuangan lebih penting daripada materi. Dan jika tidak kebetulan kita tak akan menemui wanita semacam ini. “Mungkin kita tak pernah cross path dengan wanita seperti itu”. Aku kemudian menceritakan tentang Ripto dan isterinya. “Mereka adalah mahasiswa Unpad. Rito adalah manusia tipe saya juga. Dan suatu ketika dia jatuh cinta dengan rekannya, seorang mahasiswi. Ripto berhasil mengubah sifat-sifat pacarnya sehingga pacarnya menjadi pendampingnya yang setia. Mereka sekarang sudah kawin. Pernah aku ketuk kamar tidur mereka jam dua belas malam karena ada suatu soal. Dan isterinya tidak marah. Ketika suaminya ditangkap karena soal-soal rusuh di kalangan mahasiswa, isterinya tidak mengeluh dan tetap tenang. Secara kelakar pernah aku katakan padanya bahwa aku iri padanya dan senag sekali kalau aku bisa dapat isteri seperti isterinya. Dan ia hanya senyum saja. Jopie terdiam, mungkin dia lagi in the mood (Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran).

Beberapa hari yang lalu aku pernah berdebat dengan Supardjo, seorang fanatik Katolik tapi bagiku baik. Aku mempertahankan bahwa tujuan perkawinan sebenarnya ialah nafsu. Mereka bukan hendak melanjutkan keturunan atau tugas dari Tuhan. Tapi hal itu dibantah dengan keras olehnya. Dia tidak mau mengakui bahwa wujud manusia tidak lebih tinggi dari anjing. Aku kira tak usah dijelaskan pendirian Supardjo kawanku yang baik itu. Karena pendiriannya umum dan sesuai dengan pendapat gereja Katolik.
Aku kemukakan alasan-alasan sebagai berikut: Kalau kita bersetubuh apakah yang dipikir, puas atau keturunan. Aku yakin 99% memikir yang pertama. Bagiku mustahil pendirian yang kedua, walaupun aku tak sangkal. Perkawinan bagiku identik dengan perhubungan kelamin. Jadi identik pula dengan nafsu. Manusia itu sadar akan hal ini. Tetapi mereka malu dan segan mengakui fenomen ini. Mereka malu disamakan dengan kemenakannya. Jadi bagiku tak ada tujuan perkawinan buat apa yang disebut cinta dengan variasi-variasinya yang nonsens. Jadi perkawinan didorong oleh naluri biologis. Dia tak dapat membantah tetapi dia yakin kebenaran pendiriannya. Bagiku cinta bukan perkawinan. Kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta = nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar bila kawin. Aku pun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, adan aku yakin itu bukan nafsu. Aku jadi ingat omongan si Bun Som. Dia pernah bilang bahwa dia punya kawan. Kawan itu jatuh cinta dengan gadis yang merupakan ideal type-nya. Lalu dia bilang pada Bun Som: “Aku tak mungin mengawininya, sebab kalau kau kawin aku tak tega menyetubuhinya. Paling banyak aku cium”. Dia tak mungkin mengadakan hubungan kelamin sebab baginya Ubermensh-nya (istilah yang dipopulerkan oleh filsuf Jerman Freidich Wilhem Nietzche (1844-1990) yang artinya seseorang superior yang diidealisir, manusia yang dominan yang diangap sebagai tujuan terakhir perjuangan untuk tetap hidup; seseorang yang memeliki kekuatan”superhuman”) suci dan mau dikotori. Aku yakin inilah cinta sejati (Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran).

Tak aku telan mentah-mentah, sungguh aku merasa sangat tertarik. Kata-katanya begitu masuk menusuk. Interpretasi seperti apa, aku juga tak mengerti harus bagaimana menempatkannya. Yang jelas aku begitu menikmatinya. Aku masih ingat waktu bang Fahri Salam berkata padaku. Saat itu kita sedang duduk di kamarku, sayup-sayup mengalun lagu Belum Ada Judulnya Iwan Fals. Bang Fahri sempat berbicara seperti sedikit menerangkan tentang cerita di lagu itu. Lagu yang menumpahkan semua kegelisahan, kekecewaan, atau jangan-jangan mungkin ada sedikit pengkhianatan. “Bagaimana kalau kau bikin skripsi tentang lagu ini? Ya kau mesti mengkaitkan dengan unsur-unsur filosofis, jangan sampai melenceng jauh ke estetika sastra dan musik. Tapi jadikan sastra dan musikalitas itu sebagai koridornya” katanya padaku. Menarik aku pikir. “Kegelisahan dalam lagu Belum Ada Judul-nya Iwan Fals korelasinya dengan aliran vitalisme Nietzche” hahaha judul yang menarik, menggugah semangat. Aku balik bertanya pada bang Fahri, “kenapa tidak kau saja yang menelitinya, bang?” “Ah! Aku tak seperti kau, tak punya dana untuk melakukan perjalanan jauh, lalu hidup di seputaran Jakarta sampai aku mendapatkan datanya. Tak mungkin sebentar, butuh hari yang panjang”. Sempat dia menghela nafas dan berfikir akan mengeluarkan kata-kata berikutnya. “Aku bukan mahasiswa, kau mahasiswa, kau masih dikirim duit oleh orang tuamu. Cukuplah untuk ke Jakarta mencari-cari Iwan Fals. Hahaha…” “Ya nanti aku coba bang!” Penutupnya “Ah, jangan terlalu kau pikirkan itu, santai saja”.

“Kalau kita ingin terlibat dalam percaturan global. Maka akarnya
adalah tanah kelahiran kita. Ketika orang Itali di New York, mereka
akan bangga sebagai orang Sisilia. Kita harus punya dedikatif hidup
pada tanah kelahiran kita. Dan ini bukan etnosentris. Akar terdalam
seseorang adalah, pertama ibunya, kedua tanah kelahirannya. Itulah
kenapa saya memasukan daerah-daerah di Sumbar. Untuk menjadi besar,
orang tak boleh durhaka pada ibunya, pertama ibu kandung kedua tanah
kelahirannya.
Kita juga tidak bisa lepas dari konteks historis, Orang Minang
terlibat dalam pembentukan republik ini. Itu kutukan sejarah yang
tidak bisa kita hindari. Yang terus membebani kita sangat besar,
sehingga kita menjadi kerdil saat ini.

Saya juga mau menulis tentang PRRI. Masih banyak yang belum terungkap.
Ini tantangan buat anak-anak Padang. Karena PRRI adalah model otonomi
daerah yang diingkari Jakarta. Sumbar tidak pernah melepaskan diri
dari NKRI, yang ingin diganti adalah pemerintahnya. Penumpasan PRRI
dikenal sebagai operasi Agustus. Sebagai orang minang, kita tidak
boleh bangga dengan operasi itu. Karena membuat orang Minang mati
secara kultur. Saya ingin tanyakan, apa yang diajarkan buku-buku
sejarah pada kita soal ini. Pada 1958 itu, PRRI jauh lebih benar dari
pada RI ( wawancara Harfianto Afgani dengan Es Ito, penulis buku Negara Kelima dan Rahasia Meede)”.

Kembali ke bahasan menikah tadi. Jelaslah sekarang aku kurang sekali akan pengalaman, kurang tanya jawab. Aku rasa semua orang pada dasarnya punya sifat iri melihat kemapanan orang lain. Dalam hal ini kesuksesan, mungkin. Seorang penulis mungkin saja iri melihat tulisan atau buku rekannya “berhasil”. Terkadang ada rasa ketidaksenangan melihat ada perkembangan dalam pribadi dan kecakapan dan keahlian orang lain. Positifnya jangan dijadikan ketidaksenangan, tapi coba melihat apa yang kurang dalam diri sendiri. Mencari kelemahan dan kekurangan diri, melihat celah-celah untuk mengembangkan diri lebih banyak lagi. Orang lain bisa, kenapa aku tidak. Mungkin seperti itu, kira-kiralah, pastinya juga tidak tahu.

Tidak ada komentar: