Jumat, 08 Agustus 2008

Refleksi Singkat

Satu pertanyaan dalam hidup yang terus menggoda. Terlebih sebagai orang muda. Besok kamu mau jadi apa?
Dua jawaban yang satu sama lain masih saja dipermasalahkan.

Jawaban yang pertama adalah saya ingin punya banyak uang. Reaksi yang hadir adalah saya dianggap sebagai orang yang materialistis, semua yang saya lakukan demi uang, saya adalah budak uang. Bukanlah uang yang mengatur saya, tapi saya yang mengatur uang. Kebahagiaan tak dapat sepenuhnya dinilai dengan uang banyak, tanggapan dari yang mengajukan pertanyaan. Ini menjadi pemikiran tersendiri bagi saya.

Semua orang berkeinginan untuk tercukupi kebutuhan materinya. Semua orang ingin kaya. Kaya dan miskin itu harus ada. Pernyataan moralisnya orang kaya, yang punya banyak uang tak boleh dengan sewenang-wenang memperlakukan orang yang tak punyai seperti orang kaya yang punya. Orang miskin itu harus ada, jika tak ada orang miskin dan semua kaya, maka akan kembali ke titik nol dalam pergerakan materi. Tak ada yang kaya, karena semuanya miskin.
Kecukupan materi menjadi salah satu pencapaian kecukupan kebahagiaan. Orang dengan uang banyak, bisa memilih apa yang mereka senangi apa yang mereka kehendaki. Manusia punya rasa ke(moralis)an dan ke(humanis)an tersendiri, individu lebih tahu tentang dirinya sendiri, jadi dia dapat mempergunakan kebebasan yang mereka punya dengan kehendak sendiri. Individu menginsyafi adanya batasan-batasan dalam berkehendak. Kadar penggunaan logika setiap individu yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Emosional dan nurani menjadi penyeimbang kaidah berfikir logika masing-masing individu.
Uang mempermudah akses pribadi, termasuk di dalamnya proses pengembangan diri. Tanpa uang manusia bukan apa-apa. Uang dan dalam cakupan luas ternyata vital dalam kehidupan manusia.


Jawaban yang kedua adalah saya ingin menjadi intelektual. Teman saya mengingatkan, intelektual tak banyak duit. Dan awas hati-hati terjebak menjadi intelektual karbitan. Di sekeliling kita banyak dapat kita lihat. Menjadi intelektual yang moralis atau intelektual humanis? Susah untuk memilih satu di antara dua hal tersebut. Pilihannya harus jatuh pada salah satunya. Sering diingatkan kita jangan menjadi manusia yang sok suci, sok merasa benar, sok beragama. Tak secuilpun tak mungkin melakukan tindakan yang melanggar hukum dan norma. Lebih baik menggunakan daya pikir itu seoptimal mungkin, agar terhindar dari sifat hipokrit. Kesalahan diri sendiri yang pernah dilakukan sebaiknya dibagi ke orang lain, tapi pada kenyataannya kita takut malu, takut merasa tak suci. Kita dipaksa menjadi manusia tanpa dosa. Dan pada akhirnya menjatuhkan orang lain dalam hukuman sendiri. Memperkosa hak orang lain, merenggut kemerdekaan berpikir orang lain. Dan kita sempurna menjadi manusia bebal.
Banyak kekurangan kita sebagai manusia. Kita kurang mendengar, kurang cakap menganalisa, kuarang mampu berpikir. Karena munafik dan merasa selalu benar, selalu berada di jalan yang lurus, yang tanpa kita sadari tak ada jalan yang lurus tanpa lubang, tanpa belokan tanpa turunan. Seringkali di situ kita terantuk dalam kemaluan mengakui, hingga semakin banyak kemunafikan yang terkumpul. Tak mampu mendengar membuat kita lemah, menjadikan kita buta.
Individu yang tak pernah menyesal melakukan pilihan yang dia yakini tak mengurangi kepunyaan orang lain adalah mereka yang bertanggung jawab. Kebalikan dari itu adalah individu yang menganggap cerita individu lain telah salah bertindak.
Menjadi manusia yang idealis lalu berubah menjadi realistis adalah perubahan yang tak mudah. Banyak cemooh tentunya dari apa yang kita punya dalam keidealisan sebelumnya. Tapi realistis membuat kita tahu jalan hidup itu seperti apa.

Jawaban paln realistis dari gabungan dua jawaban di atas adalah saya akhirnya memilih menjadi penulis. Langsung saja saya diingatkan. Kamu jangan bercita-cita jadi penulis, nulis banyak tak tentu arah, nulis sedikit salah, tidak menulis kena marah. Begitulah nasib penulis. Lalu?

Tidak ada komentar: