Sabtu, 24 Mei 2008

TINJAUAN HERMENEUTIKA MARTIN HEIDEGGER TERHADAP TEKS ANTI-KRIST FRIEDRICH NIETZSCHE


Hal pertama yang awal-awal dipahami adalah mengerti dengan baik tentang fenomenologi Heidegger. Hal ini penting karena menjadi penuntun untuk memahami bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan diri. Heidegger sendiri memberikan kritik atas Rene Decartes yang menemukan cogito dan mempostulatkan cogito ergo sum tapi tak pernah mempertanyakan sum (ada) itu sendiri. Hal ini melatarbelakangi Heidegger menyatakan bahwa bukan kesadaran yang menentukan Ada melainkan Ada yang menetukan kesadaran.

Fenomenologi Heidegger itu sendiri adalah; kesadaran bukan hanya sadar akan sesuatu, yaitu memiliki isi tematis tertentu, melainkan terlebih sadar sebagai sesuatu (fokus pada subjek bukan objek). Ada yang lebih utama daripada kesadaran. Fenomenologi Heidegger lebih bersifat ontologis karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Lalu prinsip fenomenologi selanjutnya adalah fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia.

Dalam penjabaran tentang pembedaan ontologis (ontologishe differenz), ada 2 hal yaitu antara Sein dan Seinde, Ada dan Mengada. Untuk memahami Ada kita harus memulai dari Mengada yang bisa mempertanyakan Ada. Coba kita lihat dalam teks Anti-Krist nya Nietzsche.



Apakah baik itu?- Semua yang meninggikan kekuatan, kehendak berkuasa, kekuasaan itu sendiri dalam manusia.

Apakah buruk itu?- Semua yang berasal dari kelemahan.

Apakah kebahagiaan itu?-Perasaan bahwa kekuasaan meningkat- bahwa sebuah perlawanan telah diatasi.

Bukan kepuasan diri, melainkan lebih banyak kekuasaan; bukan perdamaian sama sekali, melainkan perang; bukan kebajikan, melainkan keterampilan (kebajikan dalam gaya Renaisans, virtu, kebajikan tanpa asam moralik).

Yang lemah dan penyakitan akan musnah: asas pertama filantropi kita. Dan orang harus membatu mereka menjadi musnah.

Apakah yang lebih merugikan ketimbang suatu kejahatan?- Simpati aktif untuk yang lemah dan penyakitan-Kristen.

Pembedaan ontologis yang membawa kepada pemisahan antara Ada dan Mengada coba ditelusuri dengan kesadaran akan sesuatu yang membuat kefokusan sendiri pada subjek bukan pada objek. Nietzsche telah memaparkan kenyataan berupa konteks-konteks Ada. Ini mengacu pada paparan berupa pertanyaan-pertanyaan seperti apakah baik itu, buruk, kebahagiaan. Nietzsche langsung mengkaitkan dengan jawaban yang berupa konteks Mengada. Konkritnya baik (sebagai ada) lalu semua yang meninggikan kekuatan, kehendak berkuasa, kekuasaan itu sendiri dalam manusia (sebagai mengada). Untuk memahami Ada, kita harus memulai dari Mengapa yang bisa mempertanyakan Ada langsung bisa terjawab dari contoh konkrit di atas.

Hal ini juga menggambarkan dan menjelaskan tentang ‘tidak semua Mengada bisa bertanya tentang Ada, yang bisa melakukan itu hanyalah Dasein (Ada-di-sana)’. Ada-di-sana untuk menujukkan ciri khas kemewaktuan dan keterlemparan manusia atau faksilitas. Perasaan bahwa kekuatan meningkat-bahwa sebuah perlawanan telah diatasi. Bukan kepuasan diri, melainkan lebih banyak kekuasaan; bukan perdamaian sama sekali, melainkan perang; bukan kebajikan, melainkan keterampilan (kebajikan dalam gaya Renaisans, virtu, kebajikan tanpa asam moralik) merupakan Dasein yang bisa menanyakan tentang Ada yaitu suatu kebahagiaan, apa kebahagiaan itu? Dasein di atas mampu melakukannya karena memenuhi faktor memiliki hubungan dengan Adanya, yakni terbuka tehadap penyingkapan Ada.

Tak salah juga kalau manusia adalah satu-satunya wadah bagi penyingkapan Sang Ada. Yang menyebabkan manusia memiliki potensi untuk mempertanyakan (interpretasi) keberadaannya, sehingga membuka diri terhadap realitas. Manusia adalah seorang pembawa pesan, pengungkap keberadaan, yang menjadi media penghubung jurang antara Ada yang tersembunyi dan yang terungkap; antara ketidakberadaan dan keberadaan.

Nietzsche yang dengan vitalismenya ini tempatnya jauh daripada agam kristen dan komunisme. Ia berkembang dalam suatu pergumulan yang berat dengan dirinya sendiri dan dunia ini. Baginya agama kristen adalah lambang pemutarbalikkan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yang alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yang nafsani. Pengertian “Allah” agama kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah anak-anak piatu dan janda-janda, Allah orang-orang sakit. Allah dipandang sebagai roh yang bertentangan sekali dengan hdup ini. Jiwa kristiani adalah jiwa yang tidak memberi penguasaan dan kebangsawanan.

Suatu penelahaan kritis atas konsep Kristen mengenai Tuhan mengundang simpulan yang sama. –Suatu bangsa yang masih mempercayai dirinya jiga masih memiliki Tuhannya sendiri. Dalam diri Tuhan ini bangsa itu menghargai kondisi-kondisi yang telah membuat sejahtera, kebajikan-kebajikannya-bangsa itu memproyeksikan kegembiraan atas keadaan dirinya, perasaan berkuasanya kepada suatu pendirian yang bisa disebut terima kasih. Prastruktur verstehen yang pertama yaitu Vorhabe; sesuatu yang sudah dipunya sebelumnya tercakup di atas.

Lalu Vorsicht; sesuatu yang sudah dilihat sebelumnya. Kristen berdiri bertentangan dengan semua kesehatan intelektual. Maksudnya apa? Ia (mengacu pada intelektual) hanya bisa menggunakan pikiran busuk sebagai pikiran Kristen, ia memihak kepada segala yang bodoh, ia menyatakan kutukan terhadap “roh”, terhadap keunggulan jiwa yang sehat. Karena sakit masuk dalam esensi Kristen, maka kondisi Kristen tipikal, yaitu “iman”, harus merupakan suatu bentuk kesakitan, setiap jalan yang langsung, jujur, saintifik menuju pengetahuan harus ditolak oleh gereja, sebagai jalan yang terlarang.

Nietzsche melanjutkan lebih jauh pada perbandingan antara Kristen dan Buddha. Ia mulai menapaki dan dapat ditangkap ada unsur Vorgriff; sesuatu yang sudah ditangkap sebelumnya. Bagi Nietzsche Kristen dan Buddha sama-sama agama nihilistik, sama-sama agama dekadensi tetapi berbeda dengan sangat menarik. Nietzsche mampu menghadirkan dan mengkomparasikannya. Hingga membawa kepada pemahaman yang dapat dipahami sebagai berikut. Buddha seratus kali lebih realistik ketimbang Kristen. Buddha memiliki komposisi yang terdiri dari warisan suatu penelahaan yang dingin atas berbagai masalah. Agama ini datang setelah suatu gerakan filosofis. Yang berlangsung ratusan tahun.

Ini kemudian menjadi sangat menarik. Pendapat Nietzsche: Buddhisme adalah satu-satunya agama yang benar-benar positivistik dalam sejarah bahkan dalam epistemologinya (suatu fenomenalisme kaku). Agama ini tidak lagi bicara mengenai “perjuangan melawan dosa” melainkan, dan ini sesuai dengan aktualitas, “perjuangan melawan penderitaan”. Yang membedakannya dengan Kristen adalah meninggalkan konsep-konsep moral yang menipu diri itu. Agama ini berada, dalam bahasa Nietzsche, di seberang baik dan jahat. Dua fakta psikologis yang mendasari dan yang menjadi tujuan adalah:

Pertama, suatu keterangsangan sensibilitas yang berlebihan yang mengekspresikan diri sebagai kemampuan tinggi untuk merasakan sakit, Kemudian suatu kelebihan intelektualitas, suatu kesibukan yang terlalu besar dengan konsep-konsep dan prosedur-prosedur logis di bawah mana instink personal telah dikalahkan oleh demi kemenangan yang “impersonal”.

Prakondisi untuk Buddhisme adalah iklim yang lunak, adat sangat halus dan liberal, tanpa militerisme; dan dalam klas-klas tinggi dan terpelajarlah gerakan ini memiliki lahannya. Tujuan tertingginya adalah keceriaan, kesunyian, tidak adanya nafsu dan tujuan ini tercapai. Buddhisme bukanlah agama tempat orang mencita-citakan kesempuan semata.

Sedangkan dalam Kristen instink-instink dari mereka yang dikalahkan dan ditindas maju ke muka: adalah klas-klas terendah yang mencari penyelamatan mereka dalam agama ini. Di sini bisnis kasuistik dosa, kritik diri, pengadilan-nurani dipraktekkan sebagai suatu spesifik melawan kebosanan; disini suatu sikap emosional terhadap satu kekuasaan, disebut ‘Tuhan’, selalu dihidup-hidupkan (melalui sembahyangan); disini hal-hal tertinggi dianggap tidak bisa dicapai, pahala, “berkat”. Disini juga tidak terdapat keterbukaan; ceruk di sudut, kamar gelap itulah Kristen. Disini tubuh itu dihina kesehatan ditolak sebagai sensualitas.

Artikulasi eksistensial pemahaman menjadikan bahasa sebagai alat pengungkapan Ada kepada pengertian Kristen yang lainnya. Kristen: kebencian terhadap mereka yang berifikir beda, kehendak untuk menindas. Kristen: permusuhan maut terhadap majikan-majikan di dunia, terhadap “ningrat” dan pada waktu yang sama kompetisi rahasia yang tertutup (orang membiarkan mereka memiliki “tubuh”, sedangkan dia hanya menginginkan “jiwa”. Kebencian terhadap pikiran, kebanggaan, keberanian, kebebasan, kemerdekaan pikiran, itu juga Kristen. Kebencian terhadap kesenangan indera-indera, terhadap kesenangan pada umumnya, itulah Kristen.

Proses Denken (berfikir) dan mencoba menelaah dialektika Nietzsche yang pada akhirnya mengutuk Kristianitas. Kristen adalah bentuk kerusakan yang paling ekstrim yang bisa dibayangkan, ia memiliki kehendak untuk melakukan kerusakan yang paling tinggi yang bisa dibayangkan. Gereja Kristen tidak meninggalkan sedikit pun yang tidak disentuh oleh kekejiannya. Ia telah membuat setiap nilai menjadi non nilai, setiap kebenaran dusta, setiap jenis integritas kejahatan jiwa.

Pemahaman-pemahaman Nietzsche membuat proses interpretasi tidak lepas dari relasi Denken dan sein-nya Heidegger. Nietzsche dengan kekayaan wawasan psikologisnya memberikan suatu paduan dengan menunjukkan makna dari konsep-konsep kuncinya “kehendak berkuasa” dan “sublimasi”. Pemusnahan sensualitas yang oleh Nietzsche dikatakan merupakan praktek gereja Kristen itu bertentangan dengan “Vergeistigung”nya, menjadikannya “spiritual”.


Tidak ada komentar: