Kamis, 15 Mei 2008

Kali Gendol

Beberapa perjalanan yang tak terangkum sekarang coba dingat dan disusun kembali

Lepas tengah malam setelah menunggu jam pemberangkatan itu sendiri, di kantor Himmah, sebuah media jurnalistik mahasiswa UII. Bersama Rie Salam mulai bergerak dari kos sebelum jam 11 tanggal 3Maret itu. Rencanannya kita akan bergerak mencari fokus bahasan pada penambang pasir. Lebih jelasnya, Rie diberi mandat untuk melakukan tugasnya sebagai jurnalis, dengan mencari berita tentang kaum perempuan (khusus kalangan orang tua/mbok-mbok). Kapasitasku disini hanya menemani, dan sekaligus mencoba belajar serta mencuri ilmu. Masuk ke perkancahan dunia jurnalistik riil. Format pencarian berita dan aktualisasinya tak begitu jelas. Dengan dasar aku tak mau mencampuri terlalu banyak. Disebabkan ketakutan aku akan merepotkan.
Daerah Muntilan menjadi tujuan perjalanan ini, pada perkembangan situasi tujuan berubah ke lereng gunung Merapi, kawasan Kaliadem. Pagi-pagi sekali, saat waktu belum menunjukkan pukul 3 kita sudah membelah jalan. Mereka-reka jarak hingga menyentuh tujuan. Kita terdampar di jalanan Kali Kuning yang dinginnya begitu menusuk, dengan rimbunnya pohon di kiri kanan. Di depan kabut menghadang dengan jelas, saat aku menoleh ke belakang, hanya kepekatan malam yang begitu gelap memancar dari mataku. Proses penyelamatan diri kita lakukan dengan mencari tempat persinggahan, hingga arah penunjuk jalan memberi tahu sesaat kita akan sampai di kawasan juru kunci gunung Merapi.

Ketika di sana kopi panas menjadi suatu kebutuhan yang sangat demi mengatasi kedinginan hati dan kebekuan pikiran ini. Sesekali Rie mencoba mengorek informasi sesuai kebutuhannya. Sebagai gambaran lokasi jelas yang akan dituju belum ada. Jadilah pagi itu kegiatan bertanya-tanya.
Sekonyong-konyongnya lewat di depan mataku, Mbah Maridjan. Bersebelahan dengan warung tempat kita duduk ternyata rumahnya Mbah Maridjan. Tak terpikirkan sebelumnya olehku kalau aku akan bertemu dengannya. Sebagai seorang pemuda nun jauh di sumatera yang bersekolah di Jogja, hal ini adalah suatu ketakjuban luar biasa. Faktor pertama aku tak pernah tertarik akan semua ini, maksudnya Maridjan. Kapasitas ataupun kepopulerannya. Lalu, aku merasakan ini adalah mozaik kehidupan yang akan menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup ini. Kedua faktor itu yang akhirnya menghadirkan unsur kejutan.
Di kaki gunung, aku tiba-tiba merasa kecil dan hina. Dekat sekali suara adzan menggema di telinga. Menyerukan waktu sesaat untuk hadir kehadirat kuasaNya. Spirit beribadah langsung menyergap sanubariku. Mengesampingkan, kekotoran dan kesucianku selama ini. Aku sudah cukup suci untuk menyembahNya? Itu menjadi pertanyaan yang akan selalu mengikuti jejak langkah ini. Tersadar akan rasa hina, jika aku tak shalat Subuh. Aku melangkahkan kaki ke masjid yang tak jauh dari rumah Maridjan dan warung itu. Kubiarkan Rie menunggu. Selesai prosesi ibadah ini, aku menyalami mbah Maridjan. Sesaat aku keluar masjid, memakai alas kaki lagi, mbah Maridjan mengeluarkan kata-kata padaku. Itu sudah cukup sudah.

Atas petunjuk seorang bapak ketika giliran Rie shalat, kita sampai di lokasi penambangan pasir. Banyak orang di sana, banyak truk. Lembah bebatuan, curam, jalan yang terjal. Tak lama aku memposisikan diri sebagai asisten Rie. Membawakan tas kamera, buku catatannya, mengikuti wawancara. Hingga akhirnya ku biarkan dia sendiri. Kehadiranku mungkin agak mengganggu. Aku tiduran di susunan batu-batu. Aku tertidur sesaat. Sehari semalam tanpa tidur. Bergelimang di lokasi ini, cukup lama, kantuk tak tertahankan lagi.
Setelah data-data dan foto-foto yang dikira Rie cukup, kita keluar dari kancah dunia pertambangan ini. Kondisi di sana memprihatinkan jika tak bisa dibilang menyedihkan. Roda perekonomian yang menjurus pada kebutuhan hidup terus berputar. Hidup harus terus berjalan. Pendidikan anak-anak tentu menjadi hal paling prioritas. Boleh mengenyampingkan perasaan sesaat. Orang tua pada dasarnya akan melakukan apapun demi anaknya.

Sesekali kita harus menempatkan diri sebagai orang tua. Punya keluarga, anak-anak sebagai tanggungan hidup. Perjalanan pulang ke kota, dipenuhi pikiran ini.
Pagi-pagi jam 9 itu aku dan Rie beristirahat sejenak di rumah Eta.

Tidak ada komentar: