Rabu, 14 Mei 2008

Sedikit dan Belum Selesai

Pantai Baron dan Dona

Prosesi pengenangan untuk Dona selesai. Malam menjemput, aku dan Eta hadir di tengah gelapnya lautan. Di bibir pantai ku tautkan bibirku dengan bibirnya. Romansa yang dipenuhi hembusan angin membelai lembut kita berdua. Tapak kaki kita mencengkram keras pasir-pasir, pantai menghadirkan sensasi yang berbeda.

Kita meraba-raba di tengah kegelapan mencari motor. Mungkinkah hilang? Tadi parkir dimana? Aku sudah cemas duluan, menghilangkan nafsu makan. Akhirnya ketemu juga, hehehe...Kita bergegas meninggalkan pantai Baron, tempat dimana dulu Dona pergi dan tak akan pernah kembali. Perjalanan pulang kali ini lebih tidak mengenakkan. Gelap, hanya sesekali berpapasan dengan orang lain, hanya lampu kendaraan yang memberi kami petunjuk harus kemana. Sepanjang jalan tak habis-habis pohon-pohon pinus menyapa kehadiran kita. Memberikan kesan mistis yang sangat. Lama sekali hingga kita baru menyentuh daerah perkotaan.

Ternyata dunia begitu sempit, saat menanyakan jalan ke Jogja. Jalan di Wonosari bercabang dan membingungkan, ini karena pertama kalinya aku ke sini. Meminimalisir kemungkinan melenceng jauh dari jalan yang sebenarnya, aku bertanya ke bapak-bapak di pinggir jalan. Hoho... logat bahasa Indonesia sangat aku kenal dan tak asing di telinga. Belum beberapa patah kata dia berujar, aku langsung menebak dia orang Padang. Hmm... tak salah, tanpa komando kita langsung terhanyut berbahasa minang di tempat yang begitu jauh dari daerah asal kita. Aku merasakan unsur-unsur persaudaraan yang begitu kental, rasa senasib sepenanggungan. Rasa rindu kampung halaman bahkan sekaligus rasa muak. Petunjuk yang begitu jelas hingga kepuasan ini terasa lebih dari segalanya. Aku dan Eta tak akan membuang banyak waktu karena perjalanan pulang ini belum akan selesai. Kita pamit pada bapaknya, aku sempat berjanji kalau aku ke sini lagi, aku akan menyempatkan waktu mengunjunginya.
Kita berhenti untuk makan, tidak enak sekali. Sangat tidak enak, aku menyesal memilih tempat itu. Dari luar sepertiya bagus dan nyaman. Mahal sekali dan aku berpikir apakah ini tak terlalu kapitalis sekedar untuk makan. Kalau mahal tapi enak tak apa, ini tak sama sekali. Eta agak gila, karena kesal dia mengambil remote tv rumah makannya. Kebetulan kita duduk dekat tv. Eta mengganti saluran tv, memperbesar volume hingga sekeras-kerasnya. Hanya kita berdua di sana, sebelumnya ada sebuah keluarga bapak, ibu dan tiga anaknya. Setelah mereka pergi, rumah makannya menjadi milik kita. Aku mengangkat kaki tinggi-tinggi, membuang abu rokok di lantai. Kotor sekali! Aku mau mencuri asbak, tapi dilarang Eta, asbaknya jelek dia bilang begitu. Tak habis kita pergi.

Argo Dumilah mengubah semua kekesalan kita. Sedikit membuat emosi dan kepenatan mereda. Baru pertama kalinya aku di sini. Bagus sekali, Jogja penuh dengan lampu-lampu malam. Berkedip-kedip seakan melawan terang satu-satu bintang di atas langit sana. Lesehan di sebuah warung, menikmati pemandangan jauh di bawah sana.

"Sekarang sedang berada di...apa namanya?"
"Argo Dumilah"
"Salah satu tempat objek wisata di Jogja ya?"
"Bukan sih kalau objek wisata itu kan ada tiket masuknya, apa ya?"
"Tempat yang fashionable"
"Tempat yang enak banget, tempat dimana kita bisa melihat Jogja dari bukit, dari apa namanya?"
"Dari daerah ketinggian, disini itu kita bisa melihat lampu-lampu hmm...banyaklah pokoknya, jadi kelihatan eksotis"
"Eksotis..."
"Trus paling ujung ke oranyean-oranyean gitu nah"
"iya an ya?oranye mah karena lampu gitu an, kaya senja gitu"

Sekelumit rekaman perbincangan dengan Eta, tak lengkap memang.

Tidak ada komentar: